"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Pelita dalam Kegelapan
Malam menggantung di langit Batupute seperti tirai hitam yang tak kunjung tersingkap. Namun di tengah kegelapan itu, nyala-nyala kecil dari lampu minyak di Pondok Tahfidz Ummu Nafizah tampak seperti bintang yang menolak padam. Suasana pondok masih diselimuti ketegangan sejak peristiwa penculikan santri dan hilangnya kitab kuno. Namun satu hal yang tidak berubah adalah keteguhan hati para penghuninya.
Aisyah duduk bersandar di pembaringan, wajahnya masih pucat namun matanya tidak kehilangan cahaya. Tangannya menggenggam erat selembar surat yang baru diterimanya. Surat tanpa nama pengirim, hanya ditulis tangan dengan tinta merah: “Kembalikan apa yang bukan milikmu, atau semuanya akan hancur.”
Khaerul membaca surat itu dengan rahang mengeras. “Mereka pikir kita bisa diintimidasi... mereka salah besar.”
Ustadz Rahman mengetuk pintu, masuk dengan wajah tegang. “Saya baru dapat kabar. Seorang warga menemukan Naufal di bawah jembatan tua dekat hutan tepi pantai. Ia hidup... tapi lemah. Dan... ia tak bisa bicara.”
Aisyah langsung bangkit, tubuhnya gemetar. “Alhamdulillah... Dia selamat. Tapi kenapa tak bisa bicara?”
“Trauma,” jawab Ustadz Rahman. “Atau... sesuatu yang lebih dari sekadar trauma. Mungkin... ada yang menutup lisannya dengan kekuatan yang tak terlihat.”
Segera, mereka membawa Naufal ke pondok. Air mata para santri mengalir melihat teman mereka kembali, meski dalam kondisi memprihatinkan. Saat Aisyah memeluknya, bocah itu menangis tanpa suara. Namun dari sorot matanya, tampak jelas bahwa ia membawa rahasia besar.
Malam itu, Aisyah bermimpi. Ia berada di dalam gua Pantai Lasonrai, bersama seorang lelaki tua berjubah putih yang wajahnya bersinar. Lelaki itu menatapnya lembut dan berkata, “Waktu semakin dekat. Cahaya itu harus dijaga. Tapi musuh bukan hanya manusia. Ia datang dari jalur darah yang tak pernah kau kenal.”
Keesokan paginya, Aisyah terbangun dengan peluh dingin. Ia tahu... ini bukan mimpi biasa. Ada pesan yang harus segera dicari jawabannya.
Sementara itu, masyarakat mulai terbagi. Sebagian menuduh pondok sebagai pusat aliran sesat karena kitab tua yang tak wajar itu, sebagian lagi bersatu membela kebenaran yang mereka rasakan dari ketulusan Aisyah dan Khaerul.
Pak Samad, yang lama tak tampak, muncul kembali. Kali ini di tengah kerumunan warga, dengan wajah yang dibuat sendu. Ia bersumpah di hadapan orang banyak bahwa ia bukan dalang di balik penculikan.
Namun Aisyah tidak yakin. Ada sesuatu dalam sorot mata lelaki tua itu yang menyiratkan lebih dari sekadar kebohongan. Seperti tumpukan dusta yang nyaris runtuh oleh kenyataan.
Di malam hari, ketika para santri sudah terlelap, Khaerul mengajak Aisyah ke ruang belakang, tempat kitab-kitab tua biasa disimpan. Ia menunjukkan sesuatu.
“Lihat ini,” katanya, menunjuk sebuah catatan kecil yang ditemukan di saku jubah Naufal. Isinya peta, dan simbol yang pernah Aisyah lihat di dalam kitab yang hilang.
“Mereka mencari sesuatu yang lebih besar dari sekadar kitab,” ucap Khaerul. “Kitab itu hanya kunci. Gerbangnya ada di suatu tempat... dan mungkin hanya kamu yang bisa membukanya.”
Aisyah menatap peta itu dengan dada berdegup kencang. Ia tahu... tak ada jalan kembali. Jalan di depan akan gelap, terjal, dan penuh duri. Tapi ia tidak sendiri. Ada cahaya iman, ada cinta Khaerul, ada suara para santri yang tak henti melafazkan ayat-ayat suci. Dan itu cukup untuk melangkah.
