Lanjutan dari Dokter Cantik Milik Ceo
Namanya Sahara Putri Baskara, ia adalah seorang dokter muda, memiliki paras cantik dan pesona yang begitu luar biasa. Namun sayang ia terpaksa harus menikah dengan mantan suami wanita yang sangat ia benci, demi membebaskan dirinya dari jerat hukum yang akan ia jalani.
"Kalau kau masih mau hidup bebas dan memakai jas putih mu itu maka kau harus menikah dengan ku!" ucap Brian dengan tegas pada wanita yang sudah menabrak dirinya.
"Tapi kita tidak saling mengenal tuan," kata Sasa berusaha bernegosiasi.
"Kalau begitu mari kita berkenalan," jawab Brian dengan santai.
Lalu bagaimanakah nasip pernikahan keduanya, Sasa setuju menikah dengan Brian karena takut di penjara. Sementara Brian menikahi Sasa hanya untuk menyelamatkan pernikahan mantan istrinya, karena Sasa menyukai suami dari mantan istrinya itu.
Hanya demi menebus kesalahannya, Brian mengambil resiko menikahi Sasa, wanita licik dan angkuh bahkan keduanya tak pernah saling mengenal.
---
21+
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IPAK MUNTHE, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 24
Jika biasanya Brian dan Sasa terlibat perselisihan atau pertengkaran, maka berbeda dengan malam ini. Malam ini Brian tidur sendiri, berulang kali ia mencoba memejamkan mata namun alam mimpi tak juga mendatanginya. Sesekali Brian melihat ke samping di mana biasanya Sasa lah yang tertidur lelap di sampingnya.
"CK......" Brian mendudukkan tubuhnya di ranjang dengan mengacak rambutnya, tak lama berselang ia turun dari ranjang dan memakai kaos oblong dengan jaket kulit mahal miliknya.
Kini Brian melangkahkan kaki keluar dari kamar, ia turun melalui tangga. Sampai di lantai satu Brian melihat kedua orang tuanya tengah duduk di sofa sambil menonton televisi. Namun karena keberadaan Brian kini Sindi beralih menatap Brian dengan pandangan tak suka.
"Bu, Brian keluar sebentar," pamit Brian.
Sindi memutar bola matanya dengan jenuh mendengar Brian yang berpamitan, "Bukan kah Ibu sudah bilang, kamu pergi dari rumah Ibu. Kenapa masih di sini?" kesal Sindi.
"Huuuufff," Brian menarik napas dan melangkah pergi tanpa menjawab perkataan Sindi.
"Kemarin enggak bisa jalan, sekarang bisa," teriak Sindi.
Brian mendengar apa yang di katakan oleh Sindi, namun ia hanya diam dan terus melanjutkan langkah kakinya.
Saat ini Brian menuju mobil, sesaat kemudian ia mengemudi hingga kini ia sampai di apartemen milik Sasa. Sejenak Brian berdiri terdiam di depan pintu tanpa berani menekan bell, sesekali ia menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan nya yang menunjukan pukul dua tengah malam. Hingga tidak terasa ternyata malam semakin larut, namun Brian masih setia berdiri di tempatnya padahal sudah dua jam ia berdiri di sana.
Namun beberapa saat kemudian ia berhasil masuk, tanpa menekan bell, entah apa yang di lakukan pria dingin itu hingga ia berhasil masuk tanpa ijin dari pemilik rumah. Bahkan dengan mudahnya ia menekan password apartemen milik Sasa. Brian melangkahkan kaki menuju kamar, melihat di mana ada Sasa yang tengah terbaring lelap. Lama Brian menatap wajah tenang Sasa yang terlihat begitu tenang, tak ada yang bisa di lakukan Brian selain menatap saja.
Sasa yang tengah terbaring lelap terlihat mulai bergerak, mata nya perlahan terbuka, ia merasa haus dan kini ia mendudukkan tubuhnya sambil merenggangkan otot-otot yang terasa kaku.
"Haus banget," tangan Sasa terulur ke samping, di mana ada meja dan gelas di atas meja tersebut. Dalam sekejam ia meneguk minuman itu hingga tandas, hingga rasa haus pun hilang. Saat ia akan membaringkan tubuhnya, matanya menangkap sesuatu. Seperti ada seseorang berdiri tidak jauh dari hadapannya. Sesaat Sasa merasa ia hanya berhalusinasi, namun semuanya terlihat begitu nyata.
"Gila, segitu bencinya gw sama Brian, dinding aja gw pikir suami gila dan nyebelin itu. Eh....bukan suami, tapi mantan. Jadi mantan l suami yang tak di inginkan aja masih menghantui, dasar Brian nggak guna," tutur Sasa sambil kemudian kembali menutup mata.
Brian yang mendengar perkataan Sasa hanya diam saja, entah apa yang di pikirkan oleh Brian. Bahkan wajahnya benar-benar tanpa ekpresi, dengan langkah pelan Brian mendekati Sasa dan menatap Sasa dengan lekat.
Sementara Sasa merasa semua begitu nyata bukan hanya halusinasi, akhinya rasa penasaran mengalahkan rasa kantuk. Hingga akhirnya Sasa memutuskan untuk membuka mata, antara percaya dan tidak tapi semua nyata hingga Sasa kini sangat yakin ada Brian di sana. Mata Sasa melebar sempurna, dengan mulut yang juga terbuka lebar.
