"Aku istrimu, Aditya! Bukan dia!" Aurelia menatap suaminya yang berdiri di ambang pintu, tangan masih menggenggam jemari Karina. Hatinya robek. Lima tahun pernikahan dihancurkan dalam sekejap.
Aditya mendesah. "Aku mencintainya, Aurel. Kau harus mengerti."
Mengerti? Bagaimana mungkin? Rumah tangga yang ia bangun dengan cinta kini menjadi puing. Karina tersenyum menang, seolah Aurelia hanya bayang-bayang masa lalu.
Tapi Aurelia bukan wanita lemah. Jika Aditya pikir ia akan meratap dan menerima, ia salah besar. Pengkhianatan ini harus dibayar—dengan cara yang tak akan pernah mereka duga.
Jangan lupa like, komentar, subscribe ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 : Rumah Sakit
SUARA sirine meraung keras memecah keheningan malam. Ambulans tiba di lokasi kecelakaan dengan cepat. Dua tubuh yang tak berdaya diseret keluar dari bangkai mobil yang remuk. Aditya, dengan wajah penuh darah dan kaki yang tak lagi bisa digerakkan, hanya bisa mengerang pelan. Kalina, tak sadarkan diri, tubuhnya menggigil di tengah luka dan darah yang mengalir dari pelipis hingga ke bahunya.
"Segera ke UGD! Pasien pria ada indikasi tulang belakang retak! Yang wanita alami trauma kepala ringan dan luka parah di kaki!"
Dua ranjang didorong bersamaan masuk ke rumah sakit terbesar di kota itu. Di balik kaca rumah sakit, Aurelia berdiri diam. Tatapannya datar, tapi tangannya terkepal erat. Reyhan di sampingnya, tak mengatakan sepatah kata pun.
"Kecelakaan fatal. Tapi nyawa mereka masih tertahan," gumam Reyhan perlahan.
"Biarkan itu jadi awal dari semua yang harus mereka tanggung," jawab Aurelia pelan, suaranya dingin tapi menyimpan kelegaan yang dalam.
KALINA membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, lampu putih menyilaukan membuatnya harus memicingkan mata beberapa kali. Ia mencoba menggerakkan kakinya, namun rasa nyeri yang menyengat membuatnya meringis keras.
"Ahh…!"
"Jangan bergerak, Nona Kalina. Anda mengalami luka serius di kaki. Bagian yang pernah diganti mengalami kerusakan akibat benturan."
Suara berat tapi tegas itu berasal dari pria berjas putih di samping ranjang. Kalina menoleh dengan lemah, dan jantungnya seolah berhenti berdetak saat mengenali wajah itu.
"Dokter… Helmut?"
"Akhirnya kau ditemukan juga," ujar dokter berkebangsaan Jerman itu sambil melepas kacamata medisnya. "Kami mencarimu berbulan-bulan sejak kau kabur dari pusat rehabilitasi kami di Munich."
"Aku… aku tidak bisa kembali. Aku tak butuh terapi itu lagi. Aku sudah baik-baik saja!"
"Sayangnya, kau sudah menandatangani perjanjian resmi. Kau masih dalam pengawasan dan pemulihan pasca operasi implan tulang. Apalagi sekarang luka itu kembali menganga. Kau harus ikut dengan kami kembali ke Jerman."
Kalina berusaha duduk, tapi nyeri luar biasa membuatnya memekik. Ia melihat ke arah kakinya yang dibalut penuh perban. Kulit buatan yang menempel saat operasi dulu… mengelupas. Luka lama itu kembali memburuk.
"TIDAK! AKU TIDAK MAU KEMBALI! AKU BAIK-BAIK SAJA DI SINI!"
Perawat mencoba menenangkannya, tapi Kalina memberontak keras. Tubuhnya gemetar, tangan mencengkram selimut dengan penuh emosi.
