Bagaimana jadinya jika hidup sudah tak memberimu pilihan?
Semua yang terjadi di dalam hidupmu seolah menyudutkan mu dan memberikan tekanan padamu sehingga membuatmu terpaksa harus menyetujui sebuah perjanjian untuk mengikat hubungan dengan seseorang yang sangat kamu benci dalam sebuah pernikahan.
Pernikahan kontrak, dengan alasan yang saling menguntungkan.
Morgan Wiratmadja.
Sang lelaki yang menciptakan permainannya. Namun siapa sangka, permainan pernikahan kontrak yang ia ciptakan justru menyeretnya ke dalam sebuah perasaan yang ia hindari selama ini.
Selamat membaca 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sujie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Room Tour (Part 2)
Eylina POV ❣️
Dadaku semakin sesak rasanya melihat kenyataan ini.
Sandiwara - sandiwara yang kulakukan semakin membuatku merasa sangat bersalah, kini bukan hanya tentang ibu dan juga Dara. Kebaikan dan kelembutan hati Tuan Wira dan Emily terasa menjadi sebuah beban baru dalam hidupku. Aku tidak bisa membayangkan akan sebenci apa atau seperti apa kecewanya mereka jika tahu. Bahwa aku menikah dengan tuan Morgan hanya berdasarkan sebuah kesepakatan yang saling menguntungkan. Bukankah itu terdengar menjijikkan?.
Kukira dengan aku bersikap baik dan menuruti segala kemauan tuan Morgan serta bersandiwara seolah aku mencintainya akan membuat urusan ini menjadi lebih mudah dan segera membebaskan ku dari ikatan yang sebenarnya tidak suci ini. Tapi nyatanya salah, semua ini justru membawaku semakin masuk ke dalam sebuah lembah yang begitu dalam, yang aku sendiri tak bisa menyelaminya. Atau bahkan keluar dari dalamnya.
_________________
"Kak Eylin? kenapa kakak terus melamun? apa kakak tidak menyukai berada di sini? ah kita bisa berkeliling dan melihat kamarku waktu kecil. Aku akan tunjukkan kamar kak Morgan juga waktu kak Morgan masih kecil. Kak Eylin pasti suka." Tanpa meminta persetujuan, Emily menggamit lengan Eylina.
Sementara Eylina masih hanyut dalam pikirannya. Ia yang tak siap itu lalu berdiri dengan sempoyongan dan mengikuti saja kemauan adik iparnya.
Mereka menyusuri setiap jengkal bagian rumah yang seperti istana tersebut dan berhenti di depan pintu yang berhiaskan pernak pernik mainan. Menggambarkan jika itu adalah kamar seorang anak perempuan yang begitu manis.
Eylina tercengang saat Emily membuka pintu tersebut. Matanya membulat dan mulutnya menganga melihat sebuah kamar yang luas dengan design bak istana negeri dongeng.
"Nah ini dia, ini kamar Emily waktu Emily masih kecil kak." Gadis itu tersenyum seakan sedang mengingat masa - masa kecilnya.
Ini sih bukan seperti kamar. Tapi lebih seperti istana bermain untuk anak - anak. Banyak sekali boneka - boneka dan mainan.
Betapa bahagianya jika seorang anak kecil mendapat kamar seperti ini.
Bagaimanapun kau dan Luna sangat beruntung. Eylina.
"Wah, jadi ini kamar masa kecilmu? Masa kecilmu pasti sangat bahagia. Mama dan papa bahkan memberi fasilitas seperti ini padamu bahkan saat kau masih kecil." Eylina tersenyum.
"Hemm, masa kecilku hanya ditemani oleh pengasuh dan Oma. Karena pada saat itu Papa dan mama sama - sama masih sangat sibuk. Kami hanya berkumpul saat makan pagi dan makan malam. Mereka berdua fokus mengembangkan perusahaan warisan masing - masing." Emily tersenyum kecut dan menunduk.
Satu - satunya orang yang tak kekurangan kasih sayang hanyalah Luna. Sejak Luna masih kecil, Ayu memutuskan untuk mengurangi aktivitasnya dan lebih sering dirumah karena perusahaan sudah melewati masa sulit.
Dan juga perusahaan suaminya sudah sangat berkembang dan mulai merajai seluruh negeri bahkan hingga Asia.
Ternyata apa yang terlihat di luar tak selalu sama dengan bagian dalam. Kukira menjadi anak orang kaya raya seperti tuan Wira berarti hidupnya sangat terjamin dan bahagia. Namun ternyata aku salah, bahkan sejak Emily masih kecil hingga sedewasa ini. Ia justru sering merasa kesepian. Yah meski hidupku sangat berantakan sejak kecil, tapi setidaknya ibu selalu ada di sampingku dan memberikan semangat untukku dan juga Dara. Eylina menatap prihatin pada adik iparnya.
