Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Luka yang Disembunyikan
Luka tersembunyi yang selama ini disimpan rapat oleh Arfan seolah terbuka kembali saat ia melihat siapa yang memegang senjata itu. Di bawah temaram cahaya bulan yang menembus celah pepohonan, sosok Baskara berdiri dengan wajah dingin dan mata yang berkilat penuh amarah.
Arfan menarik napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungnya yang seolah ingin meledak dari dalam rongga dada. Ia tidak menyangka rekan sejawatnya, orang yang ia percaya untuk menjaga keamanan berkas penting, kini berdiri sebagai ancaman.
"Baskara? Apa yang kau lakukan di sini dengan senjata itu?" tanya Arfan dengan suara rendah yang bergetar.
Baskara tidak segera menjawab, moncong pistol di tangannya tetap terarah lurus ke dada Arfan tanpa keraguan sedikit pun. Matanya sesekali melirik ke arah Fatimah yang masih bersandar lemas pada tubuh Arfan dengan pakaian yang basah kuyup.
Senyum sinis tersungging di bibir Baskara, sebuah ekspresi yang belum pernah Arfan lihat selama bertahun-tahun mereka menjalin kerja sama. Udara malam yang lembap terasa semakin menyesakkan saat Baskara melangkah satu tindak lebih dekat ke arah mereka.
"Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemenang, Arfan," jawab Baskara dengan nada bicara yang sangat tenang.
Fatimah meremas ujung pakaian Arfan, ia bisa merasakan ketegangan yang menjalar dari tubuh pria yang sedang melindunginya itu. Meski pandangannya masih sedikit kabur karena air sungai, ia tahu bahwa situasi ini jauh lebih berbahaya daripada kejaran pembunuh sebelumnya.
Baskara adalah orang dalam, seseorang yang mengetahui setiap jengkal rencana pelarian mereka dan setiap lokasi rahasia yang Arfan siapkan. Pengkhianatan ini terasa seperti belati yang menusuk langsung ke pusat kepercayaan mereka yang paling dalam.
"Kau menjual informasi kami kepada keluarga Al Fahri?" Fatimah memberanikan diri untuk bersuara di balik cadarnya yang lembap.
Baskara tertawa kecil, suara tawanya memantul di antara batang pohon besar yang mengelilingi tempat persembunyian mereka di pinggir sungai. Ia menggelengkan kepala seolah sedang menatap dua anak kecil yang sangat polos dan tidak mengerti cara kerja dunia.
Ia menjelaskan bahwa keadilan tidak akan pernah bisa memberi makan atau menjamin masa depan yang mewah di kota besar. Uang yang ditawarkan oleh Pratama Al Fahri terlalu besar untuk diabaikan hanya demi sebuah nilai moral yang dianggapnya sudah usang.
"Pratama menawarkan apa yang tidak bisa kau berikan, Arfan. Dia menawarkan kekuasaan dan jaminan keselamatan," tegas Baskara dengan mata menyipit.
Arfan mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih, menahan gejolak amarah yang hampir meluap menjadi tindakan gegabah. Ia melirik luka di kaki dan kepalanya, menyadari bahwa dalam kondisi fisik seperti ini, ia mustahil bisa menang dalam duel fisik melawan Baskara.
Pikirannya berputar cepat mencari celah, mencari kata-kata yang mungkin bisa mengulur waktu atau menggoyahkan keyakinan Baskara yang sudah diracuni harta. Ia harus memastikan Fatimah tetap aman, apa pun konsekuensi yang harus ia tanggung malam ini.
"Kau pikir Pratama akan membiarkanmu hidup setelah kau menyelesaikan tugas kotor ini?" Arfan mencoba memancing logika Baskara.
Baskara terdiam sejenak, namun jarinya masih tetap berada di atas pelatuk senjata dengan posisi siap tembak yang sangat sempurna. Ia tahu Arfan sedang berusaha memengaruhinya, sebuah taktik pengacara yang sering mereka gunakan bersama di ruang sidang yang dingin.
Namun, Baskara merasa sudah melangkah terlalu jauh untuk kembali ke jalan yang benar dan menyerahkan diri pada pihak berwajib. Baginya, satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan melenyapkan semua saksi mata yang mengetahui keterlibatannya.
"Berhenti bicara! Berikan berkas bukti kecelakaan itu sekarang juga atau wanita ini yang akan mati duluan!" gertak Baskara.
Arfan merasakan cengkeraman Fatimah pada bajunya semakin menguat, menunjukkan betapa takutnya wanita itu akan ancaman yang baru saja dilontarkan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menyembunyikan rasa nyeri yang menjalar dari kaki yang terluka parah.
Perlahan, Arfan merogoh kantong jaketnya yang basah, berpura-pura mengambil sesuatu yang diminta oleh mantan sahabatnya itu. Ia tahu bahwa berkas asli sudah ia sembunyikan di tempat lain, dan yang ada di sakunya hanyalah bungkusan plastik kosong.
"Akan kuberikan, tapi biarkan Fatimah pergi menjauh dari sini terlebih dahulu," tawar Arfan dengan nada yang dibuat pasrah.
Fatimah menggelengkan kepala dengan cepat, ia tidak ingin meninggalkan Arfan sendirian menghadapi maut yang sudah di depan mata. Ia merasa bertanggung jawab atas semua kesialan yang menimpa Arfan sejak pria itu memutuskan untuk menolongnya di aspal berdarah.
Namun, tatapan Arfan yang tajam seolah memerintahkannya untuk mengikuti rencana tersebut demi keselamatan jangka panjang mereka berdua. Fatimah bisa membaca pesan di mata Arfan bahwa ada sesuatu yang sedang direncanakan di balik penyerahan diri yang tampak mudah itu.