Dari balik kaca jendela, Aurelia mengamati semuanya. Matanya menatap lurus ke arah Kalina, lalu tersenyum tipis. "Permainan baru dimulai, Kalina. Dan kau sudah kalah satu langkah."
DI ruang ICU lainnya, Aditya hanya bisa menatap langit-langit dengan mata kosong. Tubuhnya terbaring lemah. Beberapa peralatan medis menempel di tubuhnya, dan kakinya—kini nyaris tak bisa digerakkan. Dokter mengkonfirmasi kerusakan parah di saraf tulang belakang.
"Kami akan lakukan beberapa terapi, tapi kemungkinan besar Bapak mengalami kelumpuhan sebagian. Kami mohon keluarga bisa menyiapkan mental dan pendampingan jangka panjang."
Aditya tak menjawab. Hanya air mata yang perlahan mengalir dari sudut matanya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa lemah. Bukan hanya fisik… tapi harga diri yang telah hancur total.
Tak ada Kalina di sampingnya. Tak ada kekuasaan. Tak ada cara untuk membalikkan semuanya.
KEMBALI ke kamar Kalina, perawat sedang membantu mempersiapkan administrasi evakuasi medis ke Jerman. Tapi Kalina terus menggeleng.
"Aku tak bisa pergi. Aku belum selesai. Aku harus… harus membalas Aurelia!"
Dokter Helmut menatapnya dalam. "Kau tidak dalam kondisi membalas siapa pun, Kalina. Kau butuh pengobatan. Dan ini bukan negosiasi."
Pintu kamar terbuka perlahan. Reyhan masuk tanpa suara, berdiri di ujung ranjang Kalina.
"Kalau kau masih berpikir membalas dendam, lebih baik kau berhenti sekarang. Karena semua ini sudah dalam kendali kami. Termasuk perjanjian yang pernah kau buat dengan tim medis luar negeri."
"Kau… kau ikut campur juga?!" bentak Kalina, suara seraknya pecah oleh emosi.
Reyhan mendekat, lalu membisikan di telinganya. "Kau seharusnya tidak pernah menyentuh Aurelia sejak awal. Tapi sekarang, nikmati konsekuensinya."
Di luar rumah sakit, hujan kembali turun. Aurelia berdiri di bawah payung putih, menatap langit gelap yang perlahan disinari cahaya fajar.
"Babak baru sudah dimulai," ucapnya lirih.
Seseorang datang dari arah lorong rumah sakit. Tubuhnya tegap, langkahnya mantap, dengan berkas hitam di tangan. Ia menuju ruang tempat Aditya dirawat. Di dalam berkas itu… ada dokumen penting: sebuah klaim atas kasus korupsi dan penggelapan dana oleh Aditya yang sebelumnya ditutup-tutupi.
Aurelia melirik ke arah pria itu, lalu menatap Reyhan yang muncul dari balik pintu.
"Sudah siap?" tanya Reyhan.
Aurelia tersenyum kecil. "Sudah. Saatnya kehancuran total mereka dimulai."
Di kamar Kalina.
"Kakiku... sakit...! Jangan sentuh aku!" Kalina menjerit histeris ketika perawat mencoba memeriksa lukanya yang kembali menganga akibat kecelakaan. Tubuhnya menggigil menahan nyeri, tangannya mencengkeram erat sisi ranjang. Beberapa perawat mulai panik karena Kalina terus berontak.
"Tolong, bu... kita harus periksa lukanya, ini berbahaya kalau dibiarkan!" ujar salah satu perawat sambil menahan tubuh Kalina yang terus bergerak.
Di balik kaca ruangan itu, Aurelia berdiri tegak. Matanya menatap tajam namun penuh kelegaan. Di sisi lain berdiri Reyhan dan Raka. Suasana di luar kamar itu hening, seolah dunia berhenti untuk menyaksikan penderitaan Kalina.
"Tak kusangka, akhirnya dia kembali merasakan apa yang dia tanam," ucap Aurelia lirih. "Karma ternyata tidak pernah salah alamat."
