NovelToon NovelToon
Reany

Reany

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Wanita Karir / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Aerishh Taher

Selama tujuh tahun, Reani mencintai Juna dalam diam...meski mereka sebenarnya sudah menikah.


Hubungan mereka disembunyikan rapi, seolah keberadaannya harus menjadi rahasia memalukan di mata dunia Juna.

Namun malam itu, di pesta ulang tahun Juna yang megah, Reani menyaksikan sesuatu yang mematahkan seluruh harapannya. Di panggung utama, di bawah cahaya gemerlap dan sorak tamu undangan, Juna berdiri dengan senyum yang paling tulus....untuk wanita lain.

Renata...
Cinta pertamanya juna
Dan di hadapan semua orang, Juna memperlakukan Renata seolah dialah satu-satunya yang layak berdiri di sampingnya.

Reani hanya bisa berdiri di antara keramaian, menyembunyikan air mata di balik senyum yang hancur.


Saat lampu pesta berkelip, ia membuat keputusan paling berani dalam hidupnya.

memutuskan tidak mencintai Juna lagi dan pergi.

Tapi siapa sangka, kepergiannya justru menjadi awal dari penyesalan panjang Juna... Bagaimana kelanjutan kisahnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25 : Persidangan

Beberapa hari kemudian.....

Ruang sidang dipenuhi suara gesekan kursi dan langkah kaki yang tertahan. Udara terasa berat, seperti semua orang menahan napas bersama.

Reani duduk di bangku penggugat. Punggungnya tegak. Gaun formal abu gelap membingkai tubuhnya rapi—tidak mencolok, tidak lunak. Wajahnya tenang, tapi matanya dingin.

Di sisi kirinya, Arian menyusun berkas dengan rapi. Tangannya bergerak cepat, terukur, tidak ada raut ragu diwajahnya.

Di barisan belakang, Sisilia duduk dengan tangan terlipat di pangkuan. Wajahnya tegas, tak sekali pun menoleh ke arah terdakwa.

Breinzo duduk di sampingnya, rahangnya mengeras sejak awal.

Doroti bersandar santai—terlalu santai untuk ruang sidang—tatapannya tajam.

Di seberang ruangan, Juna duduk dengan setelan hitam yang tampak terlalu ketat di bahunya. Wajahnya pucat. Matanya beberapa kali melirik Reani, lalu berpaling cepat.

Di sebelahnya, Renata duduk sambil memegang tasnya erat, sesekali mengusap perutnya.

Anggita, ibu Juna, duduk tegak dengan wajah keras—bibirnya mengatup tipis, penuh penilaian.

Hakim masuk.

Palu diketuk pertanda bahwa sidang baru saja dimulai.

Arian berdiri lebih dulu.

“Yang Mulia,” ucapnya tenang, “kami mengajukan bukti bahwa pernikahan klien kami dengan terdakwa tidak pernah tercatat secara sah di negara ini. Buku nikah yang digunakan terbukti palsu.”

Ia menyerahkan berkas.

Fotokopi.

Surat keterangan.

Stempel yang tidak sesuai.

Juna gelisah di kursinya.

“Itu tidak benar!” sergahnya. “Kami hidup sebagai suami istri tujuh tahun!”

Doroti mendengus pelan. “Hidup bareng itu bukan bukti hukum.”

Hakim mengetuk palu. “Tenang.”

Arian melanjutkan, suaranya datar tapi memukul.

“Klien kami tidak hanya dirugikan secara hukum, tapi juga secara mental dan sosial. Ia menjalani pernikahan yang ia yakini sah, padahal sejak awal terdakwa mengetahui dokumen itu palsu.”

Renata menggeleng cepat. “Itu bohong! Juna tidak akan—”

“Saudari,” potong Hakim, “Anda tidak diminta bicara.”

Renata terdiam, wajahnya memerah.

Juna bangkit setengah berdiri. “Reani juga tahu! Dia tidak pernah protes!”

Reani akhirnya mengangkat wajahnya.

Pandangan mereka bertemu.

Untuk sesaat, ruangan terasa hening.

“Aku tidak tau apapun tentang buku nikah palsu itu,” kata Reani pelan, “Aku bodoh karena aku percaya padamu.”

Juna membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar.

Doroti menyilangkan kaki. Breinzo menatap lantai, menahan amarah.

Hakim menoleh ke Reani.

“Apakah Anda ingin menyampaikan pernyataan pribadi?”

Reani berdiri dengan perlahan-lahan melangkah satu langkah ke depan, menatap Juna tanpa emosi yang meledak—hanya kelelahan yang jujur.

“Aku pernah mencintaimu,” ucapnya jelas, “hingga aku lupa siapa diriku dan apa mimpiku.”

Juna menelan ludah.

