Nayanika memang tidak pandai mencari kekasih, tapi bukan berarti dia ingin dijodohkan.
Sialnya, kedua orangtuanya sudah merancang perjodohan untuk dirinya. Terpaksa Naya menikah dengan teman masa kecilnya itu, teman yang paling dia benci.
Setiap hari, ada saja perdebatan diantara mereka. Naya si pencari masalah dan Sagara si yang paling sabar.
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Hari di mana Sagara menitipkan Naya ke mansion Soedjodjo.
08666xxxxxx: Temui saya di sini jika kamu menginginkan semuanya kembali
08666xxxxxx: Send location
Setelah Naya masuk ke dalam rumah, Sagara kembali melajukan mobilnya menuju lokasi tersebut. Jaraknya lumayan jauh dari mansion Soedjodjo.
Hingga tepat pukul tujuh malam, Sagara sudah sampai di sana. Sebuah gedung tingkat terbengkalai yang ada di tengah hutan. Tanpa ragu Sagara masuk ke dalam.
"Keluar!" seru Sagara. Dia berdiri di tengah-tengah ruangan sambil menatap sekelilingnya dengan mata tajam.
"Kamu tetap sama ternyata."
Suara itu membuat Sagara menoleh ke arahnya.
"Apa kabar?"
Sagara berdecih. "Dasar pria licik," desisnya.
"Oh tentu saja. Bukan Felix Halley namanya kalau tidak licik." Felix merentangkan tangannya dengan wajah sombong.
"Kembalikan apa yang kamu curi. Sekarang," tekan Sagara.
Kening Felix mengerut dengan senyum yang tersemat di bibirnya. "Apa yang harus saya kembalikan, Tuan Muda? Data penting perusahaan, atau ... " Felix menggantung ucapannya.
"Istrimu?" lanjutnya.
Sagara mengeraskan rahangnya. Matanya menatap nyalang manusia di depannya ini.
Melihat raut wajah Sagara, Felix langsung tertawa keras sambil memegangi perutnya, seakan-akan di depannya ini adalah pelawak.
"Hahahaha ... astaga, kenapa wajah kamu lucu sekali?" Felix menyeka air mata di sudut matanya. Setelahnya dia menghela nafas dan menatap Sagara dengan senyum tengil nya.
"Jangan khawatir, mana mungkin saya mengambil istri kamu? Oh ... tidak sekarang, tapi ... nanti."
Bugh!
Sagara menyerang Felix, dia melayangkan pukulannya dengan kuat sampai membuat Felix tersungkur.
"Jangan libatkan siapapun di sini. Ini masalah kamu dan saya, hanya kita berdua," ujar Sagara, nada bicaranya pelan, dingin, namun penuh penekanan dan intimidasi.
Felix terkekeh sembari menyeka sudut bibirnya yang berdarah, dia kembali berdiri tegak di hadapan Sagara.
"Kamu memukul saya?" Ia berdecih. "Ingat kedatangan kamu kemari, Tuan Muda. Saya bisa melakukan apapun yang saya mau dengan hanya menjentikkan jari," lanjut Felix.
"Saya rasa, kamu tidak melupakan identitas saya yang sebenarnya," balas Sagara tak kalah dingin.
"Saya datang ke sini hanya semata-mata ingin melihat perkembangan kamu. Tapi ternyata ..." Sagara berdecak tiga kali dengan raut wajah meremehkan. "Tidak ada kemajuan apapun," lanjutnya.
Felix tersenyum sinis. "Kamu mau melawan saya? Tidak ingat ada seseorang di rumah yang sedang menunggu kepulangan mu?"
"Sudah saya bilang, saya bisa melakukan apapun hanya dengan menjentikkan jari saja. Sekarang, detik ini, saya bisa membuat kamu kehilangan perempuan itu," ucap Felix seolah mengancam Sagara.
Sagara terkekeh kecil, dia menunduk sejenak lalu kembali menatap sang musuh. "Selama saya masih bernafas, saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi."
"Maka dari itu, saya harus memusnahkan kamu. Begitu?" Felix memiringkan kepalanya menatap Sagara dengan remeh.
Sedetik kemudian, sepuluh orang berbadan besar langsung mengeroyok Sagara. Sedangkan Felix berbalik dan pergi dari sana, tanpa menoleh ke belakang.
"Mangsa sudah menyerahkan diri, untuk apa kalau tidak diterkam?" gumam Felix, senyumnya semakin lebar seiring dengan langkahnya yang menjauh.
****
Kejora menangkup wajah Sagara ketika anaknya baru bergabung ke meja makan.
"Ini kenapa, Sayang?" tanya Kejora. Raut khawatir nya tidak bisa dia sembunyikan.
"Sisa latihan taekwondo semalam, Ma. Gak papa." Sagara mengelus tangan mamanya yang menangkup wajahnya.
"Benar gak apa-apa?" tanya Kejora. Matanya sudah berkaca-kaca melihat kondisi wajah anaknya.
Sagara mengangguk. Namun, Kejora tidak bisa tenang begitu saja. Dia beralih menatap Rahayu yang sibuk dengan ponselnya.
"Rahayu, periksa mas mu, cepat," desak Kejora.
"Gak perlu, lukanya sudah diobati Naya. Ini cuma luka kecil, Ma," ucap Sagara. Dia tersenyum meyakinkan sang mama.
"Laki-laki itu kuat, itu cuma luka kecil. Iya kan, Saga?" Candala Adipati bersuara.
Sagara hanya tersenyum sebagai jawaban.
Kejora menghela nafas, dia menepuk-nepuk kedua pundak Sagara. "Jaga diri, Sayang. Kamu sudah menikah, kasian istrimu kalau khawatir," ujarnya.
Sagara mengangguk, dia mencium kening ibunya lalu ikut bergabung bersama yang lain.