"Jangan, Tuan Arfan! Dia tidak akan membiarkan kita berdua selamat!" teriak Fatimah dengan suara yang pecah karena tangis.
Baskara mendengus kesal mendengar perdebatan mereka yang dianggapnya sangat membuang-buang waktu berharga sebelum fajar menyingsing. Ia mengarahkan moncong senjatanya sedikit ke atas, memberikan peringatan terakhir bahwa kesabarannya sudah berada di titik terendah.
Ia memerintahkan Fatimah untuk berdiri dan berjalan ke arah semak-semak yang lebih gelap di sebelah kiri mereka dengan tangan terangkat. Baskara tidak ingin ada gangguan saat ia memeriksa keaslian berkas yang akan diberikan oleh Arfan sebentar lagi.
"Cepat jalan, wanita bercadar! Jangan mencoba melakukan gerakan tambahan jika kau masih sayang pada nyawamu!" perintah Baskara kasar.
Fatimah melangkah dengan ragu, kakinya terasa berat saat harus menjauh dari Arfan yang kini berdiri sendirian menghadapi todongan senjata. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti menjauh dari satu-satunya pelindung yang ia miliki di dunia yang penuh tipu daya ini.
Arfan menatap punggung Fatimah yang perlahan menghilang di balik kegelapan semak, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Baskara yang kini tampak tidak sabar. Ia harus melakukan sesuatu sebelum Baskara menyadari bahwa bungkusan plastik di tangannya hanyalah sebuah jebakan.
"Ini berkasnya, Baskara. Ambillah dan biarkan kami hidup tenang di panti asuhan itu," ucap Arfan sambil menyodorkan bungkusan plastik.
Baskara mendekat dengan waspada, tangan kirinya terjulur untuk meraih bungkusan itu sementara tangan kanannya tetap kokoh memegang senjata. Saat jari Baskara menyentuh plastik tersebut, Arfan menggunakan sisa tenaga terakhirnya untuk menendang pergelangan tangan Baskara.
Senjata itu terlepas dan jatuh ke dalam lumpur sungai, menciptakan suara deburan kecil yang memicu perkelahian fisik di antara mereka berdua. Arfan menerjang tubuh Baskara dengan amarah yang meledak, mengabaikan rasa sakit di kaki dan kepalanya yang kembali mengeluarkan darah segar.
Mereka berguling di atas tanah yang becek, saling pukul dan cakar dalam upaya untuk mempertahankan hidup dan harga diri masing-masing.
Di balik semak, Fatimah yang mendengar suara perkelahian itu segera mencari batu besar atau kayu yang bisa digunakan untuk membantu Arfan. Ia tidak peduli lagi dengan keselamatannya sendiri, yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana cara menyelamatkan pria yang sudah bertaruh nyawa untuknya.
Fatimah menemukan sebuah kayu dahan yang cukup tebal dan berat, lalu berlari kembali ke arah tempat Arfan dan Baskara sedang bergulat. Ia melihat Arfan sedang dalam posisi tertekan, dengan tangan Baskara yang mencekik lehernya dengan sangat kuat hingga wajah Arfan membiru.
Tanpa ragu, Fatimah mengayunkan kayu itu sekuat tenaga ke arah punggung Baskara yang sedang membelakanginya.
Hantaman kayu itu membuat Baskara berteriak kesakitan dan melepaskan cekikannya pada leher Arfan, memberikannya kesempatan untuk menghirup udara. Baskara berbalik dengan mata merah karena marah, menatap Fatimah seolah ingin mencabik-cabik wanita itu dengan tangannya sendiri.
Arfan tidak membiarkan Baskara melakukan itu, ia segera memeluk kaki Baskara dan menjatuhkannya kembali ke tanah dengan kekuatan penuh. Mereka kembali bergulat di dekat tepian sungai yang curam, dengan posisi yang sangat membahayakan bagi keduanya.
"Lari, Fatimah! Cari bantuan ke arah jalan raya!" teriak Arfan dengan sisa-sisa suaranya yang serak.
Fatimah terpaku, ia melihat tubuh Arfan dan Baskara perlahan-lahan bergeser ke arah pinggiran tebing sungai yang mulai runtuh karena terkikis air. Ia ingin menolong, namun jarak mereka sudah terlalu dekat dengan jurang sungai yang di bawahnya terdapat batu-batu tajam.
Tiba-tiba, tanah di bawah kaki mereka amblas secara mendadak akibat beban berat dari dua pria yang sedang berkelahi dengan sengit tersebut. Arfan dan Baskara terjatuh bersama-sama ke arah kegelapan sungai yang deras, meninggalkan Fatimah yang hanya bisa berteriak histeris.
Suara deburan air yang sangat keras menggema, diikuti oleh keheningan malam yang kembali mencekam tanpa ada tanda-tanda kehidupan dari bawah sana.
Fatimah berlari ke pinggir tebing, mencoba mencari bayangan Arfan di tengah riak air yang sangat kencang dan dipenuhi buih putih. Namun, ia hanya melihat kegelapan yang pekat dan mendengar suara gemuruh air yang seolah menertawakan kesedihannya yang mendalam.
Air matanya tumpah tak terbendung, ia jatuh berlutut di atas tanah yang basah sambil terus memanggil nama Arfan dengan suara yang parau. Di tengah keputusasaannya, ia melihat sesuatu yang berkilau di atas lumpur, sebuah benda yang terjatuh dari saku Baskara saat perkelahian tadi.
Fatimah meraih benda itu, sebuah kunci tua dengan gantungan berbentuk unik yang sepertinya memegang kunci rahasia lain dari masa lalu Arfan.