Pengkhianatan itu bukan datang dari musuh, tapi dari orang yang paling dia percaya.
Vilya Ariestha Elora — dihancurkan secara perlahan oleh pacarnya sendiri, dan sahabat yang selama ini ia anggap rumah. Luka-luka itu bukan sekadar fisik, tapi juga jiwa yang dipaksa hancur dalam diam.
Saat kematian nyaris menjemputnya, Vilya menyeret ke duanya untuk ikut bersamanya.
Di saat semua orang tidak peduli padanya, ada satu sosok yang tak pernah ia lupakan—pria asing yang sempat menyelamatkannya, tapi menghilang begitu saja.
Saat takdir memberinya kesempatan kedua, Vilya tahu… ia tak boleh kehilangan siapa pun lagi.
Terutama dia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Meminta Maaf
Elena hanya bisa terpaku.
Sebelum sempat mengatur napas, cambuk kembali mendarat di punggungnya.
Suara sabetan itu terdengar jelas, dan piyama yang ia kenakan robek, memperlihatkan guratan merah yang mulai membengkak.
Sambil merangkak lemah di lantai, Elena meringis menahan sakit.
Air mata dan keringat membasahi wajahnya, tatapannya mengarah ke Vilya, yang berdiri tak jauh dari sana.
Saat itu, ia ingin menjebak gadis itu. Tapi kini, justru ia yang berlutut di hadapannya.
Rasa malu itu jauh lebih menyakitkan dibanding cambukan yang membakar punggung.
"Jangan pukul dia, Marvin!" seru Elmira panik sambil menarik lengan Marvin. "Dia putri mu, sejak kecil, dia nggak pernah di pukul begini!"
Bagaimanapun, Elena adalah putrinya. Elmira tak sanggup melihat anaknya disakiti seperti ini.
"Tenang saja," sahut Marvin dingin, mendorong Elmira perlahan.
Elmira terdiam.
Dia tahu tak ada lagi yang bisa dikatakan. Seandainya saja dia tadi bersikap sedikit lebih adil, situasinya tak akan jadi serumit ini.
Sekarang, untuk membela putrinya pun, dia kehabisan kata.
"Paman, tolong jangan pukul Elena lagi! Aku mohon!" Arabelle panik. Ia tidak menyangka semuanya akan sejauh ini.
Ia pikir, paling tidak, pamannya akan menjaga wajah keluarga di depan tamu seperti dirinya.
“Kau tadi yang bilang cukup sepuluh cambukan, masih kurang beberapa?” Marvin menatap Arabelle tajam, penuh amarah.
Arabelle langsung mundur dua langkah, tubuhnya gemetar.
Semua ini tak seharusnya begini. Ia menoleh dengan tajam, memandangi gadis itu dengan penuh kebencian. "Apa kau puas sekarang? Ini semua salahmu!"
Ia hanya tertawa kecil, lalu mengangkat bahu. “Kalian yang masuk ke kamarku tengah malam dan bertingkah seperti pencuri. Sekarang kalian mau menyalahkan ku? Lucu sekali.”
"Vilya!" Elena menggertakkan gigi. Tatapannya penuh dendam.
Ia bersumpah, suatu hari nanti dia akan membalas semuanya. Rasa sakit malam ini harus dibayarnya seribu kali lipat.
"Elena, kamu tahu kesalahanmu?" tanya Marvin dengan suara berat.
Elena menggigit bibirnya, diam. Tatapannya masih tertuju padanya, Ia tidak bisa berkata apa-apa.
"Elena, cepat minta maaf pada Ayah. Minta maaf juga pada Kakakmu," ujar Elmira cemas.
Ia sadar Marvin sedang memberinya jalan keluar, dan ini kesempatan terakhir.
Meski hatinya penuh amarah, rasa takut pada cambuk di tangan sang ayah lebih besar. “Maaf. Aku salah.” ucapnya lirih.
