roni, seorang pemuda tampan dari desa terpencil memutuskan untuk merantau ke kota besar demi melanjutkan pendidikannya.
dengan semangat dan tekat yang kuat iya menjelajahi kota yang sama sekali asing baginya untuk mencari tempat tinggal yang sesuai. setelah berbagai usaha dia menemukan sebuah kos sederhana yang di kelola oleh seorang janda muda.
sang pemilik kos seorang wanita penuh pesona dengan keanggunan yang memancar, dia mulai tertarik terhadap roni dari pesona dan keramahan alaminya, kehidupan di kos itupun lebih dari sekedar rutinitas, ketika hubungan mereka perlahan berkembang di luar batasan antara pemilik dan penyewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aak ganz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
"Miya, ini bukan jalan menuju kos aku. Ini menuju rumahmu," kata Roni saat menyadari bahwa mobil yang mereka tumpangi tidak menuju kosnya.
"Ya, untuk sementara kamu tinggal di rumahku dulu agar aku bisa merawatmu," jelas Miya dengan tenang.
"Tidak, aku tidak mau merepotkan orang tuamu. Aku tinggal di kos saja. Lagipula tubuhku sudah tidak terlalu sakit, aku masih bisa memanfaatkan kursi roda," tolak Roni. Sayangnya, Miya tidak semudah itu membiarkannya pergi.
"Kamu jangan menolak lagi. Ini demi kebaikanmu. Lagipula, apa yang bisa kamu lakukan hanya dengan mengandalkan kursi roda? Bapakku yang justru meminta agar kamu tinggal di rumah," ungkap Miya, mencoba meyakinkan Roni.
"Tapi..."
"Tidak ada tapi-tapi! Pokoknya kamu harus tinggal bersamaku. Ini semua juga karena aku, kan? Jadi tolong, jangan buat aku merasa bersalah lagi," kata Miya dengan nada suara yang sedikit meninggi. Roni hanya bisa menghela napas dan mengerutkan keningnya. Ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan selain menurut.
Di tempat lain, suasana bandara tampak ramai. Banyak orang berlalu lalang, bersiap untuk keberangkatan selanjutnya. Semua penumpang sudah siap menaiki pesawat.
Seorang wanita cantik terlihat membawa koper sambil sesekali menyentuh perutnya. Ekspresi wajahnya menunjukkan keraguan dan kesedihan. Ia seakan tidak ingin meninggalkan tempat ini, tapi semuanya harus ia lakukan. Wanita itu adalah Mbak Maya. Hari ini, ia akan pulang ke kampung halamannya untuk menetap di sana.
Maya harus meninggalkan kota ini agar ia tidak lagi mengingat Roni, pria yang berusaha ia lupakan. Rasa bersalah atas apa yang telah ia lakukan begitu besar. Ia merasa telah memanfaatkan kondisi Roni untuk menikah dengannya. Dan kini, ia lebih memilih pergi daripada melihat kebencian Roni terhadapnya.
"Maafkan Mama ya, Nak. Kita harus meninggalkan Papa. Mama tidak sanggup melihat kekecewaannya terhadap Mama atas apa yang telah Mama lakukan," ucap Maya lirih, sambil mengelus perutnya yang mengandung janin kecil.
Maya menghela napas panjang sebelum melanjutkan langkahnya menuju area pemeriksaan. Namun, tiba-tiba seseorang yang berlari terburu-buru menabraknya cukup keras. Tubuh Maya terpental dan jatuh ke lantai, kepalanya terbentur terlebih dahulu. Seketika, pandangannya gelap.
"Tolong! Ada yang pingsan!" teriak seseorang yang melihat kejadian itu.
Petugas segera datang untuk membantu Maya. Namun, saat mereka hendak membawanya untuk diperiksa, seorang pria tiba-tiba menghentikan mereka.
"Tunggu... biar saya yang menolongnya. Saya mengenalnya," kata pria itu.
