Dalam dunia yang koyak oleh perang berkepanjangan, dua jiwa bertolak belakang dipertemukan oleh nasib.
Yoha adalah bayangan yang berjalan di antara api dan peluru-seorang prajurit yang kehilangan banyak hal, namun tetap berdiri karena dunia belum memberi ruang untuk jatuh. Ia membunuh bukan karena ia ingin, melainkan karena tidak ada jalan lain untuk melindungi apa yang tersisa.
Lena adalah tangan yang menolak membiarkan kematian menang. Sebagai dokter, ia merajut harapan dari serpihan luka dan darah, meyakini bahwa setiap nyawa pantas untuk diselamatkan-bahkan mereka yang sudah dianggap hilang.
Ketika takdir mempertemukan mereka, bukan cinta yang pertama kali lahir, melainkan konflik. Sebab bagaimana mungkin seorang penyembuh dan seorang pembunuh bisa memahami arti yang sama dari "perdamaian"?
Namun dunia ini tidak hitam putih. Dan kadang, luka terdalam hanya bisa dimengerti oleh mereka yang juga terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr_Dream111, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari kedua di tempat rahasia
Jam 7 pagi adalah saat dimana aku tersentak dari tidurku oleh suara yang begitu keras dan menggelegar di telinga. Itu bukanlah suara yang biasa kudengar, melainkan suara sirine peringatan yang begitu menakutkan. Sesaat aku merasa panik, membayangkan ada serangan mendadak, tapi ketika aku menoleh keluar jendela, yang tertangkap oleh mataku hanyalah barisan tentara yang tampak terlatih dan teratur dalam apel pagi mereka.
Aku merasa sedikit pusing karena suara berisik itu, sehingga dengan langkah lemas aku menuruni tangga. Setibanya di dapur, sebuah pemandangan yang menyenangkan menyambutku—seorang gadis cantik dengan rambut tergerai lembut mengenakan piyama yang tertutup apron sedang dengan tekun menata hidangan di atas meja makan.
Dengan senyum lembut yang menghiasi bibir merah mudanya, dia bertanya, " Apakah suara sirine tadi mengganggumu? "
" Apa ada serangan? " Tanyaku balik sambil mengucek mata.
Flerina melepaskan apronnya dengan gerakan anggun dan menuangkan cairan hitam berasap ke dalam cangkir yang telah disiapkannya. Di sela-sela aroma kopi yang menguar, ia menjelaskan, " Suara yang kau dengar itu adalah sirine rutin yang dirancang untuk membangunkan setiap penduduk di sini. Meskipun Varaya dikenal sebagai negara kejam dan tak berperasaan, mereka ingat bahwa disiplin dan efisiensi kerja adalah hal yang utama. Karena itulah, tepat pukul tujuh pagi, sirine itu bergema, memastikan semua orang bangun dan siap bekerja."
Aku mengangguk lalu segera duduk. " Begitu ya... "
" Cuci muka dan gosok gigimu dulu baru sarapan. " Sela Flerina mengangkat secangkir kopi yang hendak kuminum.
Aku kembali berdiri dan melangkah menuju kamar mandi dengan perasaan campur aduk antara kesal dan senang. Kekesalan melanda karena kopi hangat yang hampir kunikmati harus diangkat tiba-tiba, namun terselip perasaan senang mengingat bahwa setelah sekian tahun, akhirnya ada seseorang yang memperhatikan kebiasaanku saat bangun tidur dengan menyuruhku mencuci muka dan menggosok gigi—sesuatu yang biasanya ibuku dulu lakukan. Hal kecil ini, yang tak pernah lagi kudengar sejak kepergiannya, membawa secercah nostalgia dan kehangatan ke dalam hatiku.
Di kamar mandi semua peralatanya baru. Mulai dari sabun, pasta gigi, sikat gigi, bahkan handuknya masih baru semua. Di sela-sela cuci muka aku sempat bertanya ke Flerina apakah rumah ini baru ditempati tapi katanya tidak. Dia berkata barang di kamar mandi memang sengaja dibelikan untukku.
