“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. PIJATAN SUAMI
Renzo Alverio baru saja turun dari mobil ketika suara motor meraung memasuki area parkir basement apartemen. Sekilas saja ia tahu siapa pengendaranya.
Yuda Pratama.
Kemeja putih pemuda itu sudah tak layak disebut putih lagi. Ada cipratan pink samar, persis seperti hasil eksperimen cat yang gagal. Bahkan aroma stroberi samar masih terbawa oleh udara. Renzo hampir tertawa.
“Yuda …,” panggilnya sambil melangkah mendekat.
Pemuda itu menoleh cepat. “Yah!”
Penumpangnya berpakaian serba gelap dari kepala sampai kaki, seperti habis pulang takziah. Arshen.
“Nah, kebetulan kalian bareng,” ucap Renzo, lalu menatap Yuda dari atas ke bawah dengan gaya menimbang. “Apa perlu Ayah beliin parfum susu stroberi? Kayaknya kamu cocok banget.”
Yuda langsung cemberut. “Tadi ada cewek yang ngasih susu. Kayaknya grogi, susu kotaknya meledak.”
Renzo mengangkat alis, geli. “Ledakan cinta, ya?”
Pandangan lalu dialihkannya pada Arshen. “Kamu naik motor Yuda? Mana motormu?”
“Di kampus,” jawab Arshen singkat.
“Kenapa ditinggal?”
Yuda buru-buru menyela. “Arshen diganggu sasaeng, Yah. Ceweknya megangin dia kayak mau pasang kalung ke kucing.”
Renzo hanya mendengus pelan. “Pantas. Mamanya artis, anaknya kena sasaeng. Dunia memang adil.”
Arshen menatapnya tajam sesaat, tapi tetap diam.
Renzo menurunkan nada suaranya, kini lebih serius. “Om hubungi papamu, Shen. Suruh security kampus bersihin dia. Itu kampus kita juga, Arshen. Aman aja.”
Tapi Arshen buru-buru menggeleng. “Jangan, Om. Jangan lapor dulu ke Papa.”
Renzo melipat tangan di dada. “Kenapa?”
Yuda ikut bingung. “Lah? Lo kenapa malah kayak kasihan gitu?”
Arshen menunduk sejenak sebelum bicara. “Cewek itu … pacarnya bunuh diri. Ditinggal gitu aja, katanya. Sejak itu dia kayak ... nempel ke gue. Dia pikir gue gantinya.”
Keheningan sempat menggantung.
“Dia lagi dalam perawatan. Konseling. Tapi suka nyelinap ke kampus,” lanjut Arshen, lebih pelan lagi. “Aku ... nggak tega, Om. Makanya aku terima aja asal nggak nyakitin dia.”
Renzo memejamkan mata sebentar, menarik nafas panjang. Dunia anak muda sekarang terasa lebih rumit daripada masa mudanya dulu. “Kamu terlalu baik,” gumamnya sambil menepuk bahu Arshen.
“Bukan baik. Cuma ... nggak mau dia jadi tambah rusak,” jelas Arshen.
Renzo menatap wajah Arshen. Pemuda itu masih muda, tapi sorot matanya membawa beban yang mestinya tak perlu ia pikul di usia itu. Dan juga wajahnya sangat mirip sang papa anak itu, Alaric Alverio yang masih saja sibuk dengan Alverio Group.
“Om tetap akan bicara ke papamu. Tapi tenang, Om hati-hati. Kita cari cara yang nggak nyakitin siapapun,” ucap Renzo.
Ia kemudian melirik Yuda. “Dan kamu, ganti baju. Papa nggak mau Bunda kamu khawatir.”
Yuda hanya bisa meringis. “Yes, Sir.”
...***...
Renzo membuka pintu apartemen, memberi jalan untuk Yuda yang segera melepas sepatunya. Pemuda itu tak berkata apa-apa, hanya melangkah cepat menuju kamar.
Renzo menutup pintu, melepas jas yang berat di bahu, melonggarkan dasi, lalu menarik sabuk. Kamar mereka temaram. Hanya lampu tidur yang menyala, tirai belum terbuka. Di ranjang, Nadhifa meringkuk, membelakangi dunia.
Ia mendekat.
Keringat di wajah istrinya menggurat kelelahan. Beberapa helai rambut menempel di dahi, tubuhnya menggigil pelan. Bukan karena dingin—Renzo tahu persis—tapi karena nyeri yang selalu datang tiap bulan. Dan kali ini, tampaknya lebih menyiksa.
Renzo duduk di sisi ranjang. Tangan kirinya terulur, menggenggam jemari Nadhifa yang dingin. “Sayang …,” bisiknya.
Nadhifa membuka mata sedikit, menatap dengan pandangan lelah.
“Ke dokter, ya?” tanyanya pelan.
Ia menggeleng. Dengan susah payah menarik tangan Renzo, ia membawanya ke arah perut. Di bawah selimut, ia menyelipkan telapak tangan suaminya ke dalam baju, menempel langsung pada kulit yang dingin dan berkeringat.