Reyhan menatap Aurelia sejenak. "Dia belum tahu kalau dokter yang menanganinya datang langsung dari Swiss atas permintaan pihak internasional. Dia akan dibawa untuk investigasi lebih lanjut, dan kali ini tidak akan mudah untuk kabur."
Sementara itu, Aditya yang terbaring lemah di ruangan sebelah hanya bisa menatap kosong langit-langit. Kedua kakinya dibalut dengan perban tebal, dan selang infus menancap di lengannya. Dokter menyampaikan kemungkinan besar dia tak akan bisa berjalan normal lagi. Salah satu kakinya patah parah dan sarafnya mengalami kerusakan.
"Dia sudah tahu kondisi Aditya?" tanya Aurelia tanpa menoleh.
"Belum. Dia terlalu sibuk menjerit. Tapi waktu akan menjawab semuanya. Mereka akan tahu bahwa permainan mereka telah berakhir," jawab Raka dengan suara tenang namun tegas.
Tiba-tiba, terdengar suara jeritan Kalina kembali. Tapi kali ini, lebih putus asa. "Jangan bawa aku! Aku nggak mau ke luar negeri lagi! Aku tahu kalian mau menjebakku! Ini semua pasti ulah Aurelia!"
Para petugas medis dan keamanan rumah sakit tetap bergerak cepat, mendorong ranjang Kalina menuju ruang observasi yang sudah dipersiapkan untuk pemindahan. Kalina mencoba melawan, berteriak, bahkan mencakar seorang perawat. Namun luka di kakinya membuatnya kehilangan kekuatan dan akhirnya tak berdaya.
"Aku nggak mau ditinggal Aditya... dia satu-satunya yang aku punya...!" isaknya sambil menatap nanar ke arah ruangan Aditya.
Sayangnya, Aditya tak mendengarnya. Sedikit pun.
Dokter masuk ke ruangan Aditya dan dengan hati-hati menyampaikan kondisinya. "Pak Aditya... kami harus memberitahu sesuatu yang penting. Kaki kanan Anda tidak merespons. Kami sudah melakukan yang terbaik, tapi kerusakan terlalu parah. Kemungkinan besar Anda akan membutuhkan kursi roda untuk waktu yang lama."
Aditya menoleh perlahan, wajahnya kosong. Kemudian... senyum getir menghiasi bibirnya.
"Karma datang terlalu cepat rupanya..."
Namun di balik itu semua, monitor keamanan yang berada di ruang tunggu utama memperlihatkan sosok misterius tengah menyelinap di lorong rumah sakit. Mengenakan hoodie hitam, sosok itu berjalan cepat ke arah tangga darurat.
Reyhan menyipitkan mata.
"Raka... kamu lihat itu?"
"Iya. Sosok yang sama dengan yang sempat terlihat di kamera parkiran belakang saat bom meledak. Aku yakin dia bukan pemain kecil. Sepertinya ini belum berakhir."
Aurelia memejamkan mata sesaat. Nafasnya bergetar.
"Kalau ini belum selesai... kita harus lebih siap. Mereka belum kapok."
Alarm rumah sakit tiba-tiba berbunyi nyaring. Semua lampu darurat menyala.
"PERINGATAN: Deteksi gas beracun di area ruang medis lantai dua. Segera evakuasi."
Semua tim medis mulai berlari. Aurelia, Reyhan, dan Raka langsung saling berpandangan.
"Mereka mulai lagi," gumam Reyhan tajam.
Aurelia mengangkat dagunya.
"Kali ini... aku akan berdiri di depan."
(BERSAMBUNG KE BAB SELANJUTNYA)
kadang dituliskan "Aurelnya pergi meninggalkan ruangan tsb dengan Anggun"
Namun.. berlanjut, kalau Aurel masih ada kembali diruangan tsb 😁😁🙏