Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23
Adzan Isya baru saja berlalu—suara merdu muadzin masih terpantul samar di langit Wonosari yang mulai menutup wajahnya dengan kelam. Awan menggantung, tenang dan tak bersuara, seperti menyimpan rahasia ribuan doa yang terbang bersama angin. Bulan belum menampakkan diri, barangkali masih bersolek di balik gumpalan awan tipis. Sementara bintang-bintang menyalakan satu per satu harapan yang tersembunyi.
Dedaunan berbisik, pelan dan pasrah dibelai angin yang turun dari lereng Gunung Kelud.
Desa Wonosari memeluk sunyi, seolah seluruh makhluk telah pulang ke dalam dirinya masing-masing—menyatu dengan malam dan segala kenangannya.
Di saat-saat seperti ini, Asmarawati melamun di teras rumah. Angin malam menyusup pelan, membelai rambutnya yang terurai. Awan tipis tergantung murung di atas Desa Wonosari, dan matanya yang bening menatap jauh—seakan ingin menyusul angan yang belum sempat pulang.
Ia duduk berselimut sunyi, ditemani aroma tanah basah dan gemetar dedaunan. Di dadanya, cinta yang belum sempat bernama bergetar perlahan, seperti suara suluk di tengah gamelan—yang hanya bisa dirasa, bukan dijelaskan.
Asmarawati tahu, malam tak pernah bicara. Tapi di balik diamnya, ia menyimpan banyak jawab. Dan pada malam yang begini lengang, ia biarkan hatinya terbuka—untuk seseorang yang mungkin sedang memikirkan hal yang sama.
“Nduk… ngapain malam-malam kok duduk sendirian di sini? Ndak dingin to?”
Suara lembut ibunya tiba-tiba muncul dari balik pintu, memecah sunyi malam yang mulai menebal.
Asmarawati menoleh pelan, senyumnya tipis namun sarat makna. “mBoten, Bu… Asmara lagi pengen menyendiri.”
Nada suaranya lirih, seperti angin yang lewat di antara daun sawo. Ada sesuatu yang ingin disembunyikan, tapi kasih ibu terlalu tajam untuk tidak mencium kegundahan itu.
“Kamu sedang memikirkan apa, Nduk?” tanya Sundari pelan, suaranya seperti desir daun jambu yang disentuh angin malam.
Asmarawati diam sejenak, lalu menggeleng perlahan.
“Ndak ada, Bu… Asmara cuma ingin menyendiri saja,” jawabnya lirih, menunduk menatap telapak tangannya yang saling menggenggam.
Sundari menghela napas, menatap wajah anak gadisnya yang mulai asing baginya—bukan karena berubah, tapi karena kini banyak hal yang disembunyikan. “Sendiri itu kadang perlu, Nduk. Tapi jangan sampai kamu tenggelam di dalamnya. Ibu ini, meskipun tak selalu bertanya, selalu ingin tahu kalau hatimu sedang tidak baik-baik saja.”
Asmarawati tersenyum kecil, tipis dan nyaris tak terlihat. “Ibu tenang saja… Asmara cuma sedang ingin diam. Biar angin saja yang diajak bicara malam ini.”
Sundari menepuk punggungnya pelan, lembut seperti nyanyian nina bobo masa kecil. “Kalau begitu… biarlah Ibu duduk menemani diammu. Kadang, diam yang ditemani bisa lebih hangat daripada kata-kata yang panjang tapi kosong.”
Dan mereka pun kembali diam. Tapi di antara diam itu, cinta seorang ibu dan rahasia seorang anak berbicara dalam cara yang hanya bisa dimengerti hati yang saling mengenal.
Tak lama kemudian, terdengar suara knalpot lirih dari arah jalan kecil di depan rumah. Deru mesin tua yang khas, berpadu gemerincing rantai besi, membelah keheningan malam dengan tenang namun pasti. Motor CB oranye itu muncul perlahan dari balik gelap, lampunya menembus kabut tipis yang menggantung rendah di udara Desa Wonosari.
Asmarawati spontan menoleh. Sorot matanya menangkap cahaya lampu motor itu seperti danau kecil yang tersentuh angin. Di sampingnya, Sundari juga ikut menatap—dahinya sedikit berkerut, namun mulutnya tetap terkatup, membiarkan waktu menjelaskan maksud kedatangan tamu itu.