Setelah keluar dari kamar mandi, aku segera duduk di kursi meja makan dan mengamati hidangan yang tersaji di depanku. Ada sup sayuran yang tampak menggiurkan, roti, potongan daging yang lezat, dan yang paling mengejutkan—nasi. Siapa yang mengira bahwa di tempat ini aku akan menemukan makanan yang mengingatkanku pada saat-saat indah terakhir ketika aku masih tinggal di bukit Lurv, dimana nasi merupakan bagian tak terpisahkan dari santapan sehari-hari.
Tanpa ragu, aku menyantap setiap hidangan dengan penuh antusiasme. Rasa lezat dari makanan yang dimasak dengan penuh cinta oleh Flerina membuatku terkenang pada masa lalu. Tanpa sadar, air mataku mulai mengalir karena kombinasi rasa dan kenangan yang begitu mendalam. Setiap gigitan membawaku kembali ke masa ketika mendiang ibuku dengan penuh kasih menyiapkan makanan yang hampir identik dengan hidangan di depanku saat ini.
" Kenapa kau menangis? Apakah masakanku terlalu asin? " tanya Flerina dengan kekhawatiran yang terpancar jelas di wajahnya. Dia mengerutkan dahi dan menatapku dengan ekspresi sedih.
" Uhhuk... Uhhuk... "
Sial makanan enak ini membuatku tersedak saat ingin menjawab Flerina. " Makananmu enak. Hanya saja... "
Flerina sedikit memiringkan kepala, " Hanya saja? "
"Masakanmu benar-benar membuatku teringat pada mendiang ibuku. Rasanya khas dan penuh kenangan yang membuatku bernostalgia. Sudah sangat lama sejak terakhir kali aku menikmati makanan ini, dan sudah bertahun-tahun lamanya aku tidak mencicipi nasi." Jawabku seraya meneruskan menikmati hidangan tersebut dengan bersyukur.
Gadis itu tampak menawan dengan dagu yang ditopang kedua tangan, dan senyum manis di wajahnya. Tatapan hangatnya mengikuti setiap gerakanku saat aku tengah larut dalam menikmati hidangan yang telah disiapkannya.
"Aku senang kau menyukainya,"
Belum habis makananku, Flerina tiba-tiba meninggalkan meja makan dan pergi ke lantai 2. Beberapa menit kemudian dia turun memakai baju seragam hitam dengan rok hitam diatas lutut. Tidak lupa ia juga memakai jas putih layaknya dokter.
" Aku harus kembali ke lab sampai sore nanti. Hari ini kau di rumah saja dan hafalkan wajah-wajah orang terdekat Finny di buku yang kutaruh diatas meja kamar. " Pungkas Flerina sambil mengikat rambut.
" Apa perlu aku antar? " Tawarku.
Dia menggeleng sekali lagi diiringi senyum manis. " Labnya dekat dari sini kog. Lagian tempat ini penjagaannya ketat, tak mungkin ada penyusup selain kita. "
Aku mengangguk pelan sembari menata piring-piring di meja makan. " Kalau begitu hati-hati. "
" Emh..., " Angguknya yang diikutin langkah menuju pintu. " Sampai jumpa nanti. "
***
Mencuci piring dan merapikan rumah cukup menguras waktu setengah hari sendiri. Aku kembali ke kamar dan membaca buku yang dia siapkan. Buku tipis yang hanya berisi foto dan biodata orang-orang dekat dari Finny.
Melihat profil-profil orang di buku ini semuanya sama saja. Pencapaian militer mereka tidak ada yang heroik. Semua pencapaian mereka didapat dari membantai tawanan atau menghanguskan desa dan kota.
Dari semua kenalan Finny yang paling dekat adalah Robert Vouc. Seorang mayor yang sekarang bertugas di markas besar angkatan darat Varaya. Dia naik pangkat menjadi mayor setelah pasukanya berhasil menguasai kota penting di front timur. Selain itu tercatat juga di buku ini bahwa Vouc beserta pasukannya telah membunuh penduduk kota yang sebanyak 70 ribu orang. Bukan hanya itu, dia juga bertanggung jawab atas ribuan kasus pemerkosaan para tawanan. Dia salah satu orang paling dicari oleh intelejen kerajaan-kerjaan timur.
