Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.
Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.
Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.
Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25 Remake: Selamat Datang Kembali
Bident hijau itu melesat, membelah udara seperti kilatan petir hijau yang siap merobek segala yang menghalang. Sorot mata Sho bukan lagi milik manusia—dingin, kosong, dan liar, seolah tubuhnya dikuasai sesuatu yang tak berasal dari dunia ini.
Aria, yang masih terhuyung dengan napas berat, tahu ia tak lagi berhadapan dengan sahabat masa kecilnya, melainkan ancaman yang lebih berbahaya dari Invader yang baru saja Sho tumbangkan.
Saat ujung Bident nyaris menyentuhnya, gerakan Sho mendadak terhenti. Jari-jarinya menegang, otot-ototnya bergetar, seakan ada tangan tak terlihat yang menggenggam pergelangannya dan menahan gerakannya.
Itu hanya berlangsung sepersekian detik—namun bagi Aria, waktu terasa melambat.
Kesempatan itu tidak ia sia-siakan. Meski tubuhnya masih dipenuhi rasa sakit dan luka yang belum pulih, ia menarik busur perak Apollo. Cahaya matahari yang terperangkap dalam ingatannya membentuk anak panah tipis berwarna emas pucat—tidak mematikan, tetapi cukup untuk melumpuhkan.
Swush!
Anak panah itu melesat, menembus dada Sho tepat di sisi kiri, hanya beberapa senti dari jantungnya.
Tubuh Sho terhuyung. Tatapannya membeku. Tidak ada teriakan, hanya keheningan yang mencekam. Energi hijau yang mengelilinginya beriak tak menentu, seperti badai yang tiba-tiba kehilangan arah.
Aria tahu, serangan itu bukan untuk membunuh—melainkan untuk mengekang, mengikat, dan memberi waktu. Waktu yang mungkin hanya beberapa detik... Sebelum Sho kembali bergerak.
Awan hitam menutupi langit, menyisakan hanya kilatan petir jauh di horizon.
Tanah di sekitar mereka penuh retakan, bekas pijakan Sho yang tadi meluluhlantakkan Invader tingkat menengah tanpa ampun. Tubuhnya kini berdiri kaku karena panah Aria, bident hijau berpendar di tangannya, api hijau menari liar di sekelilingnya seperti akan melahap apa saja yang bergerak. Nafasnya berat, matanya merah rubi membara tanpa sisa kemanusiaan.
Aria terhuyung saat melangkah.
Lututnya gemetar, setiap langkah terasa seperti menembus duri panas yang menusuk dari dalam ototnya. Tubuhnya remuk, darah mengalir di sudut bibir, namun ia terus maju. “Sho...” Suaranya nyaris tak terdengar, terhempas oleh angin yang membawa aroma tanah terbakar.
Apollo, dari dalam jiwanya, hanya terdiam. Mata dewa matahari itu memantulkan kegelisahan yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya. “Kau akan mati kalau terus maju, Aria.”
“Aku tahu...” Jawabnya pelan, tapi tak menghentikan langkah. “Tapi aku akan mati juga... Kalau membiarkan dia hilang selamanya.”
Aria akhirnya sampai di hadapan Sho.
Tanpa ragu, ia meraih tubuh pemuda itu—meski api hijau yang menyelimutinya membakar kulitnya. Lengannya bergetar, tapi pelukan itu tak terlepas. Ia menempelkan wajahnya di dada Sho, mendengar detak jantung yang kacau, penuh amarah.
“Sho... Aku mohon... Kembali padaku...” Bisiknya, suaranya serak, matanya mulai basah. “Aku mencintai mu, Sho... Aku tak ingin kau menjadi mesin pembunuh seperti ini...”
Kata-kata itu runtuh bersamaan dengan sisa kekuatannya, namun pelukannya tetap erat. “Kumohon... Berjuanglah... Jangan membuang kemanusiaan mu...”
Di dalam jiwa Aria, Apollo hanya menutup mata. Ia bisa merasakan bagaimana jiwa inkarnasinya, yang nyaris runtuh, memaksa diri untuk menyelamatkan satu orang—meski berarti membakar habis sisa hidupnya.
Angin membawa suara lirih Aria berulang-ulang, seolah mencoba menembus dinding amarah dan kekuatan brutal yang kini membelenggu hati Sho.
---
Gelap.
Bukan gelap biasa—ini adalah kehampaan yang menelan segala rasa, suara, dan cahaya.
Sho berdiri... Atau mungkin terjatuh? Sulit untuk membedakannya. Tubuhnya terbungkus rapat oleh akar-akar tebal berwarna hitam kehijauan, berdenyut seperti urat nadi raksasa yang hidup. Setiap denyutan mengirimkan rasa dingin yang menusuk ke dalam jiwanya.
Di sela-sela kegelapan itu, hanya ada satu sumber cahaya—secercah kecil, nyaris padam, menembus celah akar yang mengekang tubuhnya. Cahaya itu terasa hangat... Akrab.
Lalu ia mendengarnya.
Suara lembut yang bergetar, namun penuh tekad.
“Sho... Berjuanglah... Jangan menyerah...”
Itu suara Aria. Tidak samar, tidak ilusi—ia yakin. Meski entah bagaimana suara itu bisa menembus lapisan alam bawah sadarnya, suara itu menembus jantungnya lebih dalam dari apapun.
Sho menunduk, merasakan tubuhnya semakin berat, jiwanya hampir larut dalam aliran kekuatan alam yang ingin menyatu dengannya. Memang benar... menyerah pada jiwa-jiwa alam akan membuatnya kuat, tubuhnya akan menjadi perpanjangan tangan hutan, bumi, dan akar. Tapi... Apa gunanya jika ia kehilangan kemanusiaannya?
