Yujin hanya ingin keluarga utuh dengan suami yang tidak selingkuh dengan iparnya sendiri.
Jisung hanya ingin mempertahankan putrinya dan melepas istri yang tega berkhianat dengan kakak kandungnya sendiri.
Yumin hanya ingin melindungi mama dan adiknya dari luka yang ditorehkan oleh sang papa dan tante.
Yewon hanya ingin menjalani kehidupan kecil tanpa harus dibayangi pengkhianatan mamanya dengan sang paman.
______
Ketika keluarga besar Kim dihancurkan oleh nafsu semata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caca Lavender, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Puncak Kegilaan
‼️Incest ; Kekerasan Seksual‼️
Hana berdiri sendirian di pojok ruangan sebelah sambil memandangi genangan air hujan yang masuk dari retakan atap. Tubuhnya bergidik, bukan karena dingin, tapi karena pikiran yang tak henti berputar. Tadi ... apa yang dilihatnya antara Jihoon dan Sumin bukan hanya kekerasan. Ada sesuatu yang lebih mengerikan. Sesuatu yang membuat isi perutnya mual.
Ia menggenggam ponsel di balik jaketnya. Diam-diam ia sudah menulis pesan darurat untuk polisi dengan lokasi terlampir. Tapi belum dikirim. Tangannya gemetar. Separuh dirinya ingin teguh pada tujuannya untuk mendapatkan Yewon, tapi separuh lainnya merasa Jihoon semakin mengerikan dan tidak aman untuk dirinya.
Jihoon masuk ke ruangan itu, “Sumin pingsan.”
Hana tersentak, lalu berbalik memandang Jihoon, “Jihoon, apa yang kamu lakukan barusan?”
Jihoon menatap Hana sebentar, lalu menjawab acuh, “memastikan dia tunduk.”
“Bukan itu,” desak Hana frustrasi, “kamu tahu maksudku. Apa-apaan yang aku lihat tadi?!”
Jihoon tertawa kecil, “kamu tidak melihat apapun, Sayang.”
“Dia anakmu, Jihoon! Anak kandungmu!” ucap Hana meninggikan suara, “apa kamu sadar betapa gilanya dirimu sekarang?”
“Sudah terlambat untuk sadar,” jawab Jihoon datar, “kalau kamu sudah tidak tahan, silakan pergi. Tapi jangan mengganggu rencanaku.”
Hana menatap Jihoon tidak percaya, “tapi tujuan kita? Jihoon, tujuan kita adalah untuk hidup bersama Sunghan dan Yewon! Sadar, Jihoon!”
“Cukup, Hana! Aku hanya ingin kembali bersama anakku!” bentak Jihoon.
Hana menggeleng dengan tatapan horor, “kamu melenceng, Jihoon! Kamu bilang kalau kamu mencintaiku! Sekarang kamu melepaskanku dengan mudah demi nafsu bejatmu?!”
Jihoon tertawa lemah, “aku sudah kehilangan semuanya, Hana. Daripada memperjuangkan Sunghan yang digenggam erat oleh Yujin, aku memilih untuk menggenggam Sumin. Aku tidak mau kehilangan lagi.”
Hana mencengkeram ponsel dalam saku. Hatinya sakit.
“Oke, kalau itu mau kamu. Aku pergi. Aku muak dengan tingkah kotormu,” sentak Hana lalu keluar. Ia pura-pura masuk ke mobil, lalu diam-diam menekan tombol kirim pesan darurat ke polisi.
...----------------...
Di kantor kepolisian, seorang petugas mendekati perwira jaga, “kita mendapat sinyal lokasi dari nomor yang terdaftar atas nama Seo Hana. Dia memberi titik koordinat. Di gudang kosong pinggir kota.”
Beberapa menit kemudian, Jisung dan Yujin sudah berada di mobil dinas polisi. Yujin mengenakan jaket panjang, wajahnya tegang, dan matanya bengkak karena kurang tidur.
“Biarkan aku ikut,” pinta Yujin keras.
“Nyonya Song, ini situasi berbahaya. Kami tidak tahu kondisi pelaku atau korban,” ujar salah satu petugas.
“Aku ibunya Sumin,” sahut Yujin dengan suara tinggi sambil menatap petugas itu lurus, “dan jika sesuatu terjadi padanya, aku tidak akan memaafkan siapa pun.”
Akhirnya, mereka membiarkannya ikut dengan syarat tetap di mobil saat penggerebekan. Mereka pun segera menuju Lokasi yang dikirimkan Hana. Tidak lama kemudian, mobil berhenti di dekat gudang yang ditandai. Polisi langsung masuk. Di dalam, hanya ada Hana yang duduk di lantai dengan wajah penuh lebam dan tubuh gemetar.
“Dimana Sumin?” bentak Jisung.
Hana mengangkat wajah dengan mata merah, “Jihoon membawa Sumin pergi. Beberapa menit sebelum kalian datang.”
Yujin masuk dengan napas tercekat, “dimana anakku?!”
