Judul: Suamiku Tak Pernah Kenyang
Genre: Drama Rumah Tangga | Realistis | Emosional
Laila Andini tak pernah membayangkan bahwa kehidupan rumah tangganya akan menjadi penjara tanpa pintu keluar. Menikah dengan Arfan Nugraha, pria mapan dan tampak bertanggung jawab di mata orang luar, ternyata justru menyeretnya ke dalam pusaran lelah yang tak berkesudahan.
Arfan bukan suami biasa. Ia memiliki hasrat yang tak terkendali—seakan Laila hanyalah tubuh, bukan hati, bukan jiwa, bukan manusia. Tiap malam adalah medan perang, bukan pelukan cinta. Tiap pagi dimulai dengan luka yang tak terlihat. Laila mencoba bertahan, karena “istri harus melayani suami,” begitu kata orang-orang.
Tapi sampai kapan perempuan harus diam demi mempertahankan rumah tangga yang hanya menguras
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Euis Setiawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
malam yang penuh godaan
Lampu-lampu di rumah ibu Laila malam itu redup. Angin malam membawa suara dedaunan yang bergesekan di halaman. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit. Laila duduk di kursi kayu dekat jendela, memandangi langit gelap yang sesekali disapu cahaya lampu kendaraan yang lewat di jalan kecil depan rumah.
Sejak tadi, hatinya tidak tenang. Setiap ia memejamkan mata, bayangan wajah Arfan muncul wajah itu seperti bercampur dengan bayangan Bi Ratmi yang ia curigai punya niat tidak baik. Ia menggigit bibir, mencoba menenangkan diri, tapi rasa cemas itu seperti menancap di dadanya.
Teleponnya sudah ia letakkan di meja, namun jari-jarinya terus memainkan layar, membuka kontak Rani, lalu menutupnya lagi. Hingga akhirnya ia memutuskan menekan tombol panggil.
"Hallo, Rani." Suaranya pelan tapi terdengar jelas kegelisahannya.
"Eh, tumben kamu telpon malam-malam gini," jawab Rani dari seberang dengan nada heran. Suara Rani terdengar seperti sedang menonton televisi, tapi ia langsung mematikan suaranya.
"Ran… sekarang aku lagi di rumah ibu. Tapi… perasaanku rasanya nggak enak, nggak tenang sama sekali."
"Semenjak kapan kamu di rumah ibu?" tanya Rani sambil sedikit mencondongkan tubuh ke depan.
"Ini hari ketiga aku di sini."
"Hari ketiga? Dan kamu gelisah gini?" Rani mencoba membaca situasi.
"Iya… soalnya aku terus kepikiran Mas Arfan sama Bi Ratmi. Aku takut Bi Ratmi lancang menggoda suamiku. Kamu tahu kan, Ran… Mas Arfan itu nggak tahan kalau satu hari saja nggak dilayani." Laila bicara cepat, seolah takut kalau perasaannya meledak jadi tangis.
Rani menghela napas, "Laila… kalau kamu terus-terusan cemas, itu nggak sehat. Kalau memang curiga, kenapa nggak langsung telpon suamimu sekarang?"
Laila terdiam, tatapannya jatuh ke lantai. Hatinya seperti diguncang. Ia tahu Rani benar, tapi ia juga takut kalau mendengar sesuatu yang tidak ingin ia dengar.
"Halo? Laila? Kamu masih di sana?" Suara Rani memecah lamunan.
"Iya… aku di sini kok. Baiklah, Ran… aku akan coba telpon suamiku. Makasih ya, kamu sudah bikin aku agak tenang."
"Iya, sama-sama. Semoga aku bener-bener bisa bantu kamu."
Telpon dengan Rani pun terputus. Laila langsung menarik napas dalam-dalam, lalu meraih ponselnya. Jari-jarinya sedikit bergetar saat mencari kontak "Suamiku ❤️".
sementara itu,di rumah arfan
Arfan duduk di sofa ruang tamu. Kemejanya terbuka dua kancing teratas, rambutnya sedikit berantakan. Di depannya, Bi Ratmi pembantu rumah tangga itu sedang membungkuk, pura-pura membetulkan kancing di baju Arfan. Namun, jari-jarinya dengan sengaja mengusap dada bidang Arfan yang setengah terbuka.