Ia mengepalkan tinju, dan dalam kesadaran yang makin buram, ia berbisik pada dirinya sendiri:
“Aku... Masih manusia. Aku tidak akan membuang kemanusiaan ku! Aku tidak akan meninggalkan Aria!”
Dengan teriakan yang memecah sunyi, Sho memaksa jiwanya memberontak. Akar-akar itu mulai retak, cahaya dari tubuhnya merembes keluar, menembus setiap belitan yang mencoba menahannya. Rasa sakitnya tak terlukiskan—seperti seluruh uratnya terbakar dan membeku sekaligus—namun ia terus memaksa.
Dan akhirnya... Segalanya pecah.
Sho terbangun.
Udara dingin langsung menyeruak masuk ke paru-parunya. Napasnya tersengal, tubuhnya basah oleh keringat dan darah. Namun yang pertama ia lihat adalah Aria.
Gadis itu berlutut di sampingnya, memeluknya erat, seakan takut ia akan menghilang lagi. Rambut biru malamnya kusut, kulitnya hangus terbakar, dan api hijau menyala di sekujur tubuhnya. Itu... Api miliknya. Api yang seharusnya menjadi pelindung, kini melukai Aria.
“Aria...!” Sho terperanjat. Dengan satu gerakan, ia memanggil seluruh kekuatan untuk memadamkan api hijaunya, membiarkan nyala itu lenyap seolah ditelan udara. Bident di tangannya berkilau sebentar sebelum kembali menjadi kalung kristal hijau di lehernya.
Tubuh Aria kini penuh luka, napasnya tersendat-sendat. Namun, di tengah kelelahan dan rasa sakit itu, ia tersenyum. Senyum yang membuat jantung Sho terasa perih sekaligus hangat.
“Akum... Sudah menunggumu...” bisiknya lirih, hampir tak terdengar. “Selamat datang kembali...”
Mata Aria perlahan terpejam, tubuhnya limbung, lalu jatuh pingsan di pelukan Sho.
Sho hanya bisa menatapnya, tangannya gemetar, dan di dalam dadanya... api yang sesungguhnya mulai berkobar.
---
Baik, ini versi yang sudah dirangkai ulang sesuai alur yang kamu mau, menjaga latar di luar goa, posisi Apollo di dalam jiwa Aria, dan menutup bab sesuai permintaan.
---
Langkah Levina terhenti sesaat, matanya menyipit menatap medan pertempuran yang kini sunyi. Asap tipis mengepul dari tanah yang retak, dan aroma besi bercampur hangus masih menusuk hidung. Sisa-sisa ledakan api hijau Sho telah menghapus semua bentuk kehidupan di sekitar, meninggalkan hanya kesunyian yang berat.
Ia menyipitkan mata. “Tunggu. Ada sesuatu yang berbeda. Aura mengerikan yang tadi menekan seolah menghilang—terpotong begitu saja.”
Denyut aneh di udara yang tadi membuat dadanya sesak kini sirna. Kesadarannya langsung menangkap fakta itu. Sho Noerant… sudah kembali.
Levina tak menunggu. Tubuhnya berlari menembus debu, hingga sosok Sho muncul di hadapannya—berdiri di tengah lapangan tanah hitam terbakar, menggendong Aria dengan kedua tangannya. Gadis itu terkulai, napasnya teramat pelan, kulitnya pucat di bawah cahaya senja yang temaram.
Di dalam kesadaran Aria yang hampir padam, suara Apollo telah menghilang. Namun, suara lain terdengar—dalam, hangat, dan penuh rasa lega.
“Syukurlah... Kau kembali tepat waktu, Sho," bisik Persephone, lembut namun tegas. “Jika terlambat beberapa detik saja, api hijau itu akan mencapai jiwanya... Dan membunuhnya.”
Sho menunduk, memandangi wajah Aria dengan sorot mata yang masih menyimpan bekas kekacauan batin tadi. Jemarinya menggenggam erat tubuh gadis itu, seolah takut melepaskannya lagi.
Pertempuran telah usai. Sepuluh High Human tingkat menengah yang sempat menjadi ancaman kini tergeletak tanpa daya—bukan karena strategi, bukan karena pasukan, melainkan karena satu anomali: Sho Noerant, yang kehilangan kesadarannya dan menghancurkan segala yang ada di hadapan.
Meski puluhan nyawa manusia melayang di tangannya, statusnya sebagai High Human membuatnya tak disentuh hukuman penjara. Guild lebih memilih membungkusnya dengan alasan “insiden di luar kendali,” karena tak seorang pun berani mempertanyakan kekuatan yang barusan mereka saksikan.
---
Beberapa jam kemudian, keheningan menggantung di lantai atas Guild. Sebuah kamar VIP dipenuhi aroma herbal dan cahaya lampu hangat. Sho duduk di kursi tepat di samping ranjang lebar, di mana Aria berbaring tak bergerak. Napasnya masih lemah, namun teratur.
Di luar, hiruk pikuk para petualang dan pasukan yang membersihkan sisa pertempuran terus berlanjut. Namun bagi Sho, dunia hanya menyempit pada satu titik ini.
Sho tak berkata apa-apa. Hanya menatap—diam-diam memastikan setiap tarikan napas itu nyata. Jemarinya sedikit gemetar, entah karena sisa adrenalin, atau rasa takut yang belum sepenuhnya hilang.
Di luar, dunia mungkin memandangnya sebagai pahlawan... Atau monster. Tapi di sini, di kamar ini, hanya ada satu kenyataan yang ia pedulikan: Aria masih hidup.
semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/