Sebelum lanjut membaca, boleh mampir di season 1 nya "Membawa Lari Benih Sang Mafia"
***
Malika, gadis polos berusia 19 tahun, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya dalam satu malam. Dijual oleh pamannya demi sejumlah uang, ia terpaksa memasuki kamar hotel milik mafia paling menakutkan di kota itu.
“Temukan gadis gila yang sudah berani menendang asetku!” perintah Alexander pada tangan kanannya.
Sejak malam itu, Alexander yang sudah memiliki tunangan justru terobsesi. Ia bersumpah akan mendapatkan Malika, meski harus menentang keluarganya dan bahkan seluruh dunia.
Akankah Alexander berhasil menemukan gadis itu ataukah justru gadis itu adalah kelemahan yang akan menghancurkan dirinya sendiri?
Dan sanggupkah Malika bertahan ketika ia menjadi incaran pria paling berbahaya di Milan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25
Dalam tidurnya yang pulas, di ranjang sederhana rumah belakang, Malika terhanyut ke dalam sebuah mimpi yang terasa lebih nyata dan hangat daripada seluruh ingatannya tentang masa lalu.
Ia berdiri di tengah padang rumput hijau yang diterangi cahaya keemasan lembut, seolah sore hari tak pernah berakhir.
Tiba-tiba, dari kejauhan, sepasang pria dan wanita berjalan menghampirinya. Wajah mereka sangat cantik dan tampan, mata mereka memancarkan kehangatan yang tak pernah Malika temui di dunia nyata.
Malika tidak mengenal mereka, tetapi ada daya tarik magnetis yang membuat kakinya enggan melangkah.
“Sayangku…” bisik suara wanita itu.
“Putri kami…” tambah suara pria itu, nadanya sarat kerinduan yang mendalam.
Mereka melangkah cepat dan, tanpa ragu, memeluk Malika erat-erat.
Pelukan itu begitu kuat, begitu nyata, seolah seluruh potongan dirinya yang hilang baru saja ditemukan.
Malika menangis, air matanya membasahi bahu kemeja pria itu. Ia tidak tahu mengapa, tetapi air mata itu terasa benar. Rasa sakit, kesepian, dan ketakutan yang selama ini ia bawa, seolah melebur dan lenyap dalam dekapan hangat tersebut.
“Mama… Papa…” lirih Malika tanpa sadar.
Lidahnya terasa asing mengucapkan kata-kata itu, namun hatinya mengenali panggilan tersebut.
“Kami merindukanmu, Nak. Merindukanmu setiap hari,” ujar wanita itu, suara indahnya bergetar menahan tangis.
Tangan sang ayah mengusap lembut rambut Malika, gerakan yang familiar namun baru dirasakan Malika.
“Pasti selama ini kau kesepian, bukan? Hidupmu tidak pernah lengkap tanpa kami, Putriku,” kata pria itu, mencium kening Malika lama, seolah ingin menyimpan setiap detail wajah Malika ke dalam ingatan.
Malika merasakan kehangatan luar biasa, seolah ia baru dilahirkan kembali, merasa utuh, merasa dicintai tanpa syarat.
Di dalam pelukan itu, ia merasakan hidupnya begitu lengkap dan bahagia.
Bahkan Pumpkin di pangkuannya terasa seperti boneka biasa dan pelukan ini adalah rumah sejatinya.
“Jangan pergi, Lika mohon. Jangan tinggalkan Lika lagi.” Malika mencengkeram erat pakaian mereka, takut jika pelukan ini hanyalah ilusi.
Namun, perlahan, cahaya di sekitar mereka meredup. Wajah pasangan itu mulai memudar, seperti lukisan yang terhapus kabut.
“Kami menunggumu kembali. Kami mencintaimu, Sayang. Selalu…”
Suara mereka menghilang, diikuti hilangnya kehangatan pelukan itu.
Malika berteriak dan terbangun dengan napas terengah dan air mata yang mengalir deras, membasahi bantal lusuhnya.
Jantungnya berdebar kencang, menuntut kembali pada kehangatan yang baru saja hilang.
Dunia di sekitarnya kembali ke dunia nyata kamar rumah belakang dan berat Pumpkin yang mendengkur di dadanya.
Semua itu hanyalah mimpi.
Malika memeluk Pumpkin erat-erat, air matanya tak mau berhenti. Kesedihan yang ia rasakan jauh lebih menyakitkan daripada rasa takut berhadapan dengan Alexander.
“Pumpkin, kenapa mimpi itu begitu menyedihkan?”
Pumpkin mengeong pelan, seolah berempati.
“Lika tidak pernah merasakan pelukan sehangat itu.” Malika menyeka air matanya dengan punggung tangan, tetapi ia terus menangis.
“Siapa mereka? Kenapa mereka memeluk Lika? Kenapa mereka menangisi Lika dan menyebut Lika putri mereka?”
Malika meremas selimut, mencari sisa-sisa kehangatan dari pelukan mimpi itu. Tidak ada. Hanya kekosongan yang meluas.
“Apa mereka papa dan mama Lika?” Malika bertanya pada dirinya sendiri. “Tapi kalau mereka orang tua Lika, kenapa mereka pergi? Kenapa mereka meninggalkan Lika bersama Paman Jhon yang jahat?”
Rasa sedih itu menusuk ulu hatinya, lebih tajam dari gunting. Malika merasa seperti kehilangan sesuatu yang berharga, sesuatu yang bahkan dia sendiri tidak tahu kalau dia memilikinya.
“Lika merindukan mereka. Lika bahkan tidak tahu rupa mereka, tapi Lika tiba-tiba merindukan mereka.”
Malika menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis sejadi-jadinya, merasa bahwa ia baru saja kehilangan keluarga untuk kedua kalinya.
Mimpi itu meninggalkan jejak luka yang sangat dalam, menunjukkan kepadanya betapa hampa dan sepi kehidupannya yang sebenarnya.
“Kalau memang Lika hanya bisa bertemu mama dan papa lewat mimpi, maka Lika berdoa ingin terus berada di alam mimpi selamanya.”
malika dan Leon cm korban😄🤣