“Dan sayangnya,” lanjut Reani, suaranya tetap stabil, “saat aku tersadar dari semua itu… aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri karena pernah mencintai pria sebrengsek dirimu.”

Ruangan bergemuruh pelan.

Renata membeku.

Anggita mengepalkan tangan.

Reani tidak berhenti.

“Aku tidak datang ke sini untuk drama. Aku datang untuk menutup kebohongan yang kau bangun tujuh tahun. Dan hari ini, aku mengakhirinya.”

Ia duduk kembali.

Arian melanjutkan dengan dingin, “Kami menuntut pengakuan resmi bahwa pernikahan tersebut tidak sah, ganti rugi atas penipuan, dan pencatatan hukum atas pemalsuan dokumen.”

Hakim mengetuk palu.

“Sidang akan dihentikan sementara.”

Sesudah ketukan palu terdengar,

Juna terduduk lemas.

Renata memegang lengannya, tapi Juna menepis.

Doroti berdiri, menoleh ke Reani.

Senyumnya tipis.

“Bagus,” bisiknya. “Kamu tidak goyah.”

Breinzo akhirnya bicara, singkat.

“Ini baru awal.”

Sisilia menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca, tapi suaranya tenang.

“Kamu berdiri dengan benar hari ini.”

Reani menarik napas panjang.

Di luar ruang sidang, Juna menatap punggung Reani yang menjauh.

___

Ruang sidang kembali dipenuhi keheningan saat hakim masuk untuk kedua kalinya. Tidak ada suara selain derap sepatu dan desah napas yang tertahan.

Reani duduk tanpa mengubah posisi. Tangannya terlipat di atas pangkuan. Wajahnya datar—bukan karena tidak peduli, tapi karena ia sudah lelah berharap.

Juna berdiri gelisah, kancing jasnya terbuka..dasinya sedikit miring.

Renata menunduk, jari-jarinya saling bertaut kuat.

Anggita menatap lurus ke depan, seolah masih yakin segalanya bisa dibantah.

Hakim membuka berkas.

“Setelah mempertimbangkan seluruh bukti dan keterangan saksi,” ucapnya dengan suara tegas dan datar, “pengadilan menyatakan bahwa pernikahan antara Reani Wijaya dan Juna Pratama tidak pernah tercatat secara sah di lembaga negara mana pun.”

Juna mengangkat kepala.

“Buku nikah yang diajukan terbukti palsu.”

Kata palsu jatuh seperti palu kedua.

Renata menutup mulutnya. Nafasnya tersendat.

Hakim melanjutkan tanpa menoleh ke arah siapa pun.

“Terdakwa terbukti dengan sengaja menggunakan dokumen tidak sah untuk mempertahankan hubungan yang merugikan pihak penggugat secara hukum dan psikologis.”

Anggita berdiri setengah langkah. “Yang Mulia—”

“Duduk” potong hakim singkat.

Anggita membeku, lalu duduk kembali dengan wajah merah padam.

“Pengadilan mengabulkan seluruh tuntutan penggugat,” lanjut hakim.

“Menetapkan bahwa tidak pernah ada ikatan pernikahan yang sah antara kedua pihak. Nama penggugat akan dipulihkan secara hukum dan sosial.”

Reani menghela napas pelan. Bukan lega—lebih seperti beban yang akhirnya dilepaskan.

Hakim menoleh ke arah Juna.

“Terkait pemalsuan dokumen dan penipuan, pengadilan memerintahkan proses hukum lanjutan sesuai peraturan yang berlaku.”

Juna terduduk. Bahunya jatuh.

Renata menoleh cepat ke arahnya, wajahnya pucat.

“Juna…” bisiknya panik.

Hakim mengetuk palu.

“Dengan ini, sidang dinyatakan selesai.”

Suara mulai kembali ke ruangan.

Doroti berdiri lebih dulu. Kali ini, ia tidak tersenyum—wajahnya serius, puas dengan cara yang tenang.

“Resmi,” katanya singkat ke Reani.

Breinzo menepuk bahu adiknya sekali. Tidak keras, tidak lembut.

“Syukurlah.”

Sisilia menahan air mata. Tangannya meraih tangan Reani, menggenggam erat.

“Kamu pulang sebagai dirimu sendiri hari ini.”

Reani mengangguk. Tenggorokannya sempat tercekat, tapi ia tidak menangis.

Di sisi lain ruangan, Juna masih duduk. Matanya kosong.

Anggita berdiri dengan wajah dingin, tapi tangannya gemetar.

Renata menatap perutnya sendiri, lalu ke Juna, lalu ke lantai—seolah baru menyadari posisi mereka sekarang.

Reani baru beberapa langkah keluar dari ruang sidang ketika suara sepatu mendekat cepat dari belakang.

“Reani.”

Langkah Reani berhenti.

Ia menoleh perlahan.

