Dua keluarga yang semula bermusuhan akhirnya memutuskan menjalin aliansi pernikahan.
Posisi kepala negara terancam dilengserkan karena isu menjual negara pada pihak asing disaat perbatasan terus bergejolak melawan pemberontakan. Demi menjaga kekuasaan, Sienna sebagai putri bungsu kepala negara terpaksa menerima perjodohan dengan Ethan, seorang tentara berpangkat letjen yang juga anak tunggal mantan menteri pertahanan.
Bahaya mengancam nyawa, Ethan dan Sienna hanya bisa mengandalkan satu sama lain meski cinta dari masa lalu menjerat. Namun, siapa sangka orang asing yang tiba-tiba menikah justru bisa menjadi tim yang kompak untuk memberantas para pemberontak.
Dua dunia yang berbeda terpaksa disatukan demi mendapatkan kedamaian. Dapatkah mereka menjadi sepasang suami-istri yang saling menyayangi atau justru berakhir saling menghancurkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrlyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 (Rencana Antara Kita)
Sienna tidak bisa berhenti menyentuh bibirnya. Ada bercak kemerahan yang tertinggal di bagian bawah bibirnya, semua karena ulah Ethan yang menggigitnya pelan.
Laki-laki itu mencumbunya begitu liar. Sienna tidak pernah merasakan pengalaman seperti itu sebelumnya dan tiap kali mengingat adegan tadi pagi, wajahnya langsung terasa memanas.
Ethan yang sejak tadi berdiri di ambang pintu menunggu anak-anak datang ke sekolah, sesekali melirik ke arah Sienna, tapi begitu mereka bertemu pandang, Ethan langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Menggaruk tengkuknya walau tidak gatal. Telinga Ethan memerah, bayangan kemesraan dengan Sienna tidak mau kabur dari ingatannya.
Meski tidak sampai bercinta, tapi cukup membuat kekacauan dalam dirinya, mengalihkan rasa sakit karena kehilangan Siren.
"Sepertinya tidak ada yang datang," ucap Harry seraya melirik arlojinya. Sudah hampir dua jam mereka menunggu, tapi tidak ada seorang anak pun yang hadir.
"Tunggu sebentar lagi," ucap Ethan. "Bila tetap tidak ada yang datang, kita sendiri yang akan menjemput mereka."
Harry tertawa. Ia senang dengan semangat sang kapten yang terlihat jauh lebih segar pagi ini, tapi hanya sampai ia mendapati bercak kemerahan dari celah kerah seragam tentara yang dikenakan Ethan.
"Apa aku akan segera mendapatkan keponakan?" bisik Harry membuat Ethan seketika gugup.
"Apa yang kamu bicarakan?" Ethan berdehem, mencoba untuk tetap tenang, tapi Harry terus mengganggunya. Ia dengan berani menyentuh bercak kemerahan di leher Ethan.
Ethan seketika merapikan kerah kemejanya, menutupi bercak yang ditinggalkan Sienna dengan sempurna.
"Sudahlah... sebaiknya kita jemput anak-anak itu," ucap Ethan sengaja melangkah lebih dulu.
"Mau kemana dia?" tanya Iyan yang baru saja tiba sambil membawa gelas-gelas kopi untuk mereka.
"Tenang saja kawan, sepertinya kapten Ethan sudah benar-benar melepaskan Siren," ucap Harry yang langsung menyusul Ethan, meninggalkan Iyan dan beberapa prajurit di gedung sekolah.
Iyan kemudian menghampiri Sienna yang sudah terlihat jenuh di balik meja gurunya.
"Kopi?"
Sienna cukup terkejut saat Harry meletakkan segelas kopi panas di atas mejanya, sama terkejutnya dengan Kinan, Rima dan juga Gion. Sampai kemarin, sikap Iyan masih begitu ketus pada Sienna, paling ketus di antara yang lainnya, tapi tiba-tiba saja Iyan berubah lebih bersahabat meski masih terlihat kaku.
"Ethan dan Harry sedang menjemput para pelajar, bersabarlah sedikit," tutur Iyan sebelum kembali keluar dari ruang kelas.
"Ada apa dengannya? Apa dia salah makan?" tanya Sienna berbisik pada Gion.