Motor berhenti tepat di depan pagar tanaman. Pengendaranya turun pelan, menurunkan standar samping. Di bawah temaram cahaya kuning, tampaklah sosok Wiji —seseorang yang telah menetap di hati Asmarawati.
Angin seolah berhenti sejenak. Malam mendadak menjadi saksi, antara dua jiwa yang saling mengenal. Asmarawati mengatupkan bibirnya, menahan segala yang ingin mengalir. Sementara ibunya, meski belum tahu banyak, mulai dapat membaca gelombang rasa yang belum sempat diucapkan.
“Assalamualaikum,” suara Wiji terdengar lantang namun bergetar halus, memecah jarak antara pagar dan teras.
“Waalaikumsalam,” jawab Asmarawati dan Sundari hampir bersamaan.
“Eh, ada tamu,” sambut Sundari dengan hangat.
Ia berdiri perlahan dari duduknya, lalu memberi isyarat halus agar Wiji mendekat. “Silakan masuk, Le…?”
Wiji mengangguk pelan, lalu melangkah dengan penuh hormat. “Ngapunten, Bu… ganggu malam-malam begini. Kulo cuma… pengin ngobrol sebentar.”
Sundari tersenyum, matanya lembut menatap pemuda itu. “Tidak ganggu sama sekali, Le. Wong rumah ini selalu terbuka untuk siapa saja yang datang dengan niat baik.”
Asmarawati hanya menunduk, menyembunyikan senyum gugup yang menggantung di bibirnya. Hatinya berdebar pelan—antara senang, cemas, dan tak tahu harus berkata apa.
“Duduk, Mas…” ucap Asmarawati pelan, disertai isyarat halus tangan kanannya.
Suara itu lirih namun cukup jelas untuk mengusir ragu.
Wiji mengangguk, lalu duduk perlahan di sisi yang ditunjukkan. Gerak-geriknya sopan, penuh kehati-hatian, seakan tak ingin mengusik malam yang terlalu hening untuk sekadar basa-basi.
Sundari memperhatikan mereka sejenak, lalu tersenyum kecil. “Ibu bikinkan teh dulu, ya,” katanya, sebelum bangkit menuju dapur.
“Beberapa hari ini aku ndak lihat sampean…”
Asmarawati akhirnya membuka suara, pelan namun penuh makna.
“Sampean ke mana saja, Mas?” tanyanya, menatap ujung teras, tak berani langsung menatap wajah Wiji.
Wiji tersenyum tipis, menyandarkan punggungnya pada bangku rotan di hadapannya.
“Aku sibuk, Dek,” jawabnya singkat, namun nada suaranya mengandung sesuatu yang tak selesai—seperti ada kata-kata yang tertinggal di tenggorokan.
Asmarawati mengangguk pelan, walau hati kecilnya berharap jawaban lebih dari sekadar itu. Kesunyian pun kembali mengambil tempat, membentang di antara mereka seperti jalan yang belum jelas ujungnya.
Namun, meski tak banyak kata, kehadiran itu sendiri sudah cukup menjelaskan: ada yang dirindukan, ada yang akhirnya kembali.
“Ini tehnya diminum, Le… keburu dingin.”
Sundari kembali dari dapur dengan nampan kecil di tangannya. Ia meletakkan teh itu di hadapan Wiji.
Wiji menerima cangkir itu dengan kedua tangan. “Matur nuwun, Bu…” katanya lirih.
Setelah meletakkan teh dan menyapa dengan senyum yang hangat, Sundari berdiri perlahan. Lalu tanpa banyak kata, ia berkata pelan, “Ibu ke dapur dulu, ya…”
Langkahnya ringan, suaranya hampir tak terdengar saat menjauh. Tinggal bayangannya yang perlahan menghilang di balik tirai,.meninggalkan Wiji dan Asmarawati berdua dalam diam yang lebih dalam dari kata-kata.
“Aku dengar-dengar… selama lebih dari seminggu ini, katanya sampean ndak pulang,” ucap Asmarawati pelan, tapi jelas.
Suaranya seperti hujan pertama setelah kemarau—tak deras, tapi menyentuh hati yang kering terlalu lama.
Wiji terdiam sejenak, menunduk. Cangkir tehnya masih utuh, belum disentuh. Angin malam berembus pelan, seperti memberi ruang bagi kata-kata yang terselip di tenggorokan.