Karena buku ini tipis hanya butuh beberapa menit saja untuk menghafal. Aku juga membaca beberapa buku bacaan Flerina yang tergeletak di meja.
Mungkin membaca sudah jadi hobiku akhir-akhir ini terutama semenjak pergi ke perpusataan Ventbert untuk mencari petunjuk tentang obat Lena dulu.
Sesudah membaca, aku berniat mengembalikan buku-buku ke lemari samping pintu kamar.
Ketika aku membuka pintu lemari dan meletakkan buku di dalamnya, tiba-tiba sebuah buku lain jatuh tanpa sengaja. Dengan buru-buru, aku meraih buku tersebut dari lantai dan rasa ingin tahu mendorongku untuk membuka buku itu sejenak. Ternyata, buku itu adalah buku catatan milik Flerina. Buku ini memiliki ukuran yang cukup tebal, dengan banyak halaman yang masih kosong. Meskipun rasanya kurang sopan untuk membaca catatan pribadi seseorang, rasa penasaran tentang kehidupan dan kepribadian Flerina membuatku ingin mencari tahu lebih jauh tentang isi dari buku ini.
Demi misi, aku juga harus mengenalnya lebih jauh bukan? Dan mungkin buku ini dapat membantuku.
Aku duduk di ranjang lalu mulai membaca. Jemariku menyingkap halaman demi halaman sampai kutemukan sebuah foto yang menggelitik. Foto pernikahan antara Finny dan Flerina. Awalnya aku mengira dia sengaja menyimpan foto ini untuk menghormati mendiang Flerina yang asli dan Finny. Tetapi anggapanku salah kaprah setelah kubuka halaman selanjutnya.
Flerina adalah Flerina. Dia adalah anak dari seorang tentara Varaya berpangkat letnan dan ibunya adalah asli orang Magolia. Ayah Flerina menyembunyikan pernikahanya dengan ras bangsa lain yang saat itu menjadi budak sehingga dia harus menyembunyikan istri dan anaknya.
Flerina kecil hidup dalam persembunyian. Dia beserta keluarga tinggal di gubuk reyot di dalam hutan lebat. Setiap seminggu sekali sang ayah selalu pulang untuk menjenguk dan memberikan bahan makanan. Sesekali Flerina juga diajak keluar hutan untuk menikmati hiruk pikuk kota. Paras Flerina yang lebih dominan ras Varaya dengan rambut pirang dan mata hijau memudahkannya berbaur dengan penduduk asli.
Tetapi saat berumur 10 tahun, rahasia sang ayah terbongkar. Flerina dan orang tuanya menjadi buronan selama berminggu-minggu sampai akhirnya tertangkap di pelabuhan saat mereka hendak pergi ke benua selatan. Ayah Flerina dihukum gantung beberapa saat setelah penangkapan sementara ibunya diperkosa ramai-ramai oleh tentara Varaya di depan umum sebelum akhirnya diikat dan di tenggelamkan ke laut hidup-hidup.
Sementara Flerina saat itu juga nyaris menjadi korban pelecehan tetapi seorang agen Aklux berhasil membawa gadis itu lari ke kapal dagang yang akan berlayar ke selatan.
Di Aklux dia mendapat fasilitas pendidikan yang sangat baik. Dia lulus akademi di umur 13 tahun sebagai predikat siswa terbaik. Karena kepintarannya, dia direkrut oleh pihak kerajaan dan dilatih menjadi seorang agen khusus mengingat Aklux memang negara yang memiliki badan intelejen paling berbahaya di dunia.
Semua yang ada di buku cacatan Flerina membuatku terenyuh. Aku selalu berpikir bahwa hanya aku yang mengalami penderitaan terkejam semasa kecil tapi aku sadar, aku selalu menengok ke atas tanpa tau jika di bawahku ada orang yang masa kecilnya bernasib lebih menderita dariku.
Selain biodata dirinya sendiri, aku juga kaget ketika biodata diriku tertulis di sini. Bukan hanya data diri, tapi juga makanan kesukaanku bahkan hal-hal yang kusuka dan tidak suka tercatat secara detail di sini. Tetapi ketika kubaca ulang, dia tidak tahu tentang trauma yang kualami sekarang. Hampir semua kegiatanku di Vetnbert juga tertulis secara detail bahkan dia tau siapa keluarga angkatku termasuk Lena. Pantas saja dia tau tentang adikku itu.
