Selling My Virginity (Menjual Keperawanan Ku)

Diluar gedung berlantai dua puluh lima itu. Aku berjalan gontai, sambil beberapa kali menyeka air mata ku yang terus menetes. Kejadian tadi seakan membuat jantungku hampir berhenti berdetak. Meskipun aku sudah berusaha kuat didepan kedua orang itu. Tapi aku tidak bisa berbohong, jika hatiku teramat sakit.

"Brengsek!"

"Kenapa dadaku tidak bisa berhenti berdenyut! Beby, berhenti menangisi kedua orang itu! Mereka sama sekali tidak pantas untuk kamu tangisi!!"

Otot kaki ku melemas seketika, dan aku pun terhuyung. Untung saja aku sempat meraih tiang halte dan duduk di bangku terdekat.

Aku menatap ke arah jalanan dengan mengerutkan dahi dan menyipitkan mata. Karena yang aku lihat, jalanan itu seakan bergelombang seperti ombak. Aku tidak sanggup lagi menahan nya. Dan akhirnya aku pun terjatuh tersungkur di tanah. Tapi sebelum mataku tertutup aku sempat mendengar suara seseorang memanggil namaku. Setelah itu aku sudah tidak bisa mengingat apa-apa lagi.

.

.

Mata ku mengerjap beberapa kali. Entah sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Dan sekarang saat aku membuka mata, yang kulihat adalah ruangan yang begitu mewah, dan juga terasa sangat asing.

Aku pun bangun dan duduk, sambil memijit keningku, karena masih terasa pusing. "Tanganku?"

Aku terkejut melihat selang infus yang menempel di punggung tangan ku. "Aku ada dimana sekarang?"

Mata ku berkeliling menatap ruangan tersebut, yang aku yakini adalah kamar seorang pria. Karena desain dan warna nya yang bertema dark.

Cklek!

Suara pintu yang dibuka. Aku menatap ke arah pintu itu. Dahi ku mengerinyit, melihat Daniel lah yang masuk. Ia tersenyum melihatku dari kejauhan. Dengan langkah lebar dia berjalan mendekatiku.

"Kamu sudah bangun?" tanya nya.

"Hmm," jawab ku dengan anggukan.

"Aku ada dimana sekarang?" tanya ku.

"Kamu ada di apartemen ku, tadi aku tidak sengaja melihatmu pingsan dipinggir jalan, dekat apartemen seberang."

"Benarkah?" Aku memegangi kepalaku, berusaha mengingat kejadian tadi. Dan aku mengingat nya dengan jelas.

"Apa yang membuatmu seperti itu? Kata Dokter kau kelelahan dan banyak pikiran, sampai-sampai tekanan darah mu begitu rendah dan akhirnya jatuh pingsan karena sudah tidak sanggup menahan diri," jelas Daniel mengenai kondisiku.

Aku memalingkan wajah, menghindari tatapan nya. Aku tidak mau orang lain tahu tentang apa yang sudah aku alami.

"Aku baik-baik saja," ucap ku lirih tanpa menatap nya.

"Beby, jika ada sesuatu kamu bisa bicara padaku, mungkin aku bisa membantumu!" Daniel memang pria yang baik, dia menawari diri untuk menolongku. Namun sayang nya, tidak ada yang bisa menolong ku dari masalah yang aku hadapi ini, selain diriku sendiri.

"Aku baik-baik saja! Kamu tidak usah khawatir!" Aku memaksakan senyuman padanya, agar dia berhenti mendesak.

"Hmm, baiklah jika kamu bilang tidak apa-apa!"

"Kamu pasti lapar, aku sudah meminta pelayan untuk menyiapkan makan siang, ulurkan tangan mu, biar aku bantu!"

Aku menatap nya lama, sebelum akhirnya aku meraih lengan nya. Membiarkan dia membantu ku bangun dari tempat tidur. Kami berjalan keluar dari kamar itu. Menuju ruang makan yang dia maksud. Daniel pun mendudukkan aku di salah satu kursi, lalu dia duduk tepat di hadapan ku.

Aku melihat beberapa wanita berpakaian hitam putih, layaknya pelayan. Sedang sibuk mengatur hidangan tepat di depan kami.

"Beby, berikan tangan mu padanya, dia akan membuka kan selang infus itu!" ucap Daniel.

Aku pun sontak menoleh ke arah wanita berpakaian putih yang berdiri di sebelahku. Entah dari mana ia muncul, aku tidak melihatnya tadi.

"Oh, baiklah. Tolong pelan-pelan," ucap ku seraya membiarkan wanita itu melepaskan selang dan jarum infus nya.