Gion hanya mengangkat kedua bahunya. "Jangan-jangan dia meletakkan racun di dalam sana?"
"Yang benar?" tanya Sienna panik.
Gion seketika tertawa. "Jangan takut, dia tidak akan melakukan cara seperti itu, kalau tidak suka biasanya Iyan lebih senang langsung menembak kepala targetnya."
Glek!
Sienna seketika menelan ludah yang terasa mengganjal. Ia tidak akan meragukan ucapan Gion walau di bungkus dengan candaan. Siapa yang tidak kenal mereka si pasukan khusus yang sangat disegani.
"Jangan menakut-nakuti nonaku!" tegur Rima, ia tidak ragu menepuk perut Gion.
Laki-laki itu hanya berdecak pelan, seolah tidak peduli dan tetap setia menemani Sienna yang mulai sibuk mengatur jadwal pelajaran.
Satu jam, dua jam, Sienna menunggu hingga mengantuk. Nyaris ia ketiduran jika saja Ethan tidak dengan sigap menyanggah wajahnya.
Sienna yang tersadar lantas mendongak, Ethan dengan ekspresinya yang selalu datar langsung menyambut pandangannya.
"Kenapa lama sekali, Eth?" tanya Sienna. Mungkin dia tidak sadar, tapi intonasinya yang sedikit manja membuat Ethan justru mengingat momen tadi pagi.
"Apa terjadi sesuatu? Di mana anak-anak?" tanya Sienna saat menyadari tidak ada satu pun anak yang datang bersama Ethan.
"Mereka semua bersembunyi. Kami sudah menyisir area pasar hingga jalanan tempat mereka biasa berkeliaran, tapi hari ini kami tidak menemukan satu pun," jelas Harry tampak kelelahan.
Sienna terdiam sesaat. Tarikan napasnya terasa berat.
"Mungkin mereka takut... bagaimana pun kejadian penembakan saat itu mereka saksikan sendiri," ucap Kinan prihatin.
"Tapi kita tidak boleh membiarkan mereka terus menjadi bodoh. Kemarin aku juga bertemu dengan gadis muda yang sudah menikah padahal usiannya masih belasan tahun. Kita harus membuat perubahan di tempat ini agar mereka tidak terus-menerus terjebak lingkaran kemiskinan," ucap Sienna.
"Itu benar," seru Ethan setuju. "Kebodohan itu akar kemiskinan. Para warga mungkin mulai putus asa karena konflik yang terjadi, tapi aku yakin jauh di lubuk hati mereka, masih ada semangat juang untuk mempertahankan rumah mereka dan menjadikan tempat ini kembali aman."
"Jika mereka tidak mau datang, aku yang akan mendatangi mereka sendiri." Sorot mata Sienna penuh keyakinan. Alih-alih mengajar anak-anak, Sienna mulai menggambar rencana untuk memulihkan perekonomian warga setempat.
"Aku melihat potensi dari sektor pertanian para warga. Ada banyak pohon kopi yang tumbuh subur di tempat ini dan aromanya jauh lebih kuat dari kopi biasanya."
Ethan duduk dan tersenyum bangga melihat istrinya menjelaskan tujuannya membangun perbatasan menjadi daerah yang lebih baik di hadapan sahabat-sahabatnya yang semula hanya menganggap Sienna sebagai tuan putri manja. Nyatanya, Sienna mampu memusatkan perhatian Iyan, Harry, serta Gion.
"Aku sudah menghubungi kakakku, Arthur... sebagai seorang pebisnis dia akan membawa ahli kopi ke tempat ini agar para petani kopi tidak lagi menjual hasil mentah, tapi menjual setelah diolah menjadi suatu produk khas daerah ini yang bisa di distribusikan ke luar daerah hingga pasar mancanegara. Proses produksi juga bisa membuka lapangan kerja hingga angka pengangguran tempat ini akan menurun," jelas Sienna.
"Ayahku, maksudku kepala negara juga sudah berjanji akan memperbaiki akses jalan tempat ini hingga transportasi lebih mudah untuk mengirim kebutuhan logistik agar harga pasar bisa kembali stabil," imbuh Sienna.
"Kamu yakin itu bukan sekedar janji kosong?" tanya Iyan sangsi.