Saat kubalik-balik tiap lembar, ada satu hal yang aneh di buku catatan ini. Meski terpampang foto pernikahan, tapi aku tidak membaca satupun catatan Flerina tentang pernikahannya. Hanya ada biodata dan resep-resep masakan.
" Bukankah tidak sopan melihat buku catatan orang lain? "
Aku tersentak saat asik membaca ternyata Flerina sudah berdiri di samping ranjang dengan pakaian basah kuyub. Saking asik membaca sampai aku tidak sadar hujan lebat sedang melanda.
" Flerina?! " Segera ku tutup buku itu dan melemparnya ke meja.
Aneh menurutku saat Flerina bukannya marah malah tersenyum sambil memungut bukunya itu. " Apa boleh buat kalau sudah dibaca lagian tidak ada yang spesial juga di buku. "
" Maaf aku membaca bukumu tanpa izin. " Aku memelas karena memang salah.
" Hmmm... Tidak apa-apa kog. " Jawabnya yang entah kenapa membuatku kesal.
Aku salah seharusnya dia memarahiku atau memberiku hukuman. Tapi yang kusaksikan sekarang justru sebaliknya, dia tersenyum hangat padaku.
Aku berdiri dan memejamkan mata dihadapan Flerina kemudian menyela, " Sebagai prajurit jika melakukan kesalahan maka wajib dihukum. "
" Kau ini... " Dia menghela nafas sekaligus melepas jubah putihnya, " baiklah sebagai hukumanmu, tolong kupas kentang di dapur lalu rebuskan air. Aku mau ganti baju dulu. "
Aku tidak habis fikir. Kata Gideon wanita akan sangat marah jika barang pribadinya diambil. Tapi mengapa gadis ini berbeda. Apa yang salah denganya? Dia dengan santai mengambil buku dan memberiku senyuman.
Sekilas ingatanku terbawa lagi ke masa lalu ketika aku menjatuhkan mangkuk tetapi ibu tidak marah dan memberiku senyuman. Gadis ini, tidak tau kenapa sudah berulang kali mengingatkanku pada ibu.
" Kenapa diam? Apa terlalu berat hukumannya? "
" Ehh... tidak. Baik aku akan melaksanakan tugasku. "
Aku langsung berlari ke bawah untuk menjalani hukuman dengan ratusan pertanyaan dalam otakku tentang gadis itu.
***
Ketika malam mulai menyelimuti, Flerina mengenakan kembali piyama tipis yang terbalut apron. Dia kemudian bergerak ke dapur, bersiap untuk memulai rutinitas memasaknya. Aku menawarkan bantuan beberapa kali, berharap bisa sedikit meringankan bebannya. Tetapi, dengan senyuman dan ketegasan yang tidak bisa ditolak, dia terus memaksaku untuk duduk santai. Bahkan, dia tidak membuatkan secangkir teh hangat untukku agar tetap diam.
Menyesap teh hangat di antara suasana yang sejuk dan menenangkan ini, pikiran pun rasanya mulai melayang, kehilangan fokus dan arah. Tidak bisa dipungkiri, mataku sering tertuju pada Flerina yang tampak cekatan dan penuh konsentrasi dalam aktivitas memasaknya. Seolah ada sebuah magnet yang menarik bola mata ini agar senantiasa mencuri pandang, mengikuti setiap gerakan lincahnya dengan penuh rasa ingin tahu.
Aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku, terutama ketika aku bersama Flerina. Saat bersama Lena, aku merasakan getaran hebat di dadaku, jantung yang berdebar kencang, dan keinginan yang kuat untuk selalu berada di dekatnya. Ada sedikit rasa kesal yang muncul ketika melihat Lena didekati orang lain. Namun, perasaanku terhadap Flerina berbeda jauh. Meski baru dua hari mengenalnya, dia berhasil menciptakan suasana yang begitu nyaman dan tenang, seolah-olah dia sudah menjadi bagian dari hidupku sejak lama. Kepribadian dan perilakunya selalu mengingatkanku akan sosok ibu, yang membuat perasaan kedekatan ini begitu alami dan menenangkan.