Perjalanan menuju kebenaran belum selesai. Tapi pintunya sudah terbuka.
Langit di atas Pantai Lasonrai tampak menggantung rendah, dihiasi awan kelabu yang perlahan menyelimuti mentari. Ombak tak lagi sekadar riak; mereka menghantam tebing dengan gelegar yang seolah menirukan deru dada Aisyah. Di atas pasir putih yang dingin, ia berdiri bersama Khaerul, memandangi gua yang tak pernah mereka bayangkan menyimpan lembaran terakhir dari misteri yang selama ini mereka susuri.
"Apa menurutmu... ini benar-benar akhir dari semuanya?" tanya Aisyah pelan, suaranya tenggelam di antara desir angin dan deru laut.
Khaerul menggenggam tangannya, merasakan dingin kulit Aisyah yang seolah membawa beban semesta. "Atau mungkin awal dari sesuatu yang lebih besar."
Tak lama, para santri dan warga Pondok Tahfidz Ummu Nafizah tiba dengan wajah cemas. Mereka baru saja melewati malam penuh keresahan setelah kabar tentang penculikan yang gagal itu mengguncang seluruh desa. Identitas penculik telah terungkap: orang suruhan Pak Samad, yang ternyata memiliki koneksi ke kelompok gelap yang sejak lama ingin menguasai tanah wakaf pondok.
Namun, kegagalan penculikan itu tak menghentikan badai. Sebaliknya, ia membawa rentetan ancaman baru.
"Buya Khaerul, kami temukan ini di kamar tamu pondok," kata Ustaz Marwan sambil menyerahkan sepucuk surat lusuh. Di dalamnya, tertulis ancaman halus namun menyiratkan kekerasan. Nama Aisyah disebut secara langsung.
"Mereka belum selesai..." bisik Khaerul. "Dan mereka tahu kekuatan kita adalah keimanan yang tak bisa mereka sentuh. Tapi mereka akan terus mencoba menghancurkan kita dengan cara-cara yang tak terlihat."
Aisyah mulai merasakan tekanan itu pada tubuhnya. Luka pasca melahirkan belum sepenuhnya pulih. Tubuhnya kerap menggigil di malam hari. Sakit yang tak jelas, nyeri yang berpindah-pindah, dan perasaan lelah yang tidak masuk akal mulai merongrong semangatnya.
"Ini bukan hanya karena fisik," ucap Nenek Fatimah, salah satu warga sepuh yang dikenal dengan kekuatan doanya. "Aisyah, ada yang ingin menjauhkanmu dari cahaya. Kita harus perkuat zikir dan doa. Semua santri akan kumpul malam ini untuk munajat bersama."
Di malam itu, halaman pondok diterangi lentera kecil dan gemuruh doa. Suara tangis, lantunan ayat, dan rintihan dari para santri menciptakan simfoni langit yang mengguncang bumi. Aisyah, meski lemah, duduk di tengah lingkaran zikir. Matanya terpejam, namun jiwanya melayang dalam ketenangan yang tak bisa dijelaskan.
Tiba-tiba, salah satu santri muda bernama Fatih berteriak.
"Aku melihat... cahaya di gua! Cahaya yang seperti wajah almarhum Ustaz Thalib!"
Semua menoleh. Gua Lasonrai memancarkan cahaya samar. Tanpa pikir panjang, Khaerul dan dua santri dewasa berlari ke sana. Di dalam, mereka menemukan batu nisan tua yang baru terbuka. Di bawahnya, sebuah kitab berbalut kain hitam tergeletak.
Kitab itu... bertuliskan huruf Arab Gundul dengan tinta emas: "Waratsatul Anbiya: Amanah Ulama Akhir Zaman".
"Ini... ini yang disebut dalam catatan tua Mahfudz," gumam Khaerul.
