El Gracia Jovanka memang terkenal gila. Di usianya yang masih terbilang muda, ia sudah melanglang buana di dunia malam. Banyak kelab telah dia datangi, untuk sekadar unjuk gigi—meliukkan badan di dance floor demi mendapat applause dari para pengunjung lain.
Moto hidupnya adalah 'I want it, I get it' yang mana hal tersebut membuatnya kerap kali nekat melakukan banyak hal demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan sejauh ini, dia belum pernah gagal.
Lalu, apa jadinya jika dia tiba-tiba menginginkan Azerya Karelino Gautama, yang hatinya masih tertinggal di masa lalu untuk menjadi pacarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Poor You, Little Thing
...Bagian 23:...
...Poor You, Little Thing ...
...💫💫💫💫💫...
Karel kira dia sedang bermimpi saat merasakan sesuatu bergerak mendesak tubuhnya. Dadanya terasa sesak, sulit menampung oksigen yang dihirup hidungnya susah payah. Pikirnya mungkin karena kelelahan, ia terkena sleep paralysis.
Namun saat kelopak matanya yang berat akhirnya bisa terbuka perlahan, ia sedikit tersentak kala mendapati dirinya sudah ketemplokan makhluk berambut panjang, yang helaian rambutnya menyebar hampir menutupi seluruh wajahnya. Bahkan ada sehelai rambut mahkluk itu yang masuk ke mulutnya, hampir membuatnya tersedak.
"Alamak...." gumamnya. Mau bergerak pun rasanya sungkan, takut salah pegang.
Makhluk itu, Jovanka, seakan tanpa dosa mengunci tubuhnya sedemikian rupa. Di atas sofa yang sempit bahkan untuk ditiduri sendiri, Karel dipaksa menerima nasibnya ketempelan anak manusia yang lelap tenang memeluknya.
"Jo--"
Karel tidak jadi melanjutkan ucapannya saat Jovanka menggeliat pelan. Telapak tangannya yang semula di dada Karel, bergerak ke samping, membuat pelukannya semakin erat. Karel menahan napas, menelan ludahnya susah payah. Kepalanya mendongak pelan, mengintip jam dinding yang tergantung di atas televisi. Pukul setengah dua dini hari. Lelap tidurnya sampai tidak sadar, sejak kapan gadis ini nemplok padanya seperti ini.
Kantuk yang bergelayut di mata Karel perlahan memudar. Ia terdiam cukup lama, memikirkan harus diapakan gadis ini karena tidak mungkin mereka tidur berdempetan di sofa sempit ini sampai pagi.
Hingga keputusannya pun akhirnya bulat. Karel akan memindahkannya lagi ke kamar tamu, tanpa membangunkan gadis itu terlebih dahulu. Namun saat ia mencoba bergerak dan tangannya menyentuh lengan Jovanka, ia merasakan suhu tubuh gadis itu lebih tinggi daripada suhu normal manusia. Di situ Karel mulai panik. Yang tadinya gerakannya pelan, berubah lebih sat-set. Jovanka diboyongnya masuk ke kamar tamu lagi.
Selama dipindahkan itu, Jovanka menggeliat pelan dan mulai bergumam tak jelas. Di atas ranjang yang empuk, tubuhnya lalu dibaringkan. Karel memeriksa kembali suhu tubuh gadis itu menggunakan telapak tangan. Memang demam, bukan sekadar perasaannya saja. Tapi supaya lebih jelas berapa suhu demamnya, untuk tahu apakah masih dalam batas aman, ia meninggalkan gadis itu untuk mengambil kotak P3K yang disimpannya di laci bawah meja televisi di ruang tamu.
Sekembalinya ia, Karel segera mengeluarkan termometer digital dari kotak P3K yang dibawanya. Dengan hati-hati ia menyelipkan ujung termometer ke ketiak Jovanka, tanpa sama sekali melakukan kontak berlebih. Ditunggunya sampai terdengar bunyi beep, barulah ditariknya kembali.
"38," gumamnya, membaca angka yang tertera di termometer. Masih terhitung aman, jadi masih bisa diredakan dengan pertolongan pertama.
Habis mengukur suhu, Karel keluarkan kompres demam yang biasa dijual dipasaran. Lazimnya untuk anak-anak, dia sediakan banyak untuk berjaga-jaga ketika Eliana menginap. Satu bungkus dibuka lalu ditempelkan ke dahi Jovanka. Karel sedikit menekankan telapak tangannya di sana agar kompres demam dengan gel pendingin itu bisa menempel sempurna.
Kemudian dilapnya juga wajah Jovanka yang mulai basah oleh keringat. Telinganya juga mencoba mencerna racauan apa yang silih berganti keluar samar dari bibir gadis itu, walaupun hasilnya nihil. Apa yang Jovanka gumamkan hanya seperti kata-kata acak yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa manusia.
Mengamati Jovanka sebentar lebih lama, Karel pun bangkit membereskan kembali kotak P3K. Hendak dikembalikannya benda itu ke tempat semula, kemudian melanjutkan tidurnya. Akan tetapi, hati kecilnya kembali terusik oleh kondisi Jovanka yang sepertinya sedang berada di titii paling rendah setelah sekian lama.