"Dia sudah mengaku salah," Elmira buru-buru menengahi.
Marvin menatapnya dingin. “Kalau ini terjadi lagi, hukumannya akan lebih berat.” Suaranya tetap tegas meski tangan yang memegang cambuk masih bergetar. Bagaimanapun, Elena tetap darah dagingnya. Luka-luka di tubuh gadis itu memang menyakitkan, tapi masih tergolong ringan.
Ia yakin dalam beberapa hari akan sembuh dengan perawatan yang tepat.
"Bangun, sayang. Mama bantu berdiri," Elmira berusaha menopang Elena. Namun begitu disentuh, tubuh putrinya kembali meringis kesakitan.
Saat suasana mulai mereda, suara gadis itu terdengar pelan namun jelas.
"Ayah, aku cuma ingin tahu, kenapa mereka bisa punya kunci kamarku? Siapa yang kasih?" Tatapannya tajam.
"Kalau sampai aku tidak tahu siapa yang bertanggung jawab atas keamanan rumah ini, aku akan kembali ke rumah Mama." Marvin terdiam. Ia tahu ucapannya serius.
Dan kakeknya sendiri pasti tidak mengizinkannya pergi begitu saja.
"Erland," panggil Marvin, suaranya dingin.
Erland langsung gemetar. Ia tahu kunci kamar memang ada padanya sebagai kepala pelayan.
Dan kunci itu... memang ia yang berikan. Tapi ia tak menyangka akan terseret sejauh ini.
"Berlutut." Marvin menggenggam cambuk di tangannya, matanya tak berkedip.
Erland langsung jatuh berlutut. "Tuan... saya sudah bekerja bertahun-tahun di rumah ini. Ada banyak hal yang telah saya lakukan untuk keluarga ini."
"Aku beri dua pilihan," kata Marvin tanpa emosi. "Kemasi barangmu dan pergi... atau terima cambukan ini, pilih!"
Erland menelan ludah. Setelah sekian lama membangun posisinya, ia tidak rela semuanya hilang begitu saja. "Saya salah, Tuan. Saya terima hukumannya."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Marvin langsung mencambuknya.
Suara cambuk memecah ruangan, diikuti suara ringisan pelan. Tubuh Erland nyaris ambruk.
"Bawa dia ke kamarnya," perintah Marvin.
Beberapa pelayan segera bergerak membantu.
Setelah mereka pergi, Nolan—yang sebelumnya ikut berbohong—tak sanggup lagi berdiri. Ia gemetar hebat, lalu jatuh terduduk.
Marvin menatapnya tajam. "Siapa namamu?"
"Nama saya... Nolan." jawabnya dengan suara bergetar. Wajahnya pucat pasi.
"Keluar." Marvin mengerutkan kening. "Aku tak mau lihat kau di sini lagi."
"Aku... aku janji nggak akan ngulangin lagi!" Nolan panik. Ia benar-benar tak mau kehilangan pekerjaannya.
"Tuan, cambuk aku saja. Berapa kali pun aku siap. Asal jangan usir aku!"
"Pergi!" bentak Marvin, suaranya dingin dan tajam. "Orang sepertimu tak pantas berada disini, bawa dia pergi dari sini."
Beberapa pelayan segera maju dan menyeret Nolan keluar. Suara teriakannya yang memohon perlahan memudar di balik pintu.
Marvin mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. "Kalau ada yang masih berani buat onar, silakan angkat kaki sekarang juga."
Tak ada yang bersuara.
Para pelayan yang semula ikut menyaksikan drama malam itu langsung menunduk. Untuk pertama kalinya, mereka melihat Marvin benar-benar marah.
Yang tadinya ingin menjatuhkan gadis itu agar bisa lebih dekat dengan sang nyonya rumah... kini mereka sadar itu tindakan bodoh.
Mereka tak berani lagi meremehkan gadis muda itu. Dia bukan cuma anak dari Marvin, tapi juga pewaris keluarga Elora.