Arsyan Al Ghazali, seorang ustadz muda tampan, dikenal karena keteguhan imannya, kefasihannya dalam berdakwah, dan pesona yang membuat banyak wanita terpesona. Namun, ia tak pernah tergoda dengan pujian atau perhatian dari lawan jenis. Baginya, agama dan dakwah adalah prioritas utama.
Di sisi lain, Nayla Putri Adinata adalah gadis liar dari keluarga konglomerat yang gemar berpesta, bolos kuliah, dan menghabiskan malam di klub. Orang tuanya yang sudah lelah dengan tingkah Nayla akhirnya mengirimnya ke pesantren agar dia berubah. Namun, Nayla justru membuat onar di sana, bersikap kasar kepada para santri, dan berusaha melawan aturan.
Segalanya berubah ketika Nayla berhadapan dengan Al Ghazali, ustadz muda yang mengajarkan ilmu agama di pesantren tersebut. Awalnya, Nayla merasa jijik dengan semua aturan dan ceramahnya, tetapi pesona ketenangan serta ketegasan Al Ghazali justru membuatnya semakin penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mendadak Jadi Istri Ustadz
Pernikahan Nayla dan Ustadz Alghazali berlangsung sederhana, jauh dari kemewahan yang biasa Nayla lihat dalam pesta keluarga kaya.
Hanya ada beberapa orang penting di sana—ayah Nayla, Pak Kyai, para santri, dan beberapa keluarga dekat Ustadz Al. Tak ada dekorasi mewah, tak ada pesta besar, tak ada gaun mahal.
Nayla duduk di sudut ruangan, memakai gamis putih dan hijab yang membuatnya tampak berbeda. Bukan karena ia mau, tapi karena ini satu-satunya pilihan.
Saat ijab kabul diucapkan, hati Nayla terasa kosong.
"Aku benar-benar menikah dengan ustadz dingin ini?" pikirnya.
Sementara itu, Alghazali tetap tenang, wajahnya datar seperti biasanya. Setelah akad selesai, mereka hanya bersalaman dengan keluarga, lalu acara pun selesai begitu saja.
Tak ada senyum bahagia dari Nayla. Tak ada air mata haru.
Namun di dalam hatinya, ia berjanji, pernikahan ini tidak akan mengubah dirinya. Nayla tetap Nayla. Ia akan menjalani hidup dengan caranya sendiri, meski sekarang ia sudah sah menjadi istri seorang ustadz.
Pernikahan Nayla dan Ustadz Alghazali berlangsung sederhana, jauh dari kemewahan yang biasa Nayla lihat dalam pesta keluarga kaya.
Hanya ada beberapa orang penting di sana—ayah Nayla, Pak Kyai, para santri, dan beberapa keluarga dekat Ustadz Al. Tak ada dekorasi mewah, tak ada pesta besar, tak ada gaun mahal.
Nayla duduk di sudut ruangan, memakai gamis putih dan hijab yang membuatnya tampak berbeda. Bukan karena ia mau, tapi karena ini satu-satunya pilihan.
Saat ijab kabul diucapkan, hati Nayla terasa kosong.
"Aku benar-benar menikah dengan ustadz dingin ini?" pikirnya.
Sementara itu, Alghazali tetap tenang, wajahnya datar seperti biasanya. Setelah akad selesai, mereka hanya bersalaman dengan keluarga, lalu acara pun selesai begitu saja.
Tak ada senyum bahagia dari Nayla. Tak ada air mata haru.
Namun di dalam hatinya, ia berjanji, pernikahan ini tidak akan mengubah dirinya. Nayla tetap Nayla. Ia akan menjalani hidup dengan caranya sendiri, meski sekarang ia sudah sah menjadi istri seorang ustadz.
Setelah menikah, Nayla dan Alghazali pindah ke rumah sederhana di sebuah desa kecil.
Begitu sampai, mata Nayla membelalak. Rumah itu jauh dari bayangannya—kecil, dikelilingi sawah, tanpa AC, tanpa fasilitas mewah.
“ASTAGHFIRULLAH, Ini bukan rumah, ini kandang!” Nayla meradang, menatap Al ghazali dengan tatapan membunuh.
Al Ghazali tetap tenang, melepas pecinya dan menggulung lengan bajunya. “Mulai sekarang, inilah rumahmu.”
Nayla mengepalkan tangan. “Tidak! Aku mau tinggal di kota! Di apartemen! Aku tidak mau tinggal di tempat terpencil seperti ini!”
Alghazali menatapnya dingin. “Kau mau menikah dengan syaratmu, bukan? Aku sudah menepati bagianmu, sekarang kau harus menepati bagianmu.”
Nayla ingin menjerit frustasi. Ini benar-benar mimpi buruk!
Tanpa AC. Tanpa mall. Tanpa klub malam. Tanpa teman-temannya.
Hanya suara jangkrik, ayam berkokok, dan Ustadz Alghazali yang selalu memasang wajah datar itu.
"Aku harus cari cara untuk kabur dari sini!" pikirnya.
Perut Nayla mulai berbunyi keras. Lapar.