"Mas......." Sasa tak bisa lagi berbicara, karena Brian Sudah menutup mulutnya dengan telapak tangan, "Mffff......" Sasa meronta-ronta minta di lepaskan, namun tenaga Sasa tak sebanding dengan tenaga Brian.
"Arg....." Brian dengan cepat melepas tangannya yang menutup mulut Sasa, sebab Sasa mengigitnya.
Saat Brian melepaskan kan dirinya, Sasa langsung turun dari ranjang dan menatap tajam Brian.
"Ngapain di sini, kita udah cerai!" ucap Sasa dengan tegas, tanpa ba bi bu.
"CK...." Brian masih menatap tangannya yang di gigit oleh Sasa, bahkan terlihat berbekas, "Dasar kucing liar," kata Brian.
Mendengar dirinya di sebut kucing liar tentu saja Sasa tidak bisa diam saja.
"Mas, ngapain di rumah aku? Terus gimana bisa Mas masuk?" Sasa yang kesal seketika menghujami Brian dengan pertanyaan.
Brian menatap Sasa, ia diam saja dan tak menjawab pertanyaan itu.
"Mas! Keluar dari kamar aku, keluar dari rumah aku!" Sasa semakin berteriak kesal, dengan tangannya yang menunjuk arah pintu.
"Sasa aku mau bicara," terdengar suara berat dan tertahan Brian.
"Keluar?" Sasa tak perduli, ia terus menunjuk arah pintu.
"Sasa Ibu sakit," kata Brian menjadikan Sindi sebagai alasan.
Mendengar kata Ibu di sebutkan Brian, Sasa menaikan sebelah alisnya. Seketika kepalanya mengingat tentang kemarin di masa Sindi membisikan sesuatu pada dirinya. Sasa mengerti ia mengangguk tidak ada salahnya mencoba pikir Sasa, lagi pula ia sangat menyayangi Sindi yang juga begitu menyayanginya waktu satu bulan pun yang di minta Sindi belum sampai.
"Mas nggak usah bohong," jawab Sasa.
"Sasa," Brian menjeda ucapannya dan menatap Sasa, sambil mempertimbangkan kata yang akan ia ucapkan, "Sasa, kita rujuk ya," dengan susah payah Brian mengucapkan kata rujuk, sungguh meminta bukan lah jiwa Brian. Merendah baginya adalah sesuatu yang hina.
"Jangan gila, keluar dari rumah ku!" Sasa masih menunjukan bertapa kerasnya ia, hingga ia terus saja mengusir Brian.
"Sasa."
"Nggak!"
"Sasa, demi Ibu," kata Brian dengan suara pelan namun masih terdengar di telinga Brian.
"Ibu?" lagi-lagi Sasa menatap Brian dengan pandangan menyelidik, ia dapat melihat kebohongan di wajah Brian.
Psikiater di kibulin, nggak salah?.
"Oh....Ibu?" Sasa mengulangi apa yang di katakan Brian, bahkan ia seolah mengejek. "Nggak, ngapain coba. Nikah kita aja bukan karena cinta, bukan karena sama-sama suka. Yang ada karena terpaksa, mau di bawa kemana pernikahan kita. Nggak usah rujuk-rujuk. Sana pergi," kesal Sasa.
"Kau mau rujuk tidak," Brian menarik Sasa ke atas ranjang dan menghimpitnya.
"Aaaaaa," teriak Sasa, yang shock karena kini ia sudah di dekapan Brian, "Lepas, kita sudah cerai," ucap Sasa mengingatkan.
"Rujuk atau habis kau sekarang!" kata Brian dengan suara beratnya.
"Mas ngomong apa sih?"
"Ayo rujuk."
"Rujuk-rujuk, rujak aja. Apaan sih main paksa-paksa," kesal Sasa meronta-ronta berusaha melepaskan diri.
"Sasa, kalau kau mau rujuk. Aku akan membatu bertemu dengan tuan Baskara dan Mama mu," kata Brian memberikan penawaran.
Sasa diam sejenak mendengar apa yang di katakan oleh Brian, kalau memang benar apa yang di katakan Brian ia mau saja. Karena ia sudah sangat merindukan kedua orang tuanya yang sudah beberapa hari tak pernah bertemu.
"Kalau kau tidak mau tuan Baskara bisa saja berpikir kalau kita berpisah karena kau yang tak memiliki akhlak baik," ucap Brian memberikan alasan lagi agar Sasa mau rujuk lagi dengan dirinya.
"Tapi...."
"Kalau kau tidak mau, kau tak akan kulepaskaskan," Brian semakin memeluk Sasa dengan kencang.
"Ih.....lepas...."
"Rujuk."
"Nggak!"
"Baiklah, kalau itu terjadi berarti kita berbuat dosa," kata Brian menakuti Sasa seolah ia akan melakukan hal yang jauh.
"Iya rujuk, tapi lepas!" Sasa mendorong Brian, sesaat setelah ia mengatakan itu.
"Kita rujukkan?"
Iya," kata Sasa dengan wajah cemberutnya.