Naila baru saja turun dari bus dari luar pulau. Ia nekat meninggalkan keluarga karena demi menggapai cita-cita yang terhalang biaya. Naila lulus jalur undangan di sebuah kampus negeri yang berada di ibu kota. Namun, orang tuanya tidak memiliki biaya hingga melarangnya untuk melanjutkan pendidikannya hingga memaksanya menikah dengan putra dari tuan tanah di kampung tempat ia berasal.
Dengan modal nekat, ia memaksakan diri kabur dari perjodohan yang tak diinginkan demi mengejar mimpi. Namun, akhirnya ia sadar, biaya perguruan tinggi tidak bisa dibayar hanya dengan modal tekad.
Suatu saat Naila mencari pekerjaan, bertemu dengan balita yang keluar dari pekarangan tanpa penjagaan. Kejadian tak terduga membuat ia bekerja sebagai pengasuh bagi dokter tampan yang ditinggal mati oleh istri yang dicintainya.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Menyulam Rasa
Martin menoleh, tersenyum tipis. Entah kenapa reaksi Naila itu
"Bukannya baru kemarin kamu bilang ingin jadi istri soleha?"
Nadanya menggoda ringan, tapi matanya menyipit seolah menilik Naila mulai dari rambutnya yang sedikit jatuh menutupi wajah.
'Dia sungguh ... membuatku ....'
"Ta-tapi aku ... I-ini begitu mendadak," racau Naila cepat menurunkan kaki ingin kabur dari kamar ini.
Martin memutar badan membelakangi Naila. Kedua tangan terlipat dan ia memejamkan mata. "Tidur lah. Aku nggak akan maksa. Cukup kamu tahu... aku di sini. Untuk memastikan kamu dalam keadaan aman. Ingat lah, kamu tak sendiri. Jangan menganggap dirimu orang asing lagi. Kamu adalah bagian penting bagi anak-anakku, dan aku."
Degup jantung Naila semakin cepat. Naila seolah tak kuasa bernapas hingga menarik segelas air putih yang ada di nakas.
Setelah meneguknya, ia mengusap dada beberapa kali menenangkan diri yang baru saja mendapat sengatan dadakan.
Sejenak, ia menatap punggung pria yang kali ini memilih untuk satu ranjang bersama. Ia mencoba mengukur jarak yang membatasi, di antara mereka. Ada Rindu dan Reivan yang memisahkan mereka.
Akhirnya kembali berbaring menatap punggung itu. Benar, ada sedikit rasa aman dan terlindungi. Perlahan, kelopak matanya mulai turun hingga akhirnya benar-benar terlelap.
Beberapa waktu setelah semua terdengar tenang, giliran Martin yang tak bisa menutup mata, mendengarkan napas teratur anak-anak, dan napas Naila. Ada sesuatu menggelayut dalam pikirannya, rambut Naila yang jatuh di wajah gadis itu.
Glek
Ja kun nya bergerak menelan sesuatu meski ia tak menyantap apa pun. Ia pun merasa kepanasan meski pendingin udara menyala dengan sejuknya. Martin bangkit, melirik Naila telah lelap dengan rasa lelah memeluk Rindu.
Martin pun melangkah berdiri di samping Naila. Perlahan, tangannya membelai sedikit rambut yang menutupi wajah itu. Bibirnya tersenyum, kali ini tampak hangat meski tak satu pun yang melihat.
Wajah Naila tampak lebih rileks, napasnya teratur. Di sebelahnya, Rindu mendekap lengan Naila, seakan takut ia pergi.
"Kamu jangan khawatir, tak kan ada yang bisa mengganggumu termasuk aku," bisiknya.
...****************...
"Allahuakbar Allahuakbar ...."
Alarm azan subuh menggema dari bawah bantal. Naila memang memasang alarm tersebut agar ia tidak terlambat bangun. Refleks tangannya bergerak ingin mematikan alarm.
Namun, ia tak bisa bergerak. Ada yang membuatnya seperti terikat dan Naila merasakan hangat di bagian belakangnya. Ia membuka mata.
"Aaaahhh," pekik mendapati wajah Martin yang sedang memeluknya dari belakang.
Martin pun terbangun dan melepas pelukan itu bangkit dan beranjak meninggalkan kamar menggaruk kepala bagian belakang.
Ternyata, di pintu luar kamar tampak Bi Rum menanti di sana. Ia sedikit terkejut melihat Martin keluar dari kamar Naila.
"Tuan tidur di sini?"
Martin menyembunyikan wajah menggaruk kepala dengan kasar. Tanpa memberi jawaban, ia berjalan cepat menaiki tangga.
"Neng? Neng Naila?" Bi Rum pun mencoba memastikan keberadaan nyonya muda.
Naila muncul dengan kerudung telah terpasang di kepala. "Iya, Bi Rum?"
"Apa yang terjadi? Kenapa tadi menjerit? Tadi malam, Tuan tidur di sini juga?"