"Maafkan aku, aku tidak bermaksud membuatmu ...."
"Nggak papa kak, itu hanya cerita Emily. Kak Eylin cerita dong masa kecil kak Eylin kayak gimana." Emily memotong kalimat Eylina yang belum sampai terselesaikan.
"Ah ... emm ... aku. Ah lain kali akan ku ceritakan." Wajah Eylina memucat seketika.
"Oke baiklah, kita ke kamar masa kecil kak Morgan saja kalau begitu." Emily berjalan keluar dan Eylina hanya mengikutinya di belakang.
"Itu, itu adalah kamar kak Morgan." Gadis itu menunjuk sebuah kamar tak jauh dari kamarnya.
Namun belum sampai Emily membuka pintunya, seorang pelayan datang menghampiri mereka.
"Maaf Nona, kamar ini tidak boleh dibuka tanpa seijin tuan muda." Pelayan itu kemudian menunduk.
"Ya, baiklah. Bibi boleh pergi." Gadis itu menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan kasar.
"Kak Morgan selalu seperti itu. Entah apa saja yang ia sembunyikan di kamar ini. Hingga aku dan Luna, adik yang katanya sangat ia sayangi saja tak boleh masuk kesini."
"Tidak apa - apa, aku sudah cukup senang bisa mengobrol denganmu dan mengenalmu. Terimakasih sudah mengajakku berkeliling rumah ini." Eylina tersenyum tulus pada Emily.
"Ehem ...." Entah kapan lelaki itu datang. Selalu muncul tiba - tiba.
Secara bersamaan Emily dan Eylina menoleh kearahnya.
"Kakak? Kebetulan kak Morgan ada disini. Kami boleh masuk ke kamar masa kecil Kakak ya?" Emily mencoba memohon.
"Tidak untuk sekarang Emily." Morgan tersenyum dan merangkul Eylina.
"Apa kau sudah puas bisa berkeliling rumah ini?" Sungguh akting lelaki ini memang sangat bagus. Ia menatap hangat pada Eylina.
Jika ia tidak kaya raya seperti ini mungkin ia layak untuk menjadi aktor papan atas.
"Tentu, tentu saja suamiku." Tak kalah hebat dari Morgan, Eylina pun memainkan sandiwaranya dengan cantik. Matanya menatap hangat ke dalam mata Morgan.
"Aaaa ... kalian serasi banget." Emily memegang kedua pipinya menyaksikan keuwuan 'palsu' kedua orang tersebut.
"Sssttt ... sudah pergilah sana. Terimakasih sudah mengajak kakak ipar mu berkeliling rumah ini." Morgan melakukan gerakan mengusir.
"Iya ... iya ah. Gak usah pakai ngusir gitu kali."
Emily melengos dan berjalan menjauh dari mereka.
"Eylina." Lelaki itu menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
Apa? Dia memanggil namaku? Aku tidak salah dengar kan? Apa dia mulai sedikit waras sekarang? Oh,, apa mungkin dia sedang merencanakan sesuatu. Batin Eylina heran.
"Iya Tuan."
"Aku akan berikan kelonggaran untukmu. Kau boleh beraktivitas normal di rumah ini dan berbaur dengan kedua adikku dan juga papa serta mama. Aku tidak akan mengurung mu di kamar lagi. Tapi kau harus ingat batasan mu. Jangan sekali - kali kau mencoba melarikan diri dari sini. Dan satu hal lagi, jangan pernah membuka cerita apapun pada mereka." Morgan melayangkan tatapan serius pada gadis itu.
"Baiklah ... terimakasih Tuan." Eylina tersenyum tulus kali ini. Cantik sekali. Bahkan menggetarkan hati lelaki yang kini sedang beradu pandang dengannya.
"Kembalilah ke kamarmu dan bersiaplah untuk makan malam." Morgan kemudian berlalu dan meninggalkannya.
Eh ... tunggu. Aku belum hafal setiap sudut rumah ini.
Tak ingin ditinggalkan, Eylina berlari menyusul dan mengikuti langkah Morgan.
Dan memisahkan diri setelah sampai di ruang tengah.
Ia lalu berjalan dan menaiki anak tangga menuju ke kamarnya.
Eh? kemana dua penjaga itu? Eylina mengernyitkan dahinya saat mendapati kedua pelayan yang biasa menjaga kamarnya itu tidak ada ditempatnya.
Ah, ya sudahlah ... bodoh amat. Yang penting sekarang tuan Morgan tidak mengurungku di kamar lagi.
Eylina mengedihkan bahunya lalu masuk ke dalam kamar.
💗💗💗💗💗💗💗