" Mulai besok aku harus menginap di lab selama tiga hari. Kuharap kau bisa memasak sendiri dan untuk bahan makanan jangan risau karena setiap pagi ada orang yang akan memberikan bahan makanan di depan pintu. " Kata Flerina yang berjalan membawa nampan penuh piring dan mangkuk.
Memang benar di sini pagi tadi ada orang membawa sayur, buah, dan daging yang diletakkan di depan pintu rumah sebelah. Meski Varaya biadab tetapi mereka benar-benar menjaga kesehatan para penduduknya terutama yang berguna pada perkembangan teknologi negara.
" Kalau tidak salah misimu menghancurkan senjata itu bukan? "
" Ya... Aku satu-satunya orang asing yang berhasil mendapat akses masuk ke sana dan setiap hari aku harus mencari cara mengakali rancangan senjata itu agar terjadi kesalahan lalu medelak di tempat. Tinggal menunggu waktu saja. "
" Menunggu pencipta senjata terbunuhkah? "
" Mungkin butuh waktu satu tahun lagi. Tidak mungkin kau bisa langsung membunuhnya di musim gugur. "
Kami berdua menikmati makan malam sambil mengobrol asik agar lebih saling mengenal. Kami bertukar cerita dan pengalaman. Hebatnya, Flerina sendiri sudah tau banyak hal tentangku bahkan identitas asliku sebagai anggota klan Akaichi terakhir sekaligus kapten pasukan Faks.
Sesekali dia juga membuat guyonan yang membuatku bisa tersenyum kecil beberapa saat. Semenjak kepergian kapten Alvar, sangat sulit bagiku untuk senyum bahkan tertawa. Dan ini kali pertamaku bisa tersenyum lagi.
Di sela makan, aku teringat tentang foto pernikahan Flerina dan menanyakan pada orangnya langsung. " Flerina aku melihat foto pernikahanmu, tapi kenapa tidak ada catatan tentang pernikahan itu? "
Flerina lagi-lagi senyum selagi mengunyah makanan di mulut lalu menjawab, " Pernikahan itu adalah misi. Wajar tak kutulis. "
" Bisa kau ceritakan? " Pintaku saking penasaran.
" Sebenarnya misiku di sini hanya sebagai mata-mata biasa di ibukota. Tau sendirikan aku punya darah Varaya jadi memudahkanku menyamar. Awalnya aku menjadi seorang pengajar di sekolah dasar sampai setelah penarikan beberapa resimen pasukan Varaya dari front timur aku bertemu dengan Finny yang baru pulang. Kami berkenalan lalu kencan dan kedekatan kami kebetulan bersamaan dengan pemecahan kode letak lab rahasia Varaya. Markas besar kemudian memerintahkanku untuk merayu Finny agar dia mau memasukanku ke sebuah tempat penelitian rahasia ini. "
" Lalu apa yang terjadi? "
" Kami menjadi kekasih selama beberapa bulan saja. Saat itu Finny yang seorang yatim piatu melamarku dan aku menyetujui dengan syarat dia membawaku ke sini. Kedekatanya dengan beberapa perwira tinggi membuatku berhasil memasuki tempat ini dan berkat kemampuanku dibidang ilmu pengetahuan, aku langsung direkrut dalam tim pembuatan senjata pemusnah itu. "
" Kalau begitu dimana Finny yang asli? Kudengar dari ratu kalau Finny dan Flerina tewas. "
" Itu informasi yang sengaja kami palsukan. Aku Flerina yang asli dan menikahi Finny di tempat ini. Kami merayakan pesta pernikahan kecil-kecilan saja. Dan saat malam pertama sesuai misi, aku menghabisinya. "
Glek...
Aku menelan ludah dalam-dalam mendengar cerita gadis ini. Walau terlihat manis dan penyabar dia ternyata orang yang sadis juga.
" Apa kau tidak merasa bersalah? Padahal kalian baru menikah. " Tanyaku kikuk.