Dengan kesal, dia mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi pesan makanan. Tangannya cekatan memilih restoran termahal di kota.
Tapi begitu ia hendak menyelesaikan pesanan, layar ponselnya menampilkan tulisan: "Maaf, layanan tidak tersedia di lokasi Anda."
Mata Nayla membelalak.
“APA?! Kok nggak ada pengantaran?!”
Dia mencoba restoran lain. Tetap tidak bisa.
Dengan napas memburu, Nayla menatap Alghazali yang sedang membaca buku di sudut ruangan.
“Ustadz, di sini nggak ada Grab atau GoFood?” tanyanya dengan suara frustrasi.
Alghazali menatapnya datar. “Tidak.”
“Terus aku makan apa?! Aku nggak bisa masak!”
Alghazali menutup bukunya dengan tenang. “Di dapur ada beras, telur, dan sayuran. Masaklah.”
“Aku bilang aku nggak bisa masak!” Nayla berteriak, nyaris menangis.
Alghazali mengangkat bahu. “Kalau begitu, lapar saja.”
Nayla ingin melempar sesuatu! Dia tidak pernah mengalami hal seperti ini.
Di rumahnya, tinggal pencet tombol, makanan datang.
Di apartemen Reynaldi, ada koki pribadi.
Tapi di sini? Jangankan restoran, sinyal saja naik turun!
Dengan kesal, Nayla menatap dapur dengan penuh kebencian.
"Masa aku harus masak sendiri?"
Nayla menghela napas panjang saat melihat hasil masakannya.
Nasinya lembek seperti bubur, sementara telur dadarnya hitam gosong di beberapa bagian.
“Ya ampun… ini sih bencana.” Dia meringis menatap piringnya.
Meski begitu, dia membawa makanan itu ke meja dan menaruhnya di depan Alghazali.
“Makan, Ustadz.” Nada suaranya penuh tantangan.
Alghazali menatap makanan itu sejenak, lalu mengambil sendok tanpa banyak bicara.
Nayla mencibir. “Jangan harap aku akan masak lagi kalau kau berani mengeluh.”
Alghazali tetap diam, lalu menyuap nasi yang hampir seperti bubur itu ke mulutnya.
Begitu makanan menyentuh lidahnya, wajahnya sedikit berubah.
Nasinya terlalu lembek. Telurnya asin sekali. Bahkan bau gosongnya cukup menyengat.
Namun, tanpa mengubah ekspresinya, Alghazali tetap mengunyah dan menelan.
Nayla melipat tangan di dada. “Bagaimana? Tidak enak, kan?”
Alghazali menatapnya sebentar, lalu kembali menyuap nasi.
“Ini makanan. Bisa dimakan, berarti sudah cukup.”
Nayla melongo. “Hah? Serius?”
Alghazali mengambil satu suap lagi. Wajahnya tetap datar, tapi Nayla bisa melihat lehernya bergerak ketika menelan makanan itu dengan susah payah.
Nayla merasa aneh. Dia tahu makanannya tidak enak, tapi kenapa lelaki itu tetap memakannya?
Ada sesuatu dalam dirinya yang tiba-tiba terasa hangat.
Namun, dia segera mengabaikan perasaan itu.
“Terserah kau saja, Ustadz.” katanya, lalu beranjak pergi.
Di belakangnya, Alghazali masih melanjutkan makan dengan tenang.
Nayla berjalan keluar dari dapur, masih kesal karena makanan buatannya ternyata dimakan juga oleh Alghazali.
Namun, begitu matanya menangkap sosok yang baru keluar dari kamar mandi, napasnya langsung tercekat.
Alghazali berdiri di sana, hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Rambutnya masih basah, dan tetesan air mengalir turun di sepanjang dada bidangnya yang terlihat begitu kokoh.
Mata Nayla membulat.
Dia meneguk ludah tanpa sadar.
"Ya ampun… ternyata di balik jubah dan baju longgar itu…"
Pikirannya langsung kacau. Dia tidak menyangka bahwa lelaki yang selama ini dikiranya ‘ustadz kaku’ ternyata memiliki tubuh sekeren itu.
Alghazali menoleh ke arahnya, menyadari tatapan terkejut Nayla.
“Kenapa menatapku seperti itu?” tanyanya dengan suara tenang, tetapi tajam.
Nayla tersentak. Wajahnya langsung memerah, dan dia buru-buru membalikkan badan.
“T-Tidak! Kau itu… dasar tidak tahu malu! Kenapa keluar kamar hanya pakai handuk?!” serunya panik.
Alghazali menaikkan alisnya. “Ini rumahku juga. Kenapa aku harus malu?”
“TAPI AKU DI SINI, BODOH!” Nayla berteriak, masih dengan wajah merah padam.
Alghazali menghela napas, lalu berjalan santai ke kamarnya. “Kalau begitu, jangan lihat.”
Pintu kamar tertutup.
Nayla masih berdiri di tempatnya, jantungnya berdebar keras.
"Astaga… Ini tidak boleh terjadi…"
Dia menggeleng kuat-kuat, mencoba menyingkirkan bayangan yang baru saja tertanam di kepalanya.