Maka sebelum kakinya mencapai pintu, Karel balik badan. Diletakkannya kotak P3K di atas meja, lalu dia duduk lesehan di samping ranjang. Punggung dan kepalanya bersandar di meja, tangan kirinya bertumpu lurus di sisi rajang dekat tubuh Jovanka, satunya lagi tertumpu di atas lutut kaki kananya yang ditekuk, kaki kirinya selonjoran. Pandangannya kosong menatap ke depan.
Setengah melamun ia memikirkan kembali, apakah segala hal yang dilakukannya sejauh ini terhadap Jovanka, merupakan hal yang tepat? Akankah setiap tindakannya membawa gadis itu pada hal-hal baik yang selama ini diidamkan, atau malah sebaliknya, menyeretnya ke pusaran masalah baru tanpa sadar?
Karel menoleh, menatap wajah pucat Jovanka cukup lama, terpaku di sana seolah sedang membaca setiap jengkal sisi wajahnya.
Soalnya ada yang pernah bilang sama gue, kalau ke mana pun gue pergi, gue nggak akan pernah nemuin orang yang sayang dan peduli sama gue kayak dia...
"That must have been really hard for you.” Karena Karel tahu, siapa pun itu yang mengatakannya pada Jovanka, pasti adalah seseorang yang dekat. Begitu dekat sampai rasa sakitnya terbawa ke mana-mana. Rasa sakit yang justru membuat Jovanka menjalani kehidupannya secara sembrono.
"Habis ini jangan hidup asal-asalan lagi," ucapnya, seakan bisa didengar saja oleh Jovanka yang masih sesekali terdengar meracau pelan.
Kemudian, ia membawa pandangannya kembali ke depan. Cukup lama terpaku pada dinding kosong di seberang. Sampai perlahan-lahan kelopak matanya turun dan ia mencoba terlelap.
...💞💞💞💞💞...
Muka cemberut, berkacak pinggang, dengan rambut masih acak-acakan, merupakan penampilan Eliana saat melabrak Karel di pagi harinya. Anak itu memandang sinis, usai berteriak heboh memanggil namanya. Karel sedikir gelagapan, sampai kepalanya terkantuk meja.
Lalu saat kepalanya menoleh ke samping, Jovanka ternyata sudah lebih dulu bangun. Gadis itu duduk di atas ranjang, rambutnya juga sama berantakannya dengan rambut Eliana, di dahinya masih menempel kompres demam yang semalam.
"Jam berapa ini, Ayah? El bisa telat sekolah!" seru Eliana menunjuk-nunjuk ponsel Karel yang menyala.
Karel mengusap kelopak matanya pelan, mengambil alih ponselnya seraya bangkit perlahan. "I'm sorry, semalam Ayah bergadang jagain Penyihir. Dia sakit lagi," katanya mencoba memberikan pengertian.
Tampak Eliana melirik Jovanka. Raut wajahnya perlahan berubah kala menemukan wajah sendu Si Penyihir. "Huh," Gadis kecil itu menghela napas pelan. "Oke, El maafkan. Sekarang cepat bangun, kita harus mandi dan berangkat sekolah."
Karel langsung mengangguk, lantas menggiring Eliana keluar dari kamar tamu. Sebelumnya, ia berpesan kepada Jovanka untuk beristirahat lebih lama. Gadis itu hanya mengangguk. Karel belum sempat memastikan apakah demamnya sudah reda, mengingat wajahnya juga masih pucat dan tampak berkeringat.
Pagi itu Karel disibukkan dengan rutinitas mempersiapkan Eliana berangkat sekolah, hanya saja kali ini sedikit lebih gedebukan demi menghindari kehabisan waktu. Segala hal yang dilakukan dalam waktu singkat akhirnya selesai. Eliana sudah rapi dan wangi. Tapi karena waktunya mepet, Karel sendiri hanya sempat cuci muka dan gosok gigi serta mengganti baju.
"Nanti sore Mama yang jemput," ucapnya sambil menaikkan Eliana ke gendongan. Kelamaan kalau membiarkan anak itu jalan sendiri turun ke basement, apalagi posisi parkir mobilnya agak jauh karena tragedi lampu mati yang semalam.
Sebelum pergi, dia menyempatkan diri mampir lagi ke kamar tamu, sekadar mengecek keadaan Jovanka dan berpamitan pergi. Begitu pintu dibuka, ternyata gadis itu sedang terlelap. Akhirnya Karel menutup pintu kembali dan pergi begitu saja.
Sementara itu, setelah mendengar pintu kamar ditutup, Jovanka perlahan membuka mata dan perlahan duduk. Ia menatap pintu cukup lama, seraya tangannya merambat naik meraba kompres demam yang masih tertempel di dahinya. Sengaja tak ingin dilepasnya. Sengaja dibiarkannya di sana lebih lama.
Karena rasanya... Sudah lama sekali sejak ada seseorang yang merawatnya sebaik ini.
Bersambung....