Kembali ke pondok, kitab itu dibacakan perlahan. Isinya bukan hanya pedoman dakwah, tapi juga peta akhlak, nasab para ulama sejati, dan kutukan bagi mereka yang menyalahgunakan ilmu untuk kekuasaan. Nama Pak Samad dan keluarganya muncul sebagai pihak yang sejak generasi dahulu memutuskan diri dari garis amanah itu.
Konflik kini memasuki babak akhir. Cahaya dan gelap bukan lagi sekadar simbol. Mereka telah menjadi wujud nyata yang berperang dalam ruang kehidupan Aisyah dan Khaerul. Dan di tengah badai itu, mereka memilih untuk berdiri tegak.
"Kita tidak bisa mundur," ucap Aisyah, kali ini dengan suara yang meski lirih namun membawa langit di dadanya. "Kita bukan siapa-siapa, tapi kita punya Allah yang tak pernah pergi."
Di kejauhan, angin laut membawa harapan baru. Bab ini belum usai. Tapi cahaya fajar mulai tampak di ufuk.
Malam semakin larut, namun denyut kehidupan di Pondok Tahfidz Ummu Nafizah justru semakin terasa. Setelah kejadian penculikan yang membuat banyak pihak syok, suasana pondok berubah menjadi ladang waspada. Mata-mata tajam para pengasuh dan santri senior tak lagi mengenal istirahat malam. Doa-doa tak henti dilangitkan, dari bibir-bibir para santri yang belum kering dari hafalan. Namun, ketegangan semakin memuncak.
Di sebuah ruangan yang dulu digunakan untuk menyimpan kitab-kitab tua, Aisyah dan Khaerul kembali menggali petunjuk-petunjuk yang berserakan. Di sela-sela lembaran kitab yang hampir hancur dimakan usia, Aisyah menemukan sobekan tulisan tangan yang ditandatangani oleh Mahfudz bin Ibrahim. Nama yang sama dengan yang mereka temukan di catatan silsilah keluarga dulu. Namun kali ini, ia menyebut sebuah lokasi: "Gua Lasonrai, pelindung cahaya, penyegel bayangan."
Khaerul membaca kalimat itu berulang kali. "Ini bukan sekadar gua biasa. Gua Lasonrai... adalah tempat disimpannya sesuatu yang selama ini dijaga oleh keturunan Mahfudz. Dan mungkin, alasan kegaduhan semua ini berakar dari situ."
Aisyah memandangi perutnya yang masih terasa sakit pasca melahirkan, namun ia menolak untuk menjadi lemah. "Kita harus ke sana. Jika yang mereka cari adalah sesuatu dari gua itu, kita tak bisa hanya menunggu."
Namun sebelum mereka sempat bertindak, berita buruk datang: seorang tokoh masyarakat yang dikenal dekat dengan pondok, Haji Daeng Sikki, ditemukan tak sadarkan diri di pelataran masjid. Di tangannya tergenggam pecahan kitab kuno yang sama modelnya dengan yang ditemukan Aisyah.
"Ini bukan kebetulan," gumam Khaerul. "Seseorang mencoba menyingkirkan orang-orang yang tahu terlalu banyak."
Ketegangan di pondok semakin meningkat. Santri yang tadinya kembali tenang, mulai takut keluar malam. Para ustadzah bergilir berjaga. Namun di tengah kekacauan itu, Aisyah justru menunjukkan sisi kekuatan yang berbeda. Ia duduk lebih lama dalam sujudnya, lebih hening dalam tafakurnya. Dan dalam mimpinya, ia melihat siluet tua bersorban putih berdiri di depan pintu gua, menunjuk padanya sambil berkata, "Satu doa lagi, wahai keturunan cahaya."
Sementara itu, Pak Samad yang selama ini telah diam, mulai menunjukkan gelagat mencurigakan. Ia menghilang sejak penculikan terjadi. Desas-desus beredar bahwa ia terlihat mendekati orang-orang dari luar kampung yang dikenal keras dan punya catatan kelam.
Keesokan harinya, sebuah peristiwa mengejutkan kembali terjadi. Pondok Tahfidz Ummu Nafizah terbakar di salah satu sisi asrama santri putri. Beruntung api cepat dipadamkan, tapi kejadian itu menyisakan luka dan ketakutan mendalam.