Naila merasa wajahnya memanas, meski ia berusaha menutupi rasa canggungnya. Bi Rum masih menunggu di depan pintu dengan ekspresi campur aduk antara terkejut dan bingung.
Naila menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Tadi... alarm subuhnya keras banget, jadi aku kaget. Mas Martin... mau ajak solat berjamaah," kata Naila, mencoba memberi penjelasan yang masuk akal meskipun suaranya terdengar ragu.
Bi Rum tampak sedikit bingung, tapi ia mengangguk pelan. "Oh, begitu," ujarnya, meski matanya tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran. "Neng, setelah salat dan mandi, jangan lupa untuk segera turun, ya. Bibi akan menyiapkan sarapan."
Naila mengangguk pelan, merasa sedikit lega bahwa Bi Rum tidak menanyakan lebih banyak lagi. Namun, saat Bi Rum berjalan pergi, Naila kembali menatap tempat tidur yang masih berantakan. Rindu dan Reivan tertidur pulas, tak menyadari kekacauan yang baru saja terjadi.
Ia menghela napas panjang, mencoba merangkai kembali pikirannya yang kacau. Ada banyak hal yang masih harus ia pikirkan. "Tadi malam Mas Martin nggak aneh-aneh kan?" Ia menurunkan pandangan pada bagian tubuh dan menyilang kedua tangan di dada.
"Mas Martin bukan orang seperti itu," ucapnya cepat menggeleng kepala kembali masuk dan berwudhu.
Di lantai dua, Martin membasuh mukanya berkali-kali. "Martin! Selama ini kamu sanggup! Kenapa sekarang kamu jadi goyah? Ah, ya ... Naila tidak boleh membuka kerudungnya lagi. Tidak boleh! Kalau tidak, pertahananku ..."
...****************...
Setelah persiapan selesai, Naila segera menuju ruang makan, di mana Bi Rum, sudah menyiapkan sarapan. Martin mengikuti dari belakang, tidak mengatakan sepatah kata pun.
Sementara itu, Mbak Mel dan Mbok Tum sedang menyiapkan anak-anak mandi.
Di ruang makan, suasana terasa kaku. Naila duduk dengan hati-hati, menghindari pandangan langsung ke Martin. Ia merasa jantungnya berdegup lebih kencang, mengingat peristiwa semalam.
"Mas, tadi malam..." Naila bertanya pelan, suaranya hampir tidak terdengar.
"Maaf ... Apa aku membuatmu merasa tidak nyaman?" tanyanya, nadanya datar, namun ada sesuatu yang tajam tersembunyi di balik kata-katanya.
Naila menundukkan kepala. "Mas, aku ... aku memang istri durhaka ya?"
Martin terdiam sejenak, ekspresinya tak terbaca. Hening menyelimuti ruang makan, sementara suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring terdengar samar. Naila menundukkan kepala, cemas dengan kata-katanya sendiri. Sungguh, ia tak tahu bagaimana harus menjelaskan apa yang dirasakannya. Semua ini terlalu cepat, terlalu mendadak.
"Tidak," jawab Martin dengan suara rendah, namun tegas. "Kamu tidak durhaka."
Naila mengangkat kepala, mencoba menangkap setiap kata yang diucapkannya. Ada sesuatu dalam suara Martin yang kali ini berbeda, lebih lembut, tapi tetap penuh jarak. Ia ingin sekali bertanya lebih jauh, tapi lidahnya terasa kelu.
"Kadang, kita dihadapkan pada pilihan yang tidak kita inginkan," lanjut Martin, matanya tak pernah lepas dari piring di depannya. "Tapi itu tidak berarti kamu melakukan hal yang salah. Aku yang salah, jika aku tak mampu menjelaskan ini dengan lebih baik."
Naila merasa ada sesuatu yang menyentuh dalam ucapan Martin. Ia ingin menangis, merasa beban yang ia pikul semakin berat. "Aku tidak tahu harus bagaimana, Mas. Aku... aku hanya ingin memenuhi impianku."
Martin menatapnya sejenak, lalu menghela napas. "Tak ada yang lebih berat daripada memenuhi impian ketika menghadapi kewajiban yang bertentangan dengan itu," ujarnya, sambil menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Namun, tenang lah, aku berjanji tak akan melewati batas."
Naila terdiam, memahami setiap kata yang keluar dari mulut Martin. Ketegangan yang semalam seolah menguap begitu saja, tapi tetap saja ada hal yang menggantung di antara mereka. Ia ingin berterima kasih, tapi kata-katanya terasa terlalu sederhana untuk menanggapi kedalaman yang Martin ungkapkan.
Martin kemudian bangkit dari meja makan, meletakkan sendoknya dengan pelan. "Aku akan pergi ke klinik," katanya singkat. "Anak-anak akan tetap di sini bersama Mbak Mel dan Mbok Tum. Jangan khawatir."
Sejenak ia menyadari sesuatu. "Sepertinya, Mama sudah lama gak ke sini."
...****************...
Jangan lupa bagi rate dan vote ya kakak readers semua 😇