“Iya, Dek…” jawabnya akhirnya, pelan.
“Kenapa ndak pulang…?”
Suara Asmarawati lirih, hampir seperti bisikan yang takut menggugurkan keberanian.
“Apa sampean ada masalah…?” Ia masih menunduk, berusaha menahan segala kemungkinan jawaban yang bisa datang: pahit, manis, atau bahkan tak jelas arahnya.
Wiji menghela napas pelan. Langit malam di atas mereka begitu tenang, tapi isi dadanya sebaliknya.
“Masalah… ya, bisa dibilang begitu,” kata Wiji akhirnya, suaranya tenang tapi ada getaran yang tak bisa disembunyikan.
Asmarawati mengangguk pelan, seolah menebak arah pikirannya sendiri. “Masalah keluarga… seperti yang sampean bilang kemarin?”
“Iya, Dek,” jawabnya singkat.
“Tapi… kenapa sampai tidak pulang?” Nada suara Asmarawati sedikit meninggi, bukan karena marah—tapi karena peduli yang mulai tak bisa disembunyikan.
“Bukankah itu justru akan membuat masalah tak segera terselesaikan?” Ia menatap Wiji.
Wiji menghela napas panjang. Ia tahu, pertanyaan itu bukan sekadar keluhan. Tapi juga ungkapan dari hati yang sudah terlalu lama menunggu tanpa kepastian.
“Aku bingung, Dek… jujur.” Suaranya rendah, seperti seseorang yang sedang berbicara dengan bayangannya sendiri.
“Semakin aku berusaha menjelaskan ke mereka, semakin mereka menolak. Dan aku takut… kalau aku terlalu memaksa, semuanya justru akan berantakan.”
Ia menunduk. “Aku butuh waktu buat mikir, bukan buat lari....”
Asmarawati terdiam. Di dalam dadanya, ada sesuatu yang menghangat sekaligus menyakitkan—sebuah rasa sayang yang yang bercampur dengan rasa kekhawatiran.
“Kamu tak perlu khawatir, Dek…” Wiji berkata pelan, suaranya mengalun lembut. “Doakan saja… semoga aku baik-baik saja.”
Asmarawati menatapnya—dalam, jujur, tanpa ragu.
“Aku selalu mendoakan yang terbaik buat panjenengan,” jawabnya lirih. Kata-kata itu sederhana, tapi di baliknya tersimpan rindu, kesetiaan, dan cinta yang tak pernah meminta jawaban.
Wiji tersenyum, senyum kecil yang lebih terasa seperti permohonan maaf yang belum sempat terucap.
“Terimakasih, Dek…” ucapnya pelan.
Dan untuk sesaat, malam menjadi ruang yang cukup bagi dua hati yang belum bisa bersatu, tapi tak pernah berhenti saling menjaga perasaan masing-masing.
Dalam obrolan yang diselingi tawa lirih yang terdengar seperti nada angin menyusup lewat celah dinding. Dari balik jendela kaca yang separuh tertutup tirai, Ratmoyo berdiri kaku. Bayang tubuhnya menyatu dengan malam, tetapi matanya terjaga, mengawasinya.
Ada yang bergolak dalam dadanya. Kekhawatiran yang tak bisa ia jelaskan—seperti firasat yang datang diam-diam, menghimpitnya tanpa suara. Wiji tampak sopan, tenang, bahkan lemah lembut. Tapi Ratmoyo masih saja tak bisa tenang.
Dan tiba-tiba, dari kejauhan terdengar suara motor meraung pelan, menembus keheningan malam. Lampunya menyapu halaman, bayangannya menggoyang dinding rumah seperti hantu masa lalu yang datang tanpa diundang.
Ratmoyo mendongak. Napasnya tertahan. Itu motor Supra—hitam kusam, suaranya khas. Tak mungkin salah. itu Kaji Mispan.
Mesin motor dimatikan sebelum benar-benar masuk pekarangan, seolah si pengendara tak ingin keberadaannya terlalu mencolok. Tapi bagi Ratmoyo, suara itu sudah cukup untuk membuat darahnya berdesir.
Di teras rumah, Asmarawati dan Wiji belum menyadari. Mereka masih bercakap, suara mereka mengambang lembut di udara. Tapi Ratmoyo tahu, malam ini tidak akan biasa. Ada sesuatu yang akan pecah.