Aisyah berdiri di depan para santri yang menangis dan ketakutan, suaranya tegas meski tubuhnya masih lemah. "Ini ujian dari Allah. Tidak akan ada cahaya tanpa kegelapan yang mencoba memadamkannya. Kalian di sini bukan sekadar untuk menghafal, tapi untuk menegakkan kalam-Nya dalam kehidupan nyata!"
Kata-kata itu menyulut semangat baru. Para santri mulai bersatu. Masyarakat yang awalnya takut, kini datang membawa bantuan. Ada yang membawa pasir, batu, makanan, bahkan tenaga untuk memperbaiki asrama yang rusak.
Namun Aisyah dan Khaerul tahu: ini belum akhir. Malam berikutnya, mereka bersiap menuju gua Lasonrai. Dalam dekapan sunyi malam dan bayangan bulan di laut, mereka menuju sumber dari semua misteri. Dengan mushaf di tangan dan hati yang tertambat pada Allah, mereka melangkah... menuju kebenaran yang selama ini tersembunyi dalam debu sejarah dan kelam manusia.
Langkah kaki mereka menyusuri lorong gua terasa seperti mengetuk dada bumi. Suara gemericik air dari celah batu bersahutan dengan detak jantung Aisyah yang kian cepat. Khaerul menggenggam erat tangannya, memastikan setiap langkah mereka tak tergelincir di bebatuan yang mulai licin oleh lembab dan lumut.
Di ujung lorong gua Lasonrai yang gelap, cahaya samar tampak menanti. Aisyah mendekat perlahan, dan di hadapannya tampak sebuah rak batu alami, dengan satu kotak kayu tua tergeletak di atasnya. Di sisi kotak, terukir kaligrafi Arab dengan tinta merah darah yang hampir pudar. Dalam kesunyian yang seolah abadi, Khaerul mengangkat kotak itu perlahan. Di dalamnya, ada kitab tua dengan halaman yang sudah menguning dan lembaran-lembaran kecil berisi simbol-simbol tak dikenal.
"Ini... kitab karangan Mahfudz bin Ibrahim," ucap Khaerul perlahan, suaranya bergetar.
Aisyah membuka lembar demi lembar. Di dalamnya bukan hanya petuah agama, tapi peta, silsilah, dan catatan-catatan tentang perpecahan dalam keluarga besar Mahfudz yang ternyata terkait erat dengan kekuatan spiritual dan kepemimpinan lokal zaman dahulu. Satu nama terus muncul: Samad bin Baharuddin. Sosok ini ternyata bukan hanya tokoh adat biasa—ia adalah penerus garis keturunan yang telah dibelokkan arah sejarahnya demi kekuasaan.
"Samad... dia tahu tentang kitab ini. Dan dia takut rahasia ini terbongkar," bisik Aisyah.
Di halaman terakhir, terdapat secarik surat yang ditujukan untuk "cucu perempuanku yang akan menemukan cahaya dari gelap yang tersimpan." Surat itu seperti pesan gaib yang menuntun Aisyah pada pemahaman baru bahwa keberadaannya bukan tanpa tujuan. Ia bukan sekadar penerus darah, tetapi juga cahaya dari warisan ilmu dan kebenaran yang sempat dikubur oleh kekuasaan.
Saat mereka keluar dari gua, udara terasa lebih berat, seolah dunia baru saja berubah. Namun sebelum mereka tiba kembali ke pondok, sebuah kabar mengguncang seluruh desa.
Seorang tokoh masyarakat, yang selama ini diam dan disegani, ditemukan pingsan tak sadarkan diri di depan gerbang Pondok Tahfidz Ummu Nafizah. Di tangannya tergenggam surat tanpa nama pengirim, bertuliskan: "Cahaya telah dibuka. Tapi bayangan masih menunggu."
Suasana mencekam. Aisyah memeluk kitab itu erat-erat di dadanya. Di balik semua pengungkapan, kini terbuka lembar baru—lebih gelap, lebih dalam. Rahasia mungkin telah tersingkap, tapi jawabannya malah menimbulkan pertanyaan baru yang lebih misterius.