Selama ini Tania hidup dalam peran yang ia ciptakan sendiri: istri yang sempurna, pendamping yang setia, dan wanita yang selalu ada di belakang suaminya. Ia rela menepi dari sorot lampu demi kesuksesan Dika, mengubur mimpinya menjadi seorang desainer perhiasan terkenal, memilih hidup sederhana menemaninya dari nol hingga mencapai puncak kesuksesan.
Namun, kesuksesan Dika merenggut kesetiaannya. Dika memilih wanita lain dan menganggap Tania sebagai "relik" masa lalu. Dunia yang dibangun bersama selama lima tahun hancur dalam sekejap.
Dika meremehkan Tania, ia pikir Tania hanya tahu cara mencintai. Ia lupa bahwa wanita yang mampu membangun seorang pria dari nol, juga mampu membangun kembali dirinya sendiri menjadi lebih tangguh—dan lebih berbahaya.
Tania tidak menangis. Ia tidak marah. Sebaliknya, ia merencanakan pembalasan.
Ikuti kisah Tania yang kembali ke dunia lamanya, menggunakan kecerdasan dan bakat yang selama ini tersembunyi, untuk melancarkan "Balas Dendam yang Dingin."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Di kamar tidur utama, Tania baru saja tiba di rumah setelah sengaja pulang terlambat. Aroma masakan dari dapur tercium samar, tapi perhatian Tania terfokus pada ponselnya. Dia merekam percakapan Dika dan Farah di kamar sebelah, senyum tipis terukir di bibirnya.
"Jadi Dika takut aku memergoki mereka di kamarku? Menarik," pikir Tania. Dia menyimpan rekaman itu, menyadari bahwa ketakutan Dika adalah kelemahan yang bisa dia manfaatkan.
Tania membersihkan diri dengan cepat, bersiap untuk turun ke meja makan, siap untuk babak baru sandiwaranya.
Di ruang makan, suasana terasa tegang. Dika, Farah, dan Ibu Dika sudah duduk di meja makan yang dihias minimalis. Ibu Dika, menjalankan perannya sebagai sekutu Tania, menatap Dika dan Farah dengan ekspresi tegas.
"Ibu, Tania mana? Kita makan duluan aja, deh," desak Dika, tidak sabar, perutnya sudah lapar, dan dia tidak ingin berlama-lama di dekat ibunya yang selalu mengomel.
"Sabar, Dika!" balas Ibu Dika, suaranya mengandung otoritas. "Tania baru pulang, dia lagi bersiap. Tunggu Tania sejenak, baru kita mulai makan malamnya. Tidak sopan makan duluan tanpa menunggu tuan rumah."
Farah mendengus