Flerina pun menghela nafas. Dia seperti jengkel karena aku banyak tanya. " Aku sama sekali tidak suka atau cinta ke dia. Lagipula Finny adalah penjahat perang di front timur dan barat. Dia terlibat kasus perdagangan manusia, dan pemerkosaan. Orang seperti dia sudah menjadi incaran kerajaan kami sejak 100 orang Aklux yang berdagang di timur dibantai oleh pasukannya. "
Sekarang aku paham mengapa dia tak berbelas kasih dan membunuh begitu saja si Finny. " Lalu dimana kau menguburnya? Kulihat tempat ini ketat penjagaan? "
Flerina tersenyum lebar lalu menunjuk ke bawah meja dengan garpu yang ia pegang.
" Bawah sini? " Aku menengok ke bawah.
" Ya... Aku mengubur bedebah bejat itu di bawah meja makan kita. Sekarang mungkin sudah jadi tulang belulang hahaha... " Jelas Flerina dengan tawa puas. Dia sudah membayarkan kematian 100 penduduk Aklux.
" Kalian sudah berpisah pada hari pertama pernikahan. Bukankah banyak yang curiga? "
" Aku beralasan Finny diberi misi mendadak dari pusat dan akan pergi lama. Aku juga mengirim surat palsu ke markas tempat Finny. Memang banyak yang curiga akhir-akhir ini, tapi kecurigaan itu sekarang hilang karena kau datang. "
Menikmati makan malam sambil bercerita berdua ternyata memberikan pengalaman yang cukup menyenangkan. Aku pernah mengalami momen seperti ini dengan Lena. Kehadirannya yang ceria dan penuh kejutan membuatku sulit berkonsentrasi pada makanan di hadapanku, karena sikapnya yang selalu berhasil membuat jantungku berdebar-debar dengan tak menentu. Namun, suasana berbeda aku rasakan saat duduk bersama Flerina. Caranya berbicara dengan penuh perhatian, tatapan lembut di matanya, senyum yang tulus, dan tawa yang menyenangkan seakan mampu meluluhkan segala pikiran dan perasaanku, membuatku hanyut dalam suasana makan malam yang hanya diterangi oleh temaram cahaya dari nyala lilin yang bergetar pelan.
Ini terasa wajar bagiku, mungkin karena Flerina memang lebih tua dan lebih matang secara emosional dibandingkan diriku, sementara Lena masih berusia setahun lebih muda dariku. Meski sifat dasar mereka tidak terlalu jauh berbeda, efek yang mereka timbulkan pada hatiku dan pikiranku sangat kontras. Flerina membawa ketenangan dan kedalaman yang menenangkan, sementara Lena mempersembahkan keceriaan dan semangat yang menggugah.
30 menit kami makan malam, Flerina kemudian mengajakku ke ruang bawah tanah yang sempit dibawah dapur. Ruangan tanah ini hanya berisi meja dan alat komunikasi dengan kabel-kabel menjulur. Selain itu ada antena juga yang menembus sampai keluar.
Jadi ini ya alat komunikasi itu. Seumur-umur baru sekali ini aku melihat alat yang dikenal sebagai radio komunikasi.
Flerina menjelaskan dengan alat inilah dia mengirim informasi ke Aklux dengan kode morse. Aku sempat menanyakan tentang bagaimana dia bisa membawa alat kesini dan bagaimana alat ini menyala karena jelas-jelas setiap rumah tidak di aliri listrik. Sedangkan alat itu butuh pasokan listrik agar bisa menyala.
Dan ternyata setelah mendengar penjelasan Lena, dia merakit sendiri alat ini dengan komponen yang ia bawa secara terpisah. Selain itu, rumah-rumah di sini ada aliran listrik tapi terbatas karena semua energi listrik difokuskan ke lab rahasia. Listrik hanya akan dipasok ke rumah setiap 2 minggu sekali.
Flerina juga mengajariku cara menggunakan alat komunikasi. Walau tanpa listrik, dia menjelaskan fungsi setiap tombol dan alat-alat lain dan sayangnya aku tidak paham karena aku memang kurang tertarik dengan alat berbentuk kotak hitam besar dengan banyak tombol ini.
^^^To be continue.^^^