Cinta membuat seorang gadis bernama Suratih, menentang restu ayahnya. Damar, pemuda yang membuat hatinya lebih memilihnya daripada apa yang dikatakan orang tuanya, membuatnya mengambil keputusan yang sebenarnya mengecewakan sang ayah. Apakah Suratih akan bahagia membangun rumah tangga bersama Damar, setelah jalan yang dia tempuh salah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irawan Hadi Mm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 25
Damar berhasil menghindar dari Laras. Dirinya sudah lebih dulu masuk kamar dan menguncinya.
Damar bergidik geli, dengan melangkah masuk ke dalam kamarnya, "Amit amit dah itu bocah! Kurang kerjaan banget!"
Suratih yang melihat Damar seperti merasa jijik dan sawan, pun bertanya pada pria itu.
"Kenapa, bang? Kaya liat hantu?" tanya Suratih.
Namun tidak mungkin kan, Damar mengatakan sebenarnya pada Suratih, pasti wanita itu akan cemburu dan marah nanti dengan kelakuan Laras.
"Gak ada, kita sarapan dulu ya, Tih! Abis selesai makan. Kamu gak apa kan! Abang tinggal kerja?" Damar mendudukkan dirinya di sofa.
"Iya gak apa apa, bang! Tapi abang beneran. Itu pintu aman kalo abang kunci dari luar? Ibu gak punya konci cadangan kamar ini?" Suratih mendaratkan bobot tubuhnya di samping Damar.
"Gak ada yang punya kunci cadangan kamar ini. Semua pintu di rumah ini gak ada kunci cadangannya." Damar menyuapi Suratih dengan tangannya.
"Makasih, abang!"
"Iya, sayang. Kamu harus makan yang banyak ya, Tih! Jangan lupa di imbangin dengan olah raga, biar body kamu makin wow gitu!"
"Emang body Ratih, segini kurang wow ya, bang?"Suratih membusungkan dadanya, dengan ke dua tangan di pinggang.
"Kurang bohay, Tih! Si kembar kamu kurang gede, Tih! Kurang enak buat di jadiin mainan." goda Damar memperlihatkan jemarinya yang tengah meremas angin pada Suratih.
Suratih mengerucutkan bibirnya kesal, "Parah amat bang kalo ngomong! Di kata dada Ratih ini barang apa bisa di jadiin mainan"
Sarapan sudah usai, waktunya Damar berangkat ke kantor dengan meninggalkan Suratih di kamar seorang diri. Hanya bertemankan ponsel yang menjadi teman setianya kini.
Cup.
Damar mengecup singkat bibir Suratih.
"Abang berangkat dulu, Tih!" pamit Damar sebelum meninggalkan Suratih di kamarnya.
"Iya, abang jangan aneh-aneh! Ingat Ratih yang udah abang makan pera wannya!" beo Suratih dengan pipi merona malu.
Damar menatap nakal Suratih dengan nada terkekeh, "Abang ingat itu kok! Nanti malam lagi ya, Tih! Goa kamu enak bangat, ke set, ba tang abang betah lama lama di dalam. Kalo kata orang mah bener itu, Tih! Sekali kena, nagih!"
Mendengar itu Suratih jadi merinding.
"Abang jangan ngomong gitu! Cukup sekali aja udah. Nanti kalo udah sah, baru lagi."
"Pokonya tar malam abang mau lagi." ujar Damar tak perduli.
Tuing.
Dengan jailnya, Damar menoel salah satu puncak kembar Suratih yang tampak menantang, di balik kaos oversize berwarna coklat yang Suratih kenakan itu. Ke dua puncaknya Suratih masih tampak menantang, Damar benar benar lupa membeli rumah untuk gunung kembar Suratih.
"Abang!" Suratih melotot tajam.
Damar mengelus puncak kepala Suratih penuh kasih sayang, "Maaf sayang! Nanti abang pulang cepet kok! Kamu sabar ya!"
Damar mengunci pintu kamarnya, sebelum berangkat kerja ia menghampiri Sumi hendak berpamitan.
Damar memutar bola matanya malas, mendapati Laras yang tengah bersama dengan Sumi di ruang depan. Mereka berdua tengah menonton sinetron ikan terbang.
"Ngapain pake ada Laras! Kenapa gak balik aja sih ke rumah mereka! Aku harap keluarga bibi Sari gak lama tinggal di sini!" gumam Damar yang memang tidak senang ada wanita itu di rumah ibunya ini.
"Bu, Damar berangkat kerja dulu!" pamit Damar, ia mencium punggung tangan kanan Sumi.
Netra Laras teralihkan dengan kehadiran Damar di ruang depan.
Laras menatap nakal Damar, sementara yang di tatap. Tampak mengacuhkan Laras. Seakan di sana gak ada Laras, hanya ada Damar dan Sumi.
‘Astaga gantengnya calon suami aku, jadi kepengen cepet di nikahin sama bang Damar. Gak ta han pengen ngerasain ba tang nya. Pasti bang Damar gagah bangat kalo lagi goyang ternak kecebong! Aw aw gimana gitu!’ batin Laras dengan pikiran me sum nya.
‘Kira kira goyangan bang Damar, sama dahsyatnya gak ya dengan goyangan mas Tama? Gimana kabarnya ya mas Tama sekarang?’ pikir Laras.
"Siang amat lu baru mau berangkat! Ora di marahin atasan lu di kantor apa, jam segini baru mau jalan, Mar?" tanya Sumi dengan tatapan gak percaya.
"Udah izin, bu! Kan semalam Damar kecapean keliling nyari barang buat keperluan kantor." kilah Damar dengan tatapan meyakinkan.
Laras beranjak dari duduknya, "Bang Damar makin ganteng aja! Kapan kapan ajak Laras jalan-jalan pake mobil ya, bang! Laras bosen di rumah terus." kata Laras dengan nada suara manja.
Damar bergidik geli, "Gak ada waktu!" ketusnya.
Damar kembali melihat ke arah ibunya.
"Damar jalan, bu!" pamit Damar pada Sumi.
"Hati hati lu di jalan!" seru Sumi, di ikuti dengan langkah Damar yang meninggalkan rumah.
"Lu gimana si Ras! Mana usaha lu buat deket sama Damar?" protes Sumi.
"Ibu yang gimana! Kenapa gak bantu Laras! Coba aja tadi ibu dukung bang Damar buat ajak Laras jalan jalan pake mobil. Pasti kan bang Damar gak bakal nolak Laras buat jalan!" gerutu Laras, balik menyalahkan Sumi.
"Lu berani nyalain gua, Ras? Salahin tuh otak lu sempit! Emang gak ada cara lain apa selain jalan jalan pake mobil?" Sumi menunjuk nunjuk kening Laras dengan ujung telunjuknya.
Siang berlalu dengan cepat, hingga gak terasa langit terang berganti petang.
Suratih tengah melakukan peregangan pada tubuhnya. Tubuhnya begitu terasa pegal, gak ada yang bisa banyak ia lakukan di dalam kamar itu. Hanya bermain ponsel, tidur, makan dan ngemil kerjaannya.
***
Bersambung …