Di tengah derasnya hujan di sebuah taman kota, Alana berteduh di bawah sebuah gazebo tua. Hujan bukanlah hal yang asing baginya—setiap tetesnya seolah membawa kenangan akan masa lalunya yang pahit. Namun, hari itu, hujan membawa seseorang yang tak terduga.
Arka, pria dengan senyum hangat dan mata yang teduh, kebetulan berteduh di tempat yang sama. Percakapan ringan di antara derai hujan perlahan membuka kisah hidup mereka. Nayla yang masih terjebak dalam bayang-bayang cinta lamanya, dan Arka yang ternyata juga menyimpan luka hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindi Tati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 25
Hari-Hari Terakhir
Waktu berjalan seolah terburu-buru. Sejak Arka memutuskan menerima tawaran kerja di Jakarta, hari-hari Nayla terasa seperti lembar kalender yang dicabut satu per satu, semakin menipis, semakin dekat dengan hari keberangkatan. Setiap pagi, ia bangun dengan perasaan campur aduk: bahagia karena masih bisa bertemu Arka, sedih karena sadar bahwa hari-hari itu akan segera berakhir.
Arka sendiri mencoba memanfaatkan waktu dengan Nayla sebaik mungkin. Ia tahu, setelah keberangkatannya nanti, hari-hari mereka tak akan pernah sama. Maka ia mulai menuliskan daftar kecil hal-hal yang ingin ia lakukan bersama Nayla sebelum pergi: berjalan di pasar tradisional, makan sate di pinggir jalan, menonton film di bioskop tua, dan tentu saja—berjalan di bawah hujan tanpa payung.
Suatu sore, mereka pergi ke pasar tradisional. Arka menenteng keranjang belanja, sementara Nayla memilih sayur-mayur. “Ka, nanti kalau kamu di Jakarta, kamu bisa masak sendiri nggak?” tanya Nayla sambil tersenyum nakal.
Arka pura-pura berpikir keras. “Hmm… kalau aku lupa cara masak, mungkin aku harus sering pulang biar bisa makan masakan kamu.”
Nayla mencubit lengannya. “Alasan aja, Ka.”
Mereka tertawa bersama. Orang-orang di sekitar menatap sejenak, mungkin iri pada kebahagiaan sederhana itu. Tapi hanya Nayla yang tahu bahwa tawa itu sedang berusaha menutupi kegelisahan di dalam dada.
Malamnya, mereka duduk di teras rumah Nayla. Hujan turun deras, menimbulkan suara yang menenangkan sekaligus melankolis. Arka mengeluarkan buku catatan kecil dari tasnya.
“Aku bikin ini,” katanya sambil menyerahkan buku itu pada Nayla.
Nayla membuka halaman pertama. Di sana tertulis: “Daftar Hal yang Harus Kita Lakukan Kalau Aku Pulang.”
Matanya berbinar, sekaligus berkaca-kaca. “Ka… kamu serius bikin ini?”
Arka mengangguk. “Aku nggak mau kita kehilangan arah. Jadi setiap kali aku pulang, kita harus melakukan salah satu dari daftar ini. Biar kita selalu punya alasan untuk tertawa lagi.”
Nayla membalik halaman-halaman berikutnya. Ada tulisan tangan Arka: naik sepeda keliling kota, piknik di lapangan rumput, main gitar di bawah pohon besar, bahkan membuat hujan buatan dengan selang taman. Nayla tertawa di sela air matanya. “Kamu gila, Ka.”
“Lebih gila lagi kalau aku biarin cinta kita pudar karena jarak,” jawab Arka lembut.
Mereka terdiam, hanya menatap hujan yang jatuh. Di hati mereka, doa-doa terucap tanpa suara.
Hari demi hari semakin cepat. Sanggar Nayla sibuk menyiapkan pentas seni, sementara Arka sibuk mengurus dokumen keberangkatannya. Di tengah kesibukan itu, mereka tetap menyelipkan waktu bersama.
Suatu malam, Nayla mengajak Arka menonton film di bioskop tua dekat alun-alun. Gedungnya sederhana, kursinya sudah banyak yang usang, tapi bagi mereka tempat itu penuh kenangan. Film yang mereka tonton sebenarnya biasa saja, namun momen itu terasa istimewa. Nayla bersandar di bahu Arka sepanjang film, seolah berusaha mengukir kenangan terakhir.
Ketika film selesai, hujan turun deras di luar. Mereka berlari keluar, basah kuyup, tapi justru tertawa lepas. Nayla berputar-putar di bawah hujan, sementara Arka menatapnya dengan senyum penuh cinta. “Nay, kamu nggak takut sakit?”