Tanpa ragu, pria tersebut menggendong tubuh Maya dan membawanya ke kursi tunggu. Ia melihat tiket Maya dan menyadari bahwa tujuan penerbangannya sama dengan dirinya.
"Pesawat segera berangkat. Aku tidak boleh ketinggalan. Ayo kita berangkat!" katanya kepada bawahannya.
"Tapi, Tuan, bagaimana dengan wanita ini?" tanya salah satu bawahannya ragu.
"Dia hanya pingsan. Aku akan membawanya naik pesawat. Kebetulan tujuan kami sama," jawab pria itu, lalu kembali menggendong Maya dan membawanya masuk ke dalam pesawat.
Di dalam pesawat, Maya sempat sadar sesaat. Samar-samar, ia melihat dirinya sudah berada di dalam pesawat, tetapi ia tidak tahu apa yang terjadi. Kepalanya terasa sangat pusing, dan akhirnya ia kembali pingsan.
Saat Maya siuman, ia menemukan dirinya berada di sebuah kamar besar yang mewah. Bingung dan panik, ia bertanya-tanya di mana ia berada.
"Dimana ini? Aku ada di mana? Kenapa aku bisa ada di sini?" gumamnya sambil memegangi kepalanya yang masih terasa nyeri.
Tiba-tiba, suara langkah seseorang terdengar mendekati kamar. Maya semakin panik, apalagi ia tidak mengenali tempat ini.
"Terakhir yang aku ingat, aku masih di bandara..." katanya dalam hati.
Pintu kamar terbuka, dan seorang pria masuk. Dialah pria yang telah menolong Maya.
"Kamu sudah sadar? Syukurlah. Aku menemukanmu pingsan di bandara, jadi aku membantumu agar tidak ketinggalan pesawat," kata pria itu dengan tenang.
"Lalu, ini di mana? Dan Anda siapa?" tanya Maya masih kebingungan.
"Saya Rocky, dan ini rumah saya. Tenang saja, kamu tidak perlu takut. Saya bukan orang jahat," jawab pria itu.
Maya menghela napas lega. "Terima kasih telah membantu saya. Tapi... bagaimana dengan janin saya? Apa dia baik-baik saja?" tanyanya cemas.
"Janinmu baik-baik saja. Tadi dokter pribadi saya sudah memeriksanya. Kamu tidak perlu khawatir," jawab Rocky menenangkan.
"Syukurlah... Sekali lagi, terima kasih, Rocky. Saya jadi merepotkan Anda," ucap Maya dengan rasa syukur.
"Tidak apa-apa. Sudah seharusnya kita saling membantu. Sekarang, minumlah dulu lalu istirahat. Tubuhmu masih lemah. Jika butuh sesuatu, panggil saja pembantu saya," kata Rocky sambil menunjuk gelas berisi air putih di samping tempat tidur Maya. Setelah itu, ia keluar dari kamar.
Maya mengangguk, lalu meraih gelas air putih itu dan meneguknya perlahan. Pinggangnya terasa sakit, mungkin akibat benturan saat ia terjatuh di bandara.
Sementara itu, di luar kamar, Rocky berbicara dengan pelayannya.
"Tolong jaga wanita itu. Jika dia butuh sesuatu, layani dia. Saya akan pergi ke kantor sekarang," ujar Rocky sebelum bergegas pergi.
Ternyata, Rocky adalah seorang ketua mafia yang sebelumnya juga pernah membantu Roni. Saat ia hendak berangkat ke Surabaya untuk mengurus bisnisnya, ia melihat petugas bandara mengangkat seorang wanita cantik yang pingsan. Rasa penasaran membuatnya tertarik untuk menolong. Dan kebetulan, karena tujuan penerbangan mereka sama, ia memutuskan untuk membawanya.
Karena tidak mengetahui alamat Maya atau tujuan pastinya, Rocky akhirnya membawanya ke rumahnya untuk sementara waktu.
"Kamu sekarang berada di rumah aku, jadi kamu harus patuh," kata Miya sambil mendorong kursi roda Roni menuju meja makan.