Sienna tanpa ragu mendekat dan menatap Iyan. "Aku jaminannya. Semua bahan sedang dalam perjalanan, jika tidak sampai tepat waktu, berarti kalian yang tidak becus mengawal bahan-bahan itu."
Iyan menyeringai, sorot matanya semakin tajam, "Jangan remehkan kemampuan kami, Tuan putri."
"Maka buktikan lah!"
Sienna tahu, bahkan Ethan sendiri tidak terlalu menyukainya, bagaimana bisa teman-teman suaminya itu akan menerimanya jika ia tidak melakukan aksi nyata kalau pernikahannya saja terjadi hanya demi menjaga stabilitas negara ini.
...***...
"Kamu tidak mengatakannya padaku soal rencanamu itu sebelumnya," ucap Ethan saat mereka dalam perjalanan pulang. Berboncengan dengan sepeda motor di area pemukiman warga, sementara yang lainnya sudah mulai melakukan tugas masing-masing.
"Sebenarnya saat kamu pulang kemarin aku mau cerita, tapi kita malah...." Sienna menggigit bibir bawahnya, tidak sanggup untuk melanjutkan ucapannya. Wajahnya memanas, bersemu merah.
Diam-diam Ethan tersenyum, sengaja mempercepat laju motornya. Tiba di pasar, Ethan membeli beberapa bahan masakan. Ayam, telur dan beberapa jenis sayur serta buah-buahan.
"Buat apa ini semua?" tanya Sienna bingung karena sepengetahuannya dapur batalion memiliki persediaan yang cukup.
"Aku akan memasak, sepertinya kamu kurang cocok dengan masakan barak," jawab Ethan setelah membeli beberapa bumbu dapur.
"Kamu bisa masak?"
"Tentu saja, suamimu bisa melakukan apa saja kecuali membelah bulan."
Sienna seketika terkekeh pelan. Ethan lantas menggandeng tangannya dan membawanya menuju motor mereka terparkir lalu setelah itu bergegas pulang.
Setibanya di rumah, Ethan langsung membersihkan belanjanya dan menatanya dalam lemari pendingin.
"Perlu bantuan?" tanya Sienna mendekat. Sejak awal, Ethan sibuk sendiri sementara ia hanya duduk diam melihat bagaimana suaminya terlihat semakin gagah berada di area dapur.
"Tolong cuci buahnya."
Sienna lantas mencuci buah-buahan yang mereka beli seperti mangga dan pepaya.
"Mangga ini terlihat manis," gumam Sienna tersenyum senang. Ia memang sangat gemar memakan buah mangga, aromanya selalu membangkitkan mood-nya.
"Mau makan mangga selagi menunggu masakannya matang?"
Sienna mengangguk, Ethan kemudian mengupas kulit mangga, memotongnya menjadi bagian-bagian kecil lalu meletakkannya di hadapan Sienna.
"Makan lah." Senyum tipis terukir di sudut bibir Ethan.
"Hum, manis banget~ coba lah...." Sienna tanpa ragu menyuapi Ethan.
Namun, alih-alih menyantap potongan mangga pemberian istrinya itu, Ethan justru bergerak mengecup bibir Sienna.
Kedua mata Sienna seketika melebar, tubuhnya membeku, Ethan tidak hanya mendapatkan bibirnya, tapi dia berusaha memakannya, makin lama semakin intens tidak terkendali.
"Eth, aku memintamu mencicipi mangga bukan bibirku," ucap Sienna mendorong tubuh Ethan sedikit menjauh.
Napas gadis berambut panjang itu naik turun, tubuhnya terasa panas seperti ada aliran listrik yang menyengat.
Namun, Ethan justru mematikan kompor bukan untuk melepaskan Sienna. Ia meminta gadis itu memakan kembali potongan mangga di tangannya dan detik berikutnya dia kembali mencicipi mangga di mulut Sienna.
"Manis...," gumam Ethan setelah membuat Sienna nyaris lemas akibat ulahnya.
"Ya, mangganya memang manis," sahut Sienna tanpa berani menatap Ethan, diam bersandar pada dinding usai suaminya menyudutkannya tanpa celah.
"Bukan mangganya, tapi bibirmu...."
....