Bulu kuduk Arfan berdiri. Sentuhan itu seperti aliran listrik yang menyengat kulitnya. Ia mencoba menahan diri, tapi tatapan mata Bi Ratmi yang penuh arti membuatnya goyah.
"Pak…" suara Bi Ratmi pelan namun jelas, nadanya mengalun menggoda, "Saya tahu Bapak butuh sesuatu yang hangat kan?"
Arfan menelan ludah, suaranya terdengar gugup. "Ma… maksud kamu apa, Bi?"
"Saya siap kok, Pak… jadi penghangat tubuh Bapak." Bibirnya tersenyum miring, matanya menatap tajam penuh ajakan. Tangannya mulai berani menelusuri lengan Arfan, dari siku hingga bahu.
Arfan terdiam. Di dalam kepalanya, ada suara yang mengingatkan tentang Laila, istrinya. Tapi ada juga suara lain yang mendorongnya untuk menuruti godaan ini.
Di saat yang sama HP Arfan bergetar di meja. Layar menampilkan "Laila ❤️ Menelpon".
Namun Arfan tidak menyadarinya karena ia sedang terpaku pada tatapan Bi Ratmi. Bi Ratmi melirik sekilas ke arah HP itu, lalu dengan cepat mematikannya.
"Eh… itu handphone saya ya?" tanya Arfan, setengah sadar.
Bi Ratmi tersenyum manis, pura-pura polos, "Ah, cuma salah nomor, Pak. Udah saya matikan biar nggak ganggu."
Padahal ia tahu persis itu Laila yang menelpon. Semakin ia membuat Arfan jauh dari komunikasi dengan istrinya, semakin besar peluangnya menguasai hati atau setidaknya tubuh Arfan malam ini.
"Pak… udah malam, hawa dingin banget. Saya takut Bapak masuk angin." Bi Ratmi duduk lebih dekat. Kini jarak mereka hanya sejengkal. Aroma minyak rambutnya samar-samar tercium, bercampur dengan wangi lotion yang manis.
Arfan menatapnya. Nafasnya mulai berat. "Bi… ini nggak bener…"
"Tapi kalau bikin Bapak senang, kenapa nggak?" bisik Bi Ratmi di telinga Arfan, membuatnya semakin sulit berpikir jernih.
Tangannya yang tadi hanya menyentuh lengan, kini mulai menyentuh dada Arfan. Arfan, yang semalaman menahan hasrat karena Laila pergi ke rumah ibunya, mulai kehilangan kendali. Ia tahu ini salah, tapi tubuhnya seperti bergerak sendiri.
Laila menatap ponselnya, melihat panggilannya ditolak. Napasnya tercekat.
"Kenapa dia nggak angkat?" gumamnya. Perasaannya makin tidak enak. Ia mencoba lagi, tapi kali ini malah langsung masuk ke nada sambung sibuk.
Hatinya seperti diremas. Air matanya mulai menggenang.
"Jangan-jangan… benar yang aku takutkan." Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha menahan tubuhnya yang gemetar.
Ia mencoba menenangkan diri, tapi pikirannya terus membayangkan Arfan dan Bi Ratmi di rumah. Setiap skenario buruk muncul di kepalanya, membuat dadanya sesak.
Bi Ratmi kini duduk di pangkuan Arfan.
"Pak… saya janji, Bapak nggak akan nyesel." Tangannya memeluk leher Arfan, bibirnya hanya sejengkal dari bibir Arfan.
Arfan menarik napas panjang.
"Bi… kalau Laila tahu…"
"Dia kan nggak di rumah, Pak. Nggak akan ada yang tahu."
Di dalam hati, Arfan masih bimbang. Namun, panas tubuh Bi Ratmi, tatapan matanya, dan aroma tubuhnya membuat pertahanannya semakin rapuh. Ia menutup mata, berusaha memutuskan…