Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.
Season 2 : 32
Malam harinya di teras pondok lama rumah Bara. Mereka duduk di kursi kayu, di bawah cahaya bulan, setelah hari yang panjang.
Kania dan Bara duduk bersampingan. Kania menyandarkan kepalanya di bahu Bara, menikmati keheningan yang kini mereka temukan tanpa rasa cemas. Tangan Bara masih terasa kasar dan beraroma tanah, sentuhan yang kini membuat Kania merasa aman.
Dengan suara pelan Kania berkata. “Aku melihat tanganmu, Mas. Begitu kuat. Aku senang melihat kita membangun rumah dari awal.”
Bara mencium puncak kepala Kania. “Aku juga senang. Pondasi yang kita tanam dengan keringat dan kejujuran tidak akan mudah digoyangkan.”
Kania terdiam sejenak. Keheningan itu kini tidak sepenuhnya damai, karena bayangan Tuan Dirga masih membayangi.
Kania menghela napas. “Mas, aku tidak takut kehilangan uang. Aku hanya takut Tuan Dirga menggunakan taktik kotornya untuk memecah belah kita. Dia tahu kita berdua adalah kunci sukses dari Akar Kencana. Dia pasti akan menyerang salah satu di antara kita.”
Bara mengangkat dagu Kania, memaksanya menatap matanya.
“Dengarkan aku, sayang. Dia mungkin bisa menaikkan harga packaging kita. Dia mungkin bisa menyebarkan berita tidak benar di kota. Tapi ada satu hal yang tidak bisa dia sentuh: Kepercayaan yang kita miliki. Kita sudah menghabiskan waktu untuk bertarung melawan rasa tidak percaya dan cemburu. Kita memenangkan perang itu. Pertarungan kita dengan Tuan Dirga adalah perang eksternal yang jauh lebih mudah, karena kita akan bertarung dari sisi yang sama. Aku percaya padamu. Dan aku tahu kau pun percaya padaku.”
Kania tersenyum. Bara benar. Senjata terkuat mereka bukanlah kopi, tetapi komitmen.
“Baiklah, Tuan Pemilik Kebun. Kalau begitu, mari kita sambut perang itu.”
“Aku tahu. Tapi itu besok. Malam ini, kita hanya pasangan yang sedang merencanakan sebuah pernikahan.”
Bara memeluk Kania erat-erat, menatap langit yang dipenuhi bintang. Malam itu, mereka menikmati kedamaian terakhir mereka sebelum badai bisnis datang.
***************************************
Kania duduk didepan laptop-nya, sedangkan Bara duduk di sebelahnya, memegang buku catatan panen, memberikan data-data akurat tentang kebun.
“Oke, Tuan Dirga menyerang kita dengan hoaks tentang hama dan keraguan tentang keberlanjutan bisnis kita. Kita akan melawan dengan bukti,” ujar Kania.
“Aku sudah siapkan data panen. Kita bisa posting foto setiap petak kebun. Tapi bagaimana kita menjelaskan kepada orang bahwa kenaikan harga packaging itu oleh Tuan Dirga, tanpa menyebut namanya?”
“Kita tidak perlu menyebut namanya. Kita akan membuat campaign “Harga Sejujurnya”.” Kania memutar layar laptop-nya, menunjukkan desain grafis yang sudah ia buat. Desain itu elegan namun lugas.
“Kita akan membuat grafik yang menunjukkan biaya yang kita keluarkan untuk packaging (yang mahal karna boikot Dirga) dan upah Ibu-ibu penenun. Kita tunjukkan bahwa meskipun biaya naik, kita tidak akan pernah memotong upah komunitas.”
Bara menatap layar dengan terkesan. “Luar biasa, Kani. Itu langsung menyerang hati nurani pembeli. Kita menjual nilai, bukan harga.”
“Tepat. Dan kau, Tuan Petani Kopi, akan membuat video yang menenangkan. Kau harus bicara langsung ke kamera. Bukan seperti Barista yang pintar, tapi sebagai Pemiilk Kebun yang rentan. Kau harus bicara tentang ketakutanmu, tentang Tuan Dirga yang mencoba membeli warisan kita.”
Bara ragu. “Itu…itu terasa sangat pribadi, Kani. Aku tidak terbiasa berbagi ketakutanku dengan publik.”
“Aku tahu. Tapi itu adalah senjata terkuat kita. Kau memberiku kepercayaan penuh pada bisnismu. Sekarang, berikan kepercayaan penuh pada strategi branding-ku. Mereka tidak akan percaya pada CEO berjas. Mereka akan percaya pada Petani yang Tulus.”
Bara menatap Kania. Ia ingat pertarungan mereka yang dulu, dan bagaimana ia menolak jujur. Kini, ia siap.
“Baiklah. Kita lakukan. Kita akan tunjukkan kejujuran dan kerentanan Akar Kencana. Aku percaya padamu.”
Kania tersenyum. Pondasi kemitraan mereka telah teruji dan terbukti kokoh.
Tiga Hari Kemudian
Video dan campaign “Harga Sejujurnya” yang dibuat Kania meledak di media sosial. Konsumen merespons dengan banjir pesanan pre-order—mereka ingin mendukung brand yang memilih komunitas di atas keuntungan.
Dini berteriak gembira di tengah kesibukan kedai. “Mas Bara! Mbak Kania! Pesanan masuk dua kali lipat dari batch terakhir! Kita sekarang hampir kehabisan stock! Konsumen di kota memuji keterbukaan kita.”
Radit mengangguk puas. “Tuan Dirga pasti sedang menggertakkan gigi di kantornya. Serangannya justru membuat kita semakin kaya dan terkenal!”
Bara dan Kania berpelukan singkat di tengah kesibukan dan kebahagiaan. Kemenangan kecil pertama telah diraih.