Hana menunduk, “aku ... aku mencoba menghentikannya. Tapi dia ... dia berubah mengerikan dan menghajarku. Aku tidak tahu dia bisa sekejam itu.”
“Ke mana mereka pergi?” desak Jisung.
Hana menggeleng lemah, “dia tidak bilang apapun.”
Polisi langsung menyisir daerah sekitar dan memeriksa CCTV di jalan-jalan kecil. Tim lainnya membawa Hana ke kantor polisi untuk interogasi dan perawatan luka.
...----------------...
Sementara itu, Jihoon mengebut di jalan desa terpencil. Di kursi belakang, Sumin masih pingsan, tangan dan kakinya diikat. Wajahnya bengkak dengan bibir sobek.
Mobil itu berhenti di sebuah rumah tua di tengah ladang. Bekas tempat istirahat kakek Jihoon yang sudah lama kosong. Jihoon menggendong Sumin masuk, lalu melempar tubuh lemas gadis itu ke kasur tua yang berdebu, lalu melepas ikatannya.
Beberapa menit kemudian, Sumin terbangun dengan rasa perih di sekujur tubuh. Ia meringis saat mencoba bergerak. Cahaya bulan masuk dari jendela pecah. Di sudut ruangan, Jihoon duduk dengan bertelanjang dada sambil merokok.
“Akhirnya bangun juga,” gumam Jihoon, “tempat ini dulu rumah mainmu waktu kamu ikut papa ke ladang kakek, ingat?”
Sumin mencoba duduk saat menyadari tangan dan kakinya sudah tidak diikat, tapi tubuhnya terlalu lemah.
Jihoon mendekat membuat Sumin membeku. Ia masih ingat perbuatan tidak senonoh papanya beberapa waktu yang lalu. Jihoon hanya diam saat duduk di sisi ranjang.
“Kamu sudah buat papa kecewa, Sayang. Tapi papa masih memberimu kesempatan,” ucap Jihoon, lalu menghisap rokok lagi.
Sumin menoleh pelan, wajahnya penuh luka, “lepaskan aku. Aku mau pulang.”
“Pulang? Tenang, Sayang. Papa akan mencari tempat tinggal baru untuk kita,” ucap Jihoon sambil tersenyum manis yang tampak mengerikan di mata Sumin, “sekarang hanya ada kita berdua. Papa dan putri kesayangan papa.”
Jihoon membuang puntung rokok ke lantai, lalu menginjaknya hingga apinya padam. Ia pun mendekat dan merangkak di atas tubuh Sumin. Sumin memalingkan wajah tidak ingin menatap dada telanjang Jihoon yang berada di atasnya. Tangannya juga tidak tahu harus melawan bagaimana.
Bibir Jihoon kembali mendarat pada leher jenjang Sumin. Sepertinya ia kecanduan menghirup aroma alami tubuh Sumin. Tangannya mulai meraba pinggang ramping Sumin, lalu naik ke atas hingga menyentuh ketiak. Hal itu membuat Sumin gemetar dan refleks menahan bisep Jihoon.
“Papa…” rintih Sumin.
“Iya, Sayang. Papa di sini,” bisik Jihoon sambil menciumi tulang selangka Sumin.
Tangan Jihoon beralih untuk membuka kancing seragam Sumin. Bola mata Sumin melebar karena panik, ia pun langsung berusaha menahan telapak tangan Jihoon.
“Jangan,” cicit Sumin.
Jihoon hanya mendengus, lalu menyingkirkan tangan Sumin. Ia kembali berusaha membuka kancing satu per satu. Sumin yang tidak mau menyerah tetap memberontak. Jihoon yang kesal langsung menampar pipi Sumin. Dengan gerakan cepat, Jihoon merobek seragam Sumin hingga kancingnya lepas berjatuhan. Tangisan Sumin semakin terdengar pilu saat merasakan wajah Jihoon tenggalam di belahan payudaranya yang tertutup bra.
“Hentikan. Cukup! Hiks, lepaskan!” teriak Sumin sambil memukuli kepala Jihoon dan kakinya menggeliat berusaha menendang.
Jihoon kembali menampar pipi Sumin berkali-kali, lalu membalik tubuh Sumin hingga tengkurap. Kedua lengannya ditahan ke belakang punggung. Jihoon mengabaikan teriakan Sumin yang meronta minta dilepas. Dengan satu tangan, ia menurunkan resleting celana dan mengeluarkan batang penisnya yang sudah tegang. Setelah itu, ia menyingkap rok seragam Sumin, lalu menurunkan dalaman gadis itu.
“AAAKKHHH!!!!”
Malam itu, di tengah ladang kosong yang jauh dari pemukiman warga, teriakan melengking penuh kesakitan Sumin mengudara. Bahkan hewan-hewan malam pun terdiam seolah meratapi rasa sakit yang diterima oleh Sumin. Sesuatu yang berharga untuknya direnggut oleh papanya sendiri.
...🥀🥀🥀🥀🥀...