Nayla mengangkat tangan ke langit, membiarkan hujan membasahi wajahnya. “Aku lebih takut kehilangan momen ini, Ka!” teriaknya.
Arka ikut berlari menghampiri, lalu memeluknya erat. Di bawah derasnya hujan malam itu, mereka berciuman untuk waktu yang lama, seolah ingin menyimpan rasa yang cukup untuk hari-hari panjang tanpa pelukan.
Seminggu menjelang keberangkatan, Nayla mulai lebih sering menulis di buku hariannya. Ia menulis tentang setiap momen kecil bersama Arka: senyum di pasar, canda di dapur, genggaman tangan di jalan setapak. Semua ia tulis, karena ia takut kenangan itu akan memudar saat Arka jauh.
Salah satu tulisannya berbunyi:
“Aku tahu cinta bukan tentang seberapa sering bertemu, tapi seberapa kuat kita percaya. Tapi tetap saja, aku takut. Aku takut bangun suatu pagi tanpa kabar darinya. Aku takut hujan turun tanpa ada dia di sisiku. Aku takut cintaku hanya menjadi catatan di buku harian.”
Arka suatu kali membaca tulisan itu diam-diam ketika Nayla meninggalkan buku di meja. Bukannya marah, ia justru merasa semakin ingin melindungi Nayla. Malam itu ia menatap wajah Nayla yang tertidur, lalu berbisik pelan: “Aku janji, Nay. Kamu nggak akan pernah sendirian. Aku akan selalu kembali.”
Dua hari sebelum keberangkatan, Arka mengajak Nayla ke tepi sungai tempat mereka sering duduk. Hujan rintik-rintik turun, seperti sengaja ikut hadir.
“Nay,” kata Arka, menatap sungai yang mengalir. “Aku pengen kamu janji satu hal.”
Nayla menoleh. “Apa itu?”
“Kalau suatu hari aku terlalu sibuk, terlalu lelah, atau bahkan aku berubah… jangan pernah berhenti ngingetin aku tentang kita. Ingatin aku tentang hujan ini, tentang semua yang kita punya.”
Nayla menggenggam tangannya erat. “Aku janji. Tapi kamu juga jangan berhenti percaya sama aku. Jarak boleh memisahkan, tapi jangan pernah biarin keraguan masuk di antara kita.”
Arka tersenyum. “Deal. Kita sama-sama penjaga cinta ini.”
Malam terakhir sebelum keberangkatan, Nayla tak bisa tidur. Ia duduk di meja belajarnya, menatap jendela yang basah oleh hujan. Ia menulis surat panjang untuk Arka, sesuatu yang ingin ia berikan sebelum pria itu naik kereta.
“Arka, cintaku. Ketika hujan turun, aku ingin kamu selalu ingat: ada aku di sini, menunggumu. Jangan takut gagal, jangan takut lelah, karena aku ada untukmu. Kalau kamu rindu, lihatlah langit saat hujan. Karena di setiap tetesnya, ada doa yang aku kirimkan untukmu.”
Air matanya menetes membasahi kertas, tapi ia tetap menulis hingga selesai. Surat itu ia lipat rapi, dimasukkan ke dalam amplop, dan ia simpan di tas kecilnya.
Hari keberangkatan pun tiba. Stasiun ramai, orang-orang berlalu-lalang dengan koper. Nayla menggandeng tangan Arka, berusaha menahan air mata. Arka membawa koper kecil, tapi di matanya terlihat beban yang jauh lebih besar: beban meninggalkan Nayla.
“Ka,” suara Nayla bergetar, “kamu janji nggak akan lupa jalan pulang?”
Arka mengangguk, tersenyum meski matanya berkaca-kaca. “Aku nggak pernah lupa, Nay. Rumahku ada di kamu.”
Kereta mulai bersiul, tanda keberangkatan semakin dekat. Nayla menyelipkan surat ke tangan Arka. “Baca nanti di perjalanan.”
Arka menariknya ke pelukan terakhir. “Aku cinta kamu, Nay. Lebih dari apapun.”
Nayla menangis, tapi ia berusaha tersenyum. “Aku juga cinta kamu, Ka. Selamanya.”
Ketika kereta berangkat, Nayla berlari di samping jendela, melambaikan tangan hingga sosok Arka menghilang di kejauhan. Hujan turun pelan, seakan ikut menangis bersama.
Di dalam kereta, Arka membuka surat Nayla. Ia membaca setiap kata dengan hati yang bergetar. Air matanya jatuh, tapi senyumnya tetap ada. Ia berbisik pada dirinya sendiri, “Aku akan pulang, Nay. Tunggu aku di bawah hujan.”