Ratmoyo berdiri di balik pintu, belum membuka, namun telinganya tajam menangkap suara langkah mendekat di atas tanah berkerikil. Pintu ia buka perlahan. Sosok itu sudah berdiri di depan—Mispan, wajahnya gelap, napasnya berat, matanya menyala.
Di teras, Wiji dan Asmarawati yang tadi tengah bercakap langsung menoleh.
“Heh, wedhus!” bentak Mispan begitu matanya menangkap Wiji. “Kamu ke mana saja?! Sudah berhari-hari ndak pulang!”
Suara Mispan membelah malam. Kelelawar yang bergelantungan di pohon mangga berkesiur. Asmarawati mematung, sementara Wiji perlahan berdiri, wajahnya tetap tenang, meski hatinya berdegup keras.
“Aku cuma—”
“Cuma apa?! Cuma minggat?! Cuma numpang hidup di rumah orang?!” potong Mispan, melangkah ke teras, berdiri tak jauh dari putranya.
Ratmoyo melangkah maju, berdiri di antara keduanya. “Pak Mispan, jaga ucapan sampean. Ini rumahku. Kalau mau bicara, bicara baik-baik.”
Mispan menatap Ratmoyo dengan sorot lama yang penuh sejarah. Tapi mulutnya masih menyala.
“Heh Mo, Paimo? Aku ke sini bukan mau apa-apa. Aku cuma mau mencari anakku—yang sudah beberapa hari ndak pulang, sekarang malah duduk manis sama anakmu.”
Wiji mengangkat wajahnya, menatap ayahnya lurus-lurus. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya penuh luka yang tak lagi bisa ia simpan. “Sudah, Pak. Jangan bikin ribut di sini. Ini rumah orang.”
Mispan mendengus keras. Matanya membelalak, dadanya naik turun menahan gejolak. “Jangan ngajari orang tua!” bentaknya.
Wiji masih berdiri tegak. Tak mundur, tak membalas. Tapi pandangannya tak bergeming. “Bapak boleh marah… tapi jangan bawa amarah itu ke tempat orang lain. Jangan buat malu.”
Mispan melangkah maju, nadanya makin meledak. “Kamu itu anak durhaka! Lupa diri! Lupa rumah!”
Asmarawati bergidik. Ia menggenggam ujung bajunya erat-erat, tak berani bergerak.
Ratmoyo pun berkata lagi. “Sudah, Pak.” ucapnya dalam. “Kalau mau bicara, bicara yang layak. Ini bukan pasar.”
Mispan menoleh cepat, menatap Ratmoyo dengan mata menyala.
“Aku datang bukan untuk cari ribut. Aku cuma mau menjemput anakku pulang.!”
“Iya, sudah. Ayo, pulang-pulang, Pak.” Suaranya nyaris gemetar, tapi tegas.
“Bikin malu saja, sampean asu!” Ucapannya seperti cambuk.
Asmarawati menutup mulutnya dengan tangan. Ratmoyo menunduk sesaat, namun tetap berjaga.
Mispan terdiam sepersekian detik, seolah tak percaya kalimat itu keluar dari mulut anaknya sendiri.
“Wedhus tenan!” desisnya sambil menunjuk Wiji.
Wiji balas menatap. Matanya merah, tapi suaranya tetap tenang. Lalu—ia berbalik. Tanpa sepatah kata lagi. Turun dari teras seperti badai yang lelah menghancurkan. Suara motornya kembali meraung. Menjauh. Hilang di tikungan.
Asmarawati melangkah maju setapak. Ingin meneriakkan namanya, tapi tak sanggup. Lidahnya kelu, jantungnya bergemuruh. Seolah ada yang tercerabut dari dadanya.
Ratmoyo tetap berdiri di tempat. Diam. Wajahnya kelam, pikirannya tak berhenti berputar.
Tapi belum sempat malam kembali hening—Mispan menghentakkan langkah. Dengan wajah yang masih merah padam, ia menyalakan motornya.
“Arek edan,” geramnya pelan.
Ia mengejar Wiji, melesat keluar pekarangan, meninggalkan kepulan debu.
Di atas teras, Asmarawati terisak pelan. Dan Ratmoyo hanya bisa menatap jalan yang kosong—jalan yang membawa dua lelaki itu menuju pertarungan yang entah akan berujung di mana.