Di sebuah universitas yang terletak kota, ada dua mahasiswa yang datang dari latar belakang yang sangat berbeda. Andini, seorang mahasiswi jurusan psikologi yang sangat fokus pada studinya, selalu menjadi tipe orang yang cenderung menjaga jarak dari orang lain. Dia lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan, membaca buku-buku tentang perilaku manusia, dan merencanakan masa depannya yang penuh dengan ambisi.
Sementara itu, Raka adalah mahasiswa jurusan bisnis. raka terkenal dengan sifatnya yang dingin dan tidak mudah bergaul, selalu membuat orang di sekitarnya merasa segan.
Kisah mereka dimulai di sebuah acara kampus yang diadakan setiap tahun, sebuah pesta malam untuk menyambut semester baru. Andini, yang awalnya hanya ingin duduk di sudut dan menikmati minuman, tanpa sengaja bertemu dengan Raka.
Yuk guys.. baca kisah tentang perjalanan cinta Andini dan Raka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 KAMU TIDAK SENDIRI.
Pagi tadi. ayah Andini mengajaknya untuk makan malam di sebuah restoran mewah di kota. Andini, yang sudah lama tidak berbicara secara pribadi dengan ayahnya.
Setibanya di restoran, Andini melihat ayahnya duduk di meja dekat jendela, tampak serius dengan wajah yang tak biasa. Ketika ia mendekat dan duduk, ayahnya memberikan senyum tipis, namun ada sesuatu yang terasa canggung.
"Kamu sudah lama tidak berbicara dengan ayah," kata ayah Andini, mencoba memecah kebekuan. "Aku ingin kita berbicara lebih serius tentang masa depanmu."
" Bukanya hubungan kita sudah putus! " Ucap andini, membuang muka " Lalu, ada angin apa ayah mengundangku? "
Ayah membuang nafas beratnya. terlihat jelas di wajah ayah jika saat ini sedang menahan amarah.
"Sebenarnya, Andini," ayahnya melanjutkan dengan nada yang lebih serius, "Aku sudah memikirkan masa depanmu. Aku tahu kamu masih muda, tapi aku rasa sudah waktunya kamu menetapkan langkah berikutnya dalam hidupmu."
Andini menatap ayahnya dengan curiga. "Apa maksud ayah?"
Ayahnya menghela napas panjang. "Ayah sudah memilihkan seseorang untukmu, seorang laki-laki yang sangat cocok untukmu. Namanya Ardi, dia seorang kepala desa yang sukses. Keluarganya juga sangat baik, dan ayah merasa ini adalah waktu yang tepat untuk kamu memikirkan pernikahan." ucap ayah " Dengan kamu menikah, kamu tidak perlu kuliah apa lagi sampai bekerja "
Andini terkejut. "Apa? Maksud ayah, kamu ingin aku menikah dengan seseorang yang bahkan belum aku kenal?" Marah Andini " Bahkan ayah menyuruhku untuk meninggalkan cita-citaku? "
Ayah Andini menatapnya dengan serius, namun ada kekuatan yang memaksanya untuk berbicara seperti itu. "Aku tahu ini mungkin terasa mendesak, tapi Ardi adalah pilihan yang tepat untukmu. Kamu sudah cukup dewasa untuk mulai memikirkan masa depan yang stabil, dan aku ingin kamu menikah dengan orang yang bisa memberimu kehidupan yang lebih baik " Ucap ayah " Tinggalkan semuanya, dan jangan halangi jalan tahira "
Andini merasa seluruh tubuhnya kaku. Apa yang baru saja dikatakan ayahnya benar-benar tidak bisa dia terima.
Brakk...
Andini menggebrak meja " Ayah tega! demi anak tiri, ayah rela mengorbankan cita-citaku!!! "
Kedua mata Andini sudah memanas namun Andini tahan agar air matanya tidak terjatuh.
" Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah meninggalkan cita-citaku apa lagi sampai menikah dengan pria yang tidak aku kenal "
" Jika kamu menolak ini, Andini, kamu tidak hanya menolak keluarga kami, tetapi juga masa depanmu. Jangan salahkan ayah jika kamu merasa kesulitan nanti."
