Albar tak bisa terpisahkan dengan Icha. Karena baginya, gadis itu adalah sumber wifinya.
"Di zaman modern ini, nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Jadi begitulah hubungan kita!" Albar.
"Gila ya lo! Pergi sana!" Icha.
Icha berusaha keras menghindar Albar yang tak pernah menyerah mengejar cintanya. Bagaimana kelanjutan cerita mereka?
*Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Auraliv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 - Ciuman Pertama
Hari itu, suasana sekolah agak lengang karena sebagian siswa mengikuti lomba olahraga di luar kota. Icha duduk di bangku taman kecil dekat kolam ikan, menunggu Albar yang katanya mau membawakan sesuatu.
Angin sore yang lembut membuat dedaunan bergoyang. Icha menunduk sambil memainkan tali tasnya, tidak sadar kalau Reina berdiri tak jauh di belakang, memperhatikannya.
Reina mengerutkan kening. Sejak beberapa minggu terakhir, ia merasa ada yang aneh dengan Icha. Bukan cuma karena gadis itu terlihat sering tersenyum sendiri, tapi juga karena Albar—yang dulu suka terang-terangan mengganggu Icha—tiba-tiba jarang mendekat di depan umum.
“Kalian pikir gue nggak sadar, ya?” gumam Reina dalam hati, bibirnya melengkung tipis.
Beberapa menit kemudian, Albar muncul sambil membawa dua kotak roti isi cokelat. “Cha, nih… roti favorit lo. Gue beli di kantin sebelum habis.”
Icha menerima sambil tersenyum. “Makasih… tapi kenapa lo kayaknya nyelinap-nyelinap?”
“Ya biar nggak ada yang liat,” jawab Albar sambil duduk di sampingnya. “Kita kan lagi pacaran undercover.”
Sayangnya, momen itu tak luput dari mata Reina yang mengintip dari balik tembok taman. Matanya membulat. Ah, jadi bener… pikirnya.
Di kelas, Dinda yang baru pulang dari koperasi diseret Reina ke pojokan.
“Nda, gue mau tanya… lo deket banget kan sama Icha?”
“Lah, iya. Kenapa?” Dinda mencoba tetap santai.
“Dia sama Albar… ada hubungan, kan?”
Dinda pura-pura mengernyit. “Hah? Dari mana lo dapet ide itu?”
“Aku liat mereka duduk berduaan di taman tadi. Muka Albar itu loh… nggak mungkin cuma temen.”
Dinda berpikir cepat. “Rein, lo kan tahu mereka dulu sering ribut. Mungkin sekarang cuma baikan aja, nggak lebih.”
Reina menatap curiga. “Hmm… kita liat aja nanti.”
Di sisi lain, Rio juga sempat dicegat Reina saat keluar kelas.
“Yo, lo kan temenan sama Albar. Dia tuh lagi deket sama Icha, ya?”
Rio langsung mengangkat alis. “Kok nanyanya ke gue? Gue nggak ngurusin drama anak orang, Rein.”
Reina menghela napas, belum puas dengan jawabannya, tapi memilih mundur untuk saat ini.
Sore itu, setelah jam pelajaran terakhir, Icha dan Albar memutuskan tidak langsung pulang. Mereka menuju ruang musik sekolah yang sedang kosong. Albar mengaku ingin menunjukkan lagu yang sedang ia buat.
Begitu masuk, Albar menutup pintu. “Cha, gue nggak mau lo pikir gue lebay… tapi gue beneran pengen nyanyi ini buat lo.”
Icha duduk di kursi panjang, menatap Albar yang mulai memetik gitar. Lagu itu sederhana, tapi liriknya hangat, bercerita tentang seseorang yang menemukan ‘sinyal’ dalam hidupnya—tentu saja merujuk ke istilah wifi yang sering Albar pakai.
Ketika lagu selesai, Albar menaruh gitarnya, lalu berjalan mendekat. “Cha…” suaranya pelan. “Lo tahu kan, gue sayang banget sama lo?”
Icha mengangguk pelan, jantungnya berdebar tak karuan.
“Boleh gue…?” Albar tidak melanjutkan, tapi tatapannya jelas bertanya.
Icha awalnya ingin menjawab dengan kata-kata, namun tubuhnya bergerak lebih cepat dari pikirannya. Ia menutup jarak di antara mereka, dan dalam sekejap bibir mereka bersentuhan.
Itu hanya beberapa detik, tapi cukup membuat keduanya terpaku.
Albar tersenyum lebar setelahnya. “Cha, lo baru aja bikin sinyal gue full bar!”
Icha tertawa sambil menutupi wajahnya. “Dasar…”
Namun kebahagiaan itu tidak sepenuhnya aman. Dari luar ruang musik, ada suara langkah cepat yang menjauh. Seseorang sempat lewat dan melihat pintu sedikit terbuka—cukup untuk menangkap bayangan dua orang yang duduk sangat dekat di dalam.
Albar menoleh curiga. “Lo denger suara langkah?”
Icha ikut menajamkan telinga. “Kayaknya iya… lo pikir siapa?”
Albar menggeleng. “Entah. Semoga bukan orang yang salah.”
Mereka memutuskan keluar beberapa menit kemudian, berjalan terpisah demi menghindari kecurigaan. Tapi di sudut lorong, Reina berdiri sambil memainkan ponselnya, pura-pura tidak melihat.
Malamnya, Albar mengirim pesan:
Albar: “Cha, hari ini… terbaik banget. Makasih udah percaya sama gue.”
Icha: “Sama-sama. Tapi hati-hati, kayaknya ada yang mulai curiga.”
Albar: “Tenang, sinyal kita aman. Gue bakal jaga biar nggak ada yang nge-hack.”
Icha tersenyum membaca balasan itu. Ia tidak tahu seberapa lama rahasia ini bisa bertahan, tapi untuk saat ini, ia ingin menikmati saja momen bersama “wifi pribadinya” itu.