"Yang memaksa aku ke sini kan kamu. Buat apa aku patuh?" gumam Roni kesal.
Ia tahu bahwa Miya pasti akan lebih mengendalikannya sekarang. Tapi Roni tidak bisa berbuat banyak. Ia tidak ingin melihat Miya sedih atau kecewa, terutama karena ia telah berjanji kepada Bobi dan orang tua Miya untuk selalu menjaga Miya.
Saat makan siang tiba, Roni melihat hanya Miya dan ayahnya yang ada di meja makan.
"Di mana Tante Serli?" tanyanya heran.
"Waktu makan siang tiba, Roni melihat hanya Miya dan Bapaknya di sana. Dia bertanya-tanya, "Om, apa Tante Serli tidak di rumah? Kenapa tidak ikut makan bersama?"
Mendengar pertanyaan itu, membuat Tuan Bram teringat bahwa Roni belum mengetahui tentang ibu Miya yang sudah tiada.
"Ya, dia sudah tidak bisa pulang lagi. Dia sudah pergi untuk selamanya," kata Tuan Bram dengan nada sedih.
Mendengar kabar itu, Roni sangat terkejut dan tidak percaya. Wanita cantik dan tangguh itu ternyata sudah tiada untuk selamanya.
"Maafkan saya, Tuan. Saya benar-benar tidak tahu. Saya tidak menyangka kalau Tante Serli sudah tiada. Sekali lagi, saya turut berduka cita, Tuan... Miya," ucap Roni sambil menundukkan kepala.
"Tidak apa-apa, terima kasih. Waktu itu, kamu juga sedang amnesia. Kamu bahkan tidak mengingat siapa-siapa. Dia mengalami kecelakaan mobil yang menyebabkan dia koma, sama sepertimu. Hanya saja, dia tidak selamat seperti kamu. Tuhan telah mengambilnya dari kami. Tapi saya senang kamu bisa selamat dan bisa kembali seperti sekarang," kata Tuan Bram, berusaha menahan kesedihannya.
Roni menoleh ke arah Miya yang pura-pura terlihat kuat. Dia bisa merasakan betapa sedihnya Miya saat ini karena dia juga pernah merasakan kehilangan yang sama dulu. Roni ingin sekali memeluknya, sekadar untuk menguatkannya.
"Roni... sekarang Miya tidak punya seorang ibu lagi. Aku tahu dia sangat sedih, tapi syukurlah kamu masih bisa selamat. Aku tahu dia mencintaimu, dan itulah yang membuatnya tetap kuat sampai sekarang. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika dia kehilangan kamu dan ibunya sekaligus. Oleh sebab itu, tolong temani dia," pesan Tuan Bram kepada Roni saat Miya pergi ke dapur untuk mengambil air minum.
"Baik, Tuan. Saya akan selalu menyemangatinya. Saya tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang sangat berarti," ucap Roni, berjanji akan selalu menjaga Miya.
"Terima kasih, Roni. Tugas terpentingmu adalah tetap menjaga senyumnya untuk kami," tambah Tuan Bram.
"Baik, Tuan..."
Mereka pun melanjutkan makan dengan sedikit keheningan. Masing-masing larut dalam pikiran mereka sendiri.
Setelah selesai makan, Miya mengajak Roni berjalan-jalan di taman depan rumahnya. Sesekali mereka bercanda. Semua itu dilakukan Roni untuk menghibur Miya. Dia tahu bahwa meskipun Miya terlihat kuat dan ceria, di dalam hatinya masih tersimpan kesedihan. Roni mengenal perasaan itu dengan sangat baik.
Di tempat lain, Mbak Maya sedang berada di ruang makan rumah Rocky. Di hadapannya, sudah terhidang makanan mewah yang tampak sangat lezat. Namun, dia merasa sedikit canggung untuk memakannya, apalagi dia hanyalah seorang tamu asing di rumah ini.
"Silakan, Nona. Tidak usah malu. Semua ini perintah dari Tuan Muda," kata salah satu pelayan, mempersilakan Mbak Maya untuk menyantap hidangan.