Renata berdiri di hadapannya, wajahnya pucat tapi bibirnya dipaksa tersenyum. Tangannya masih memegang tas, jari-jarinya menekan kuat gagangnya. Perutnya yang sedikit membesar membuat sikapnya terlihat kaku.

“Akhirnya,” kata Renata, suaranya bergetar tapi berusaha terdengar menang, “semua ini selesai.”

Reani menatapnya datar nampak tidak tertarik pada ucapan Renata.

Renata mengangkat dagu sedikit, seperti sedang membuktikan sesuatu.

“Sekarang tidak ada lagi yang mengganggu hubunganku dengan Juna, akan ku pastikan dia melupakan masa lalu.”

Ia tertawa kecil, terdengar kosong.

“Kami akan menikah, hidup bahagia bersama anak kami yang ada didalam kandunganku.”

Doroti yang berdiri beberapa langkah di belakang langsung ingin maju, tapi Reani mengangkat tangan pelan—memintanya diam.

Reani kembali menatap Renata.

“Renata,” ucapnya tenang, “Aku sudah tidak peduli dengan kalian.”

Renata mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”

Reani mendekat satu langkah.

“Kamu tidak merebut apa pun dariku. Aku sudah tidak mencintai Juna sejak lama.”

Renata ingin membuka mulut, namun seketika terkatup kembali tanpa mengatakan apapun.

“Kamu pikir aku iri?” lanjut Reani. “Aku justru lega.”

Renata tertawa kecil lagi, kali ini lebih keras. “Lega? Kamu menang di pengadilan—”

“Aku tidak kehilangan apa pun hari ini,” potong Reani.

“Kamu yang baru mulai hidup dengan pria yang secara hukum dinyatakan pemalsu dokumen.”

Senyum Renata retak.

“Dan satu hal lagi,” tambah Reani, suaranya tetap rendah, “kalau kamu menikah dengannya nanti, pastikan buku nikahmu asli.”

Wajah Renata memucat total.

Reani melangkah pergi, melewati Renata tanpa menoleh lagi.

____

Di dalam gedung pengadilan, Arian berdiri bersama Breinzo dan Sisilia.

Doroti bertanya pelan, “Jadi… Juna masuk penjara?”

Arian menggeleng.

“Belum hari ini.”

Sisilia menatapnya. “Tapi?”

“Putusan barusan adalah putusan perdata,” jelas Arian.

“Pernikahan dinyatakan tidak sah, nama Reani dipulihkan, dan ada ganti rugi.”

“Lalu soal buku nikah palsu?” tanya Breinzo.

“Masuk ranah pidana,” jawab Arian. “Hakim sudah memerintahkan proses lanjutan. Artinya—”

“Juna akan diperiksa sebagai tersangka,” sambung Doroti.

Arian mengangguk.

“Pemalsuan dokumen negara. Ancaman hukumannya bisa denda besar, bisa penjara. Itu tergantung hasil penyidikan dan keputusan pidana nanti.”

Sisilia menarik napas panjang.

“Setidaknya Reani sudah lepas dari laki-laki bajingan itu dan keluarga parasit itu.”

Reani keluar dari gedung pengadilan saat itu juga tanpa menoleh kebelakang lagi.

Persidangan itu berakhir dengan kegundahan hati Junaz dan rasa lega di hati Reani.

bersambung.....

1
Noor hidayati
wah saingan juna ga kaleng kaleng
Noor hidayati
ayahnya juna tinggal diluar kota kan,waktu ayahnya meninggal juna balik kampung,ibunya juna itu tinggal dikampung juga atau dikota sama dengan juna,ibunya juna kok bisa ikut campur tentang perusahaan dan gayanya bak sosialita,aku kira ibunya juna tinggal dikampung dan hidup bersahaja
drpiupou: balik Lampung bukan kampung beneran kak, maksudnya kita kecil gitu.
ibunya Juna itu sok kaya kak 🤣
total 1 replies
Noor hidayati
mereka berdua,juna dan renata belum mendapatkan syok terapi,mungkin kalau juna sudah tahu reani anak konglomerat dia akan berbalik mengejar reani dan meninggalkan renata
drpiupou: bener kak
total 1 replies
Noor hidayati
lanjuuuuuuuut
Aulia
rekomended
drpiupou
🌹🕊️🕊️👍👍👍👍
Noor hidayati
apa rambut yang sudah disanggul bisa disibak kan thor🙏🙏
drpiupou: makasih reader, udah diperbaiki/Smile/
total 2 replies
Noor hidayati
juna berarti ga kenal keluarga reani
drpiupou: bener kak, nanti akan ada di eps selanjutnya.
total 2 replies
Noor hidayati
definisi orang tidak tahu diri banget,ditolong malah menggigit orang yang menolongnya,juna dan renata siap siap saja kehancuran sudah didepan mata
Noor hidayati
lanjuuuuuuut
Noor hidayati
kok belum up juga
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!