Andini tersenyum tipis " Memangnya kebaikan apa yang pernah ayah lakukan untukku? Semenjak ibu pergi, ayah tidak pernah berpihak kepadaku bahkan aku rela kehujanan, kepanasan agar aku bisa melanjutkan pendidikan. di saat aku sakit, kelaparan bahkan di saat aku di buli oleh teman-teman tahira! ayah dimana? "
Akhirnya air mata Andini terjatuh juga. Andini tidak bisa menahan air matanya lagi.
" Aku harap, ayah tidak perlu mencariku lagi. hubungan kita benar-benar berakhir sampai di sini " Tegas Andini, Andini langsung pergi meninggalkan sang ayah dengan hati yang terluka.
Di tengah kegelisahannya, satu-satunya orang yang terlintas dalam pikirannya adalah Raka yang selama ini selalu menjadi tempat bersandar, satu-satunya sosok yang benar-benar memahami siapa dirinya. Tanpa pikir panjang, ia mengirim pesan.
"Bisa ketemu sekarang? Aku butuh kamu."
Raka langsung membalas. "Tunggu aku di taman belakang asrama. Lima belas menit lagi aku sampai."
Malam itu, angin berhembus pelan ketika Andini duduk di bangku taman, mengenakan hoodie dan celana panjang. Tak lama, Raka datang dengan jaket dan raut wajah cemas. Begitu melihatnya, Andini langsung berdiri dan memeluknya erat.
"Aku... gak tahu harus ngapain, Rak," suara Andini bergetar, matanya mulai berkaca-kaca.
Raka menatap wajah Andini dengan tenang, menggenggam tangannya erat. "Hei, kamu gak sendirian. Ceritain semua, dari awal."
Andini pun menceritakan pertemuannya dengan sang ayah di restoran. bagaimana ayahnya memaksanya menerima lamaran dari Ardi, laki-laki pilihan keluarga, demi status, koneksi, dan masa depan yang katanya "terjamin."
"Rasanya kayak aku barang dagangan, Rak. Aku bahkan gak ditanya apa aku bahagia atau enggak. Mereka cuma mau aku diam dan ikut rencana mereka." ucap Andini " Bahkan, ayah memintaku untuk meninggalkan apa yang sudah aku capai demi tahira "
Raka menghela napas panjang. Matanya penuh kemarahan, tapi dia menahannya demi tetap jadi sandaran yang kuat bagi Andini.
" Andini..." katanya pelan. "Aku tahu ini berat, tapi kamu punya hak atas hidupmu. Kamu gak wajib nurutin rencana siapa pun kalau itu nyakitin kamu."
Raka menatap mata Andini dalam-dalam. "Kalau kamu kehilangan mereka karena kamu memilih hidupmu sendiri... mereka bukan keluarga yang sesungguhnya. Tapi aku akan selalu ada di sini. Gak peduli kamu dipaksa ke mana pun, kamu gak harus jalan sendirian."
Air mata Andini jatuh perlahan. Tapi kali ini bukan karena ketakutan, melainkan karena kelegaan, akhirnya ada seseorang yang mendengarnya, yang berpihak padanya, tanpa syarat.
Raka menarik napas, lalu menatap langit gelap yang bertabur bintang. "Kita hadapi ini bareng-bareng. Kamu gak harus tunduk. Kita cari cara, bahkan kalau itu berarti kamu harus berdiri di depan semua orang dan bilang, ‘Ini hidupku.’"
Andini mengangguk perlahan. Untuk pertama kalinya sejak percakapan dengan ayahnya, dia merasa sedikit lebih kuat. Mungkin pertempuran ini belum selesai, tapi sekarang dia tahu. dia tidak bertarung sendirian.
Dan dari kejauhan, tanpa mereka sadari, sepasang mata memperhatikan mereka dari balik pepohonan. Mata milik Tahira yang menyaksikan keintiman itu dengan ekspresi sulit ditebak. Cemburu? Marah? Atau...