Mbak Maya hanya duduk diam, menatap satu per satu makanan yang tersaji di meja. Dia bahkan tidak menyentuhnya sedikit pun—sampai akhirnya Rocky datang.
"Kenapa hanya melihat saja? Apa kamu bisa kenyang hanya dengan menatapnya? Makan saja, anggap saja rumah sendiri," ucap Rocky dari belakang sambil melepas jas hitamnya dan menggantungkannya di tempat biasa.
Mendengar ucapan Rocky, Mbak Maya tiba-tiba teringat saat pertama kali dia menghidangkan makanan untuk Roni. Sekarang, dia mengerti bagaimana perasaan Roni waktu itu.
Perlakuan Rocky kepadanya sama persis seperti saat dia memperlakukan Roni dulu.
"Terima kasih, Tuan," ucap Mbak Maya.
"Tidak usah panggil 'Tuan,' panggil saja Rocky. Oya, kamu ke Surabaya tujuannya mau ke mana?" tanya Rocky, memulai obrolan.
"Saya hendak ke kampung halaman. Sudah lama saya tidak pulang," jawab Mbak Maya.
"Kamu di Jakarta kerja apa? Dan apa kamu ke kampung hanya untuk pulang kampung lalu kembali lagi ke Jakarta? Di mana suamimu?" tanya Rocky, semakin penasaran.
"Aku seorang dokter. Aku bekerja di salah satu rumah sakit di Jakarta, dan aku memutuskan untuk pulang kampung serta mencari pekerjaan di sana," jawab Mbak Maya tanpa ragu.
"Lalu, suamimu?" tanya Rocky lagi karena Mbak Maya belum menjawab soal itu.
"Dia... dia akan tetap tinggal di kota," jawab Mbak Maya, meskipun awalnya dia ragu untuk membahas suaminya, Roni.
"Lah... kenapa begitu? Dia tetap di Jakarta sementara kamu di kampung dan tidak akan kembali ke Jakarta lagi? Kenapa bisa begitu? Apa terjadi sesuatu?" tanya Rocky semakin penasaran.
"Maaf, aku tidak bisa menceritakannya," kata Mbak Maya, tidak ingin lagi membahas masalah pribadinya.
Rocky yang awalnya berpikir santai mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia menduga pasti ada masalah besar antara Mbak Maya dan suaminya.
"Baiklah. Maaf kalau aku jadi kepo dengan urusan pribadimu. Tidak apa-apa kalau kamu tidak ingin menceritakannya. Lagipula, aku tidak punya hak untuk tahu," kata Rocky. "Tapi sebentar, kamu seorang dokter? Aku tidak menyangka," lanjutnya.
"Ya, begitulah," jawab Mbak Maya singkat.
"Hehe, maaf, aku jadi banyak bertanya. Aku rasa lebih baik kamu tinggal di sini dulu sampai kondisimu benar-benar membaik. Nanti kalau sudah lebih sehat, baru kamu pulang," ucap Rocky sambil menggaruk kepalanya, meskipun tidak gatal.
"Tidak apa-apa. Aku sudah merasa lebih baik, lagipula aku tidak mau merepotkanmu lagi. Aku akan pulang sekarang," kata Mbak Maya.
"Baiklah. Aku tidak bisa juga menahanmu. Aku akan mengantarmu," ucap Rocky sambil meneguk anggur di depannya.
"Tidak perlu. Saya bisa naik taksi," tolak Mbak Maya. Namun, Rocky tidak mudah menyerah begitu saja.
Entah mengapa, sejak pertama kali melihat Mbak Maya di bandara, Rocky mulai tertarik padanya. Saat itu, ia melihat petugas bandara hendak mengangkat tubuh Maya yang pingsan. Sejak saat itu, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya ingin melindungi wanita ini.