Renzo terdiam. Tangannya tetap di sana, tepat di atas perutnya. Ia tahu ia tak bisa menghapus sakit itu, tapi mungkin kehangatan kecil ini cukup. “Begini lebih nyaman?” tanyanya lagi.
Nadhifa hanya mengangguk sangat pelan. Matanya kembali terpejam.
Renzo mengusap wajah istrinya dengan tangan bebas, menyibak rambut yang menempel, lalu menunduk mencium keningnya. Dalam hati, ia berharap bisa memindahkan seluruh rasa sakit itu ke dirinya.
Untuk saat ini, ia hanya bisa menjadi tempat bersandar. Diam, tapi sepenuhnya ada di sisinya.
...***...
Suara air dari kamar mandi terdengar samar. Shower dinyalakan, dentingannya menabrak lantai keramik, berulang, stabil.
Nadhifa masih terbaring, mencoba menahan sisa nyeri yang sejak sore tak kunjung reda. Selimut menutupi tubuhnya hingga leher.
Matanya sempat terbuka ketika pintu kamar mandi dibuka. Ia melihat siluet suaminya yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk putih, lalu mengenakan celana kain dan kaos lengan panjang. Gerakannya tenang, seolah tak ingin membangunkannya. Padahal ia belum benar-benar tidur. Hanya terpejam, karena tubuhnya terlalu lelah untuk sekadar bangun.
Renzo naik ke tempat tidur dengan hati-hati. Kasur sedikit bergeser, lalu terasa lengan hangatnya merangkul dari belakang. Pelukan itu ringan, seolah takut menambah rasa sakit yang menumpuk di perut dan pinggang. Tapi justru pelukan itulah yang membuatnya merasa lebih hidup.
“Udah makan?” bisiknya.
“Udah,” jawab Renzo lembut di dekat telinganya. “Ayam rica-rica buatanmu. Aku hangatin, makan bareng Yuda. Kita juga udah Isya.”
Nadhifa melirik jam di nakas. Sudah lewat pukul sembilan malam.
Ya Allah, ia tertidur selama itu?
“Aku … tidur terus, ya?” gumamnya lirih.
“Kamu nyeri, wajar.” Renzo duduk perlahan, lalu meraih tangannya. Jari-jarinya memijat lembut, dari jemari yang kaku, naik ke pergelangan, lalu lengan. Satu per satu, pelan dan sabar.
Ia menghela napas. “Makasih, Mas…”
Renzo hanya tersenyum kecil. Tangannya beralih ke kaki, menekan tumit dan telapak dengan kekuatan yang pas. Nadhifa menggigit bibir sendiri, bukan karena sakit, tapi karena haru.
“Maaf ya ... aku malah jadi ngerepotin,” katanya lirih.
“Nadhifa,” ucap Renzo, nadanya sedikit tegas namun tetap tenang. “Kamu istriku. Kamu sakit, aku yang rawat. Itu bukan repot, itu tugas.”
Dadanya terasa hangat. Ada sesuatu yang merambat pelan ke matanya, tapi ia menahannya.
Pelukan, pijatan, dan suara rendah itu cukup menjadi obat malam ini. Walau nyeri belum sepenuhnya pergi, hatinya terasa lebih tenang.
Kaki Nadhifa masih dalam genggaman tangan Renzo. Hangat, nyaman. Jemari suaminya menyusuri betis sampai pergelangan, seolah tahu persis titik mana yang paling pegal. Rasanya dipijat suami sendiri memang berbeda. Ada rasa sayang yang ikut meresap bersama pijatan itu.
“Kamu tahu,” ujar Renzo tiba-tiba, melirik padanya dengan senyum licik khasnya, “kalau dihitung-hitung … kita udah sepuluh kali gagal bikin anak.”
Nadhifa menoleh cepat, menahan tawa. “Mas Renzo ngitung?!”
“Lho, aku serius,” balasnya, nada suara dibuat pura-pura nelangsa. “Hitung aja dari awal bulan sampai sekarang. Gagal semua. Apa jangan-jangan akunya yang m*nd*l?”
Nadhifa duduk sedikit, lalu membungkuk untuk mengusap pipi Renzo dengan lembut. “Gagal karena waktunya belum pas,” katanya, berusaha terdengar tenang.
Renzo mengangkat alis. “Oh, jadi kamu masih mau…?”
Pipi Nadhifa merona. Ia menunduk sedikit, lalu berbisik pelan, seolah takut kata-katanya terlalu nyata. “Kalau waktunya sudah siap … aku juga siap buat lagi, Mas.”
Hening sejenak.
Tatapan Renzo membisu. Kemudian ia bersuara lirih, nyaris nakal, “jangan ngomong gitu pas aku lagi mijit, bahaya.”
Nadhifa tertawa kecil, memukul pelan bahunya. “Sudah, pindah ke kaki satunya.”
“Siap, Bundanya anak Renzo.”
Deg.
Dadanya berdebar. Tapi kali ini bukan karena nyeri, melainkan karena harapan.