"Tuh, denger kata mama!" bisik Naya tajam. Tadi malam dia tidak bisa tidur nyenyak karena kepikiran Sagara.
Setelah sarapan pagi, Sagara ke kantor, dan Naya memilih pulang saja. Dia tidak membawa baju ganti untuk mandi nanti.
Saat asik menonton TV, ponselnya tiba-tiba berbunyi tanda pesan masuk. Naya segera memeriksanya.
08666xxxxxx: Nona, saya Felix. Jangan lupa disimpan nomornya.
Naya terdiam, dia belum memberitahu Sagara soal ini. Bisa-bisa pria itu ngamuk tau ada nomor pria lain di kontaknya.
Naya: Oke
Tanpa mau menyimpan nomornya, Naya meletakkan ponselnya begitu saja ke atas meja yang ada di depannya. Dia kembali meraih snack nya tadi dan lanjut menonton dengan tenang sambil rebahan.
"Naya!"
Mata Naya melotot. Dia langsung beranjak duduk.
"Mama?!"
Arunika tersenyum lebar. Dia menghampiri Naya dengan kedua tangan yang penuh belanjaan. Entah apa isinya, Naya tidak tau.
"Mama bawa apa, kok banyak banget?"
Arunika mencebik. "Kamu ini, mentang-mentang udah nikah, gak pernah pulang! Masa Mama terus yang ke sini! Sekali-kali dong nginap di rumah, biar Mama gak kesepian!"
Naya menggaruk kepalanya. "Sagara sibuk akhir-akhir ini, jadi aku belum bisa ke sana, hehehe..."
"Awas aja kalau Sagara udah gak sibuk, kamu tetap gak nginap di rumah Mama!" Arunika memicingkan matanya. Setelah itu dia menyerahkan paper bag yang dia bawa.
"Oleh-oleh dari kakakmu. Dia baru pulang kemarin," ujar Aru.
"Kak Ferdi udah pulang? Kok gak ngabarin aku? Sekarang dia di mana?" tanya Naya.
Kakaknya itu baru liburan ke luar negeri bersama istrinya.
"Di kantor. Dia nitipkan itu ke Mama karena belum sempat datang ke sini. Mungkin pas libur dia baru bisa ke sini," jelas Aru dan Naya mengangguk paham. Sudah lama dia tidak melihat kakaknya semenjak menikah. Ya karena mereka memang sama-sama sibuk.
"Oh iya, Mama ke sini mau ngajak kamu masak! Dari pada rebahan gini, mending kamu asah kemampuan kamu tuh!" Aru menarik tangan Naya agar berdiri.
Naya sudah menduga. Tak mungkin Aru ke sini hanya untuk bersantai.
"Sudah bisa bikin apa aja kamu?"
Kini mereka berdua sudah berada di dapur. Para pembantu sudah Aru usir dari sana.
"Ngomong-ngomong, kamu udah itu belum?" bisik Arunika. Padahal di sana hanya ada dirinya dan Naya.
"Itu apa, Ma?" tanya Naya. Dia menyeka air matanya karena habis memotong bawang.
"Hubungan suami istri di ranjang."
Uhuk uhuk
Naya tersedak ludahnya. Aru mencebik melihat reaksi anaknya yang berlebihan.
"Pasti belum ya? Udah ketahuan dari reaksi kamu," ujar wanita itu.
"Emang ... wajib, ya?" tanya Naya, dia seketika meringis saat Aru memelototi nya.
"Pertanyaan apa itu, Naya?!" geram Aru. Hampir saja spatula yang dia pegang melayang ke arah anaknya.
"Aku kan nanya." Naya cemberut.
"Ya jelas wajib, dong! Kamu gimana, sih?!" Aru menghela nafas mencoba menenangkan diri. "Naya, Sagara itu pria normal. Setiap malam kalian tidur berdua, mana mungkin dia gak—"
"OKE IYA PAHAM!" pekik Naya menyela ucapan Aru. Pipinya sudah memerah seperti kepiting rebus. Dia paling tidak suka kalau membahas hubungan itu, dia malu.
"Kalau paham kenapa belum kamu lakuin juga?" Aru berdecak. Sambil menggoreng ikan, dia berkata, "Lebih baik kamu kasih jatah Sagara secepatnya. Kasihan dia kalau nahan-nahan. Kamu yang peka dikit dong, Nay. Mama yakin, Sagara pasti nunggu kamu siap. Dan kamu harus siap secepatnya!"
Kemarin Kejora, sekarang Aru, Naya jadi merasa bersalah pada Sagara. Benarkah pria itu sedang menahan-nahan?
"Kalau Sagara mau, padahal aku bisa aja langsung kasih. Tapi selama ini dia gak bilang tuh," balas Naya masih membela diri.
"Suami itu nunggu istri siap. Coba kamu duluan yang minta—"
"GAK GAK GAK!" Naya menyela. "Hilang harga diri aku nanti, Ma!" rengeknya.
"Hilang harga diri, hilang harga diri. Heh! Dia itu suami kamu. Wajar dan sah sah aja! Kalau kamu lakuin itu sama suami orang, baru hilang harga diri!" sentak Aru.
Naya semakin cemberut. Dia bingung sekarang. Dirinya ini memang termasuk perempuan pemberani dan aktif, tapi soal urusan ranjang, Naya tidak mau menggoda atau meminta lebih dulu pada Sagara. Tentu saja Naya malu. Apakah ini wajar?
bersambung...
Kayanya cerita ini bab nya dikit aja deh. Seperti biasa, konflik selalu ringan dan mudah teratasi. Aku anti banget bikin konflik yang rumit, jadi, aku harap teman-teman semua tetap betah di sini;))))
JANGAN LUPA VOTEEEEE