Rocky menyukai wajah cantik dan tubuh indah milik Mbak Maya. Walaupun selama ini banyak wanita cantik yang ia temui, justru Mbak Maya yang berhasil menarik perhatiannya. Meskipun kini ia tahu bahwa Mbak Maya sedang mengandung dan sudah memiliki suami, tetap saja ada ketertarikan yang tidak bisa ia abaikan. Namun, Rocky bukan tipe pria yang suka memaksakan kehendak, meskipun dia seorang mafia.
Akhirnya, Mbak Maya setuju untuk diantar oleh Rocky. Saat wanita itu berjalan menuju mobil, tanpa sadar Rocky memperhatikan lekuk tubuhnya.
"Betapa beruntungnya suaminya bisa mendapatkan wanita secantik dan semulus dia... Astaga! Pikiran apa ini?! Kenapa aku malah berpikiran mesum sekarang?" gumam Rocky dalam hati, lalu menepuk wajahnya sendiri agar sadar kalo dia tidak seharusnya berpikiran seperti itu.
Mereka pun mulai berangkat menuju kampung halaman Mbak Maya dengan sedikit keheningan. Rocky berusaha keras agar tidak berpikir macam-macam, tetapi pikirannya selalu saja mengarah ke sesuatu yang mesum.
Beberapa saat kemudian, Mbak Maya merasa bahwa mereka sudah hampir sampai di kampungnya. Dia melihat semuanya sudah berubah. Jalan yang dulunya masih berupa tanah, kini telah beraspal. Sawah-sawah yang dulu mendominasi, sekarang telah berganti dengan gedung-gedung dan beberapa rumah mewah.
"Kamu yakin ini jalan menuju kampungmu? Aku rasa ini kota, deh," kata Rocky yang merasa bahwa jalan yang mereka lalui bukan menuju kampung, melainkan kota.
"Ini hanya jalan masuknya. Nanti di dalam akan terlihat kampung yang sebenarnya," jawab Mbak Maya.
Akhirnya, mereka pun sampai di kampung yang sesungguhnya. Sawah-sawah yang luas dan hijau terbentang, dipadukan dengan bukit-bukit kecil yang menambah keindahan alamnya.
"Ternyata kampung ini indah juga, ya? Aku baru pertama kali datang ke kampung," kata Rocky. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering.
"Tuan, Anda di mana? Tuan Jin sudah menunggu Anda di perusahaan," terdengar suara sekretarisnya memberitahu bahwa kliennya sedang menunggu.
"Aku ada urusan penting, jadi tunda dulu," jawab Rocky sambil mematikan telepon.
"Tapi, Tuan… Halo? Halo?" suara dari telepon terputus begitu saja, membuat sekretarisnya pusing.
"Kenapa kamu menunda pertemuan pentingmu hanya untuk mengantarku? Lebih baik saya turun di sini saja. Anda pergilah, pekerjaan Anda jauh lebih penting," kata Mbak Maya yang mendengar obrolan Rocky dengan seseorang di telepon.
"Tidak, itu tidak terlalu penting. Yang lebih penting sekarang adalah saya bisa melihat keindahan kampung Anda. Ini bisa menjadi pengalaman langka dalam hidup saya. Bolehkah saya mampir ke rumahmu nanti?" tanya Rocky.
"Ah... tidak perlu. Anda tidak perlu datang. Pasti akan sangat heboh kalau orang kaya seperti Anda datang," kata Mbak Maya. Walaupun sudah lama tidak tinggal di kampungnya, dia masih ingat kebiasaan orang-orang di sana yang selalu heboh jika melihat orang kaya datang.
"Maksudmu?" tanya Rocky, tidak mengerti.
"Anda pasti mengerti lah," kata Mbak Maya. Akhirnya, Rocky pun paham maksudnya.
"Tenang, mobil saya tidak akan masuk ke dalam. Nanti sopir saya menunggu di luar, dan saya akan memakai pakaian biasa. Berhenti di pasar terdekat, carikan saya kaos biasa," pinta Rocky langsung kepada sopir pribadinya.
"Baik, Tuan," jawab sopirnya.