sekian tahun Tasya mencintai suaminya, selalu menerima apa adanya, tanpa ada seorang anak. bertahun-tahun hidup dengan suaminya menerima kekurangan Tasya tapi apa yang dia lihat penghianatan dari suami yang di percaya selama ini..
apakah Tasya sanggup untuk menjalankan rumah tangga ini...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon neng_yanrie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27
Keindahan dan sempurna nyatanya tidak bisa
selamanya selalu di tabur, tapi hidup sering kali adalah tentang menikmati yang sudah di tuai.
Mungkinkah semesta bersikap adil di tengah riuhnya manusia-manusia
yang egois?
Tasya menyeka air matanya, lalu melepaskan pelukan dari Radit. Ingin rasanya terbangun dan berdiri kembali dari perasaan yang jatuh, tersudut, lemah, rapuh dan sakit dan semuanya yang kemudian bercampur menjadi satu.
"Ceritakan padaku semuanya ketika perasaanmu sudah tenang."
Tasya mengangguk pelan dan kembali berbaring.
"Temani aku ya, Dit. Aku takut," ucapnya lirih.
"Aku disini."
Mbok Sumi pagi tadi sempat datang ke rumah sakit, lalu kemudian pulang untuk membawa beberapa pakaian dan makanan buat Tasya. Meski sangat sedih, setidaknya hatinya sedikit lega karena Tasya baik-baik saja.
"Dit...," panggil Tasya lagi.
"Iya, kenapa?"
"Kalau kamu masuk ke perusahaanku gimana? Di sana sama sekali tidak ada orang yang bisa aku percaya."
Radit terdiam sejenak, pertanyaan yang tidak bisa di jawab begitu saja karena ia pun terikat dengan perusahaan lain, bukan hanya itu, ia pun menduduki posisi penting di sana.
"Dimana pun aku sekarang, aku pasti membantu mu, jangan pernah merasa sendirian. Kapan pun, kamu boleh membaginya."
Tasya kembali menggenggam tangan sahabatnya itu, entah kenapa selalu ada ketakutan di sana. Radit membalas pegangan itu, ia masih duduk di samping ranjang dan tidak sedikit pun beranjak.
Setelah kejadian semalam, terbesit dalam pikirannya untuk melepaskan sebagian harta yang sudah berpindah tangan atas nama Devan. Meski mungkin itu akan menjadi keputusan terberat dalam hidupnya, mengikhlaskan apa yang sudah tidak bisa lagi ia kendalikan, tapi mungkin itu akan membuatnya merasa bebas dan tidak lagi terikat dengan seseorang bernama Devan.
Sementara Devan hari ini memilih untuk tidak masuk
ke kantor, tidak peduli banyak panggilan dan pesan masuk yang berurusan dengan kerjaan. Ia ingin sendirian saat ini, mengurung diri di kamar. Ia merasa belum pernah se-hancur seperti saat ini.
Ada satu sisi dari pikirannya sedang bercengkrama dalam diam. Perjalanan hidup seorang Devan merasa begitu menakjubkan sebenarnya. Miskin, terbuang, kemudian berbalik menjadi jaya dan penuh hormat. Misi yang selalu berhasil, dendam yang sedikit demi sedikit mulai terbayar, tapi hatinya tidak mendapatkan apapun selain rasa kosong.
Apalagi ketika semalam ia melihat tangis pasrah di wajah Tasya, bahkan ia sama sekali tidak melawan ketika satu persatu Devan membuka bajunya.
Tidak... Sama sekali ia tidak merasa puas, bahkan entah kenapa hatinya sakit. Tapi keangkuhan menjalar di hatinya, ia menampilkan segala perasaan itu dan lebih memilih dendamnya.
****
.
.
.
.
Sintia merapihkan satu persatu bajunya ke dalam koper. Ia seperti kehilangan harapan, di sini sudah tidak bisa lagi bertahan. Bahkan Devan tidak pernah lagi menemuinya, dunia terasa begitu hancur seketika. Pemberitaan di luar tentang dirinya membuat jiwanya semakin kalut.
Tapi, untuk sekedar tempat pulang pun ia tidak punya saat ini. Keluarganya seperti sudah membuangnya. Sintia kehilangan arah harus melangkah kemana.
"Kamu akan kemana?" tanya asisten rumah tangga yang tidak lain adalah istri Mang Ade.
"Entahlah, Bi. Aku juga tidak tahu," jawab Sintia ketika keluar dari kamarnya.
"Tinggal saja di sini dulu sampai kamu tahu akan kemana, di luar pun tidak ada yang menerimamu bukan?"
Sintia menundukkan wajah, tak kuasa memperlihatkan mata yang menggenang.
"Aku harus apa, Bi?"
"Bertaubatlah! Mulai hidup baru, minta maaf pada Non Tasya, Tuan Devan pun tidak pernah benar-benar mencintaimu. Kalau dia sayang sama kamu, pasti dia akan tetap tinggal di hari-hari terpuruk kamu."
Sintia menghela napas panjang, ia membawa koper itu lalu duduk di sebuah sofa, lalu terdiam membisu dengan tatapan yang kosong. Masih tidak bisa meraba hati apa yang seharusnya di lakukan.
Lambat laun ada yang Sintia sadari kemudian, melepaskan. seseorang pergi itu memang sangatlah tidak mudah. Tapi ia harus mulai belajar tentang itu, belajar untuk kehilangan, sebelum semuanya hilang lebih banyak, mungkin bisa saja ia akan kehilangan diri sendiri.
Ia kembali menunduk, memegang wajahnya dengan kedua tangannya. Lambat laun meremas rambutnya dan kembali terisak, sungguh ini adalah titik kehancuran yang pernah ia rasakan selama hidupnya.
Begitu pun dengan Kirana. Ia merenung duduk sendiri di kamarnya, sementara Evan bermain dengan riang tak jauh dari ranjang, main mobil mobilan kesayangannya karena pemberian dari ayahnya.
Pada Kirana, Devan tidak begitu mengabaikan, mungkin karena ada Evan yang hadir di tengah-tengah mereka, pelipur lara ketika hati tak bisa lagi membawa damai.
Di dalam sujud yang panjang, Kirana tak henti meminta, sebuah kekuatan untuk pergi, setidaknya beranjak dari situasi ini. Tapi kelemahannya adalah selalu berhasil dalam damai meskipun waktu memerasnya sampai habis. Entah ini berkah atau apa.
Ia pun turun dari ranjang, kemudian berjalan ke arah lemari dan mengambil sebuah kotak yang sudah tidak di pakai, benda-benda penuh kenangan dari masa lalu, dari sahabat, juga orang spesial.
Dengan penuh debu, di ambilnya sebuah buku kecil berisi catatan, tapi bukan diary, lebih ke catatan penting yang selalu ia abadikan. Lembar perlembar halaman di buka, ia mencari sebuah kontak yang pernah di simpannya beberapa tahun lalu, kontak milik Radit. Meski tidak yakin nomor itu masih bisa di hubungi.
Ia mencari ponselnya, lalu mulai mengetik nomor, menyimpan dan mengecek melalui WhatsApp.
Senyumnya tersungging, saat kontak Radit terhubung dengan aplikasi itu, menandakan bila nomornya masih di pakai.
.
.
.
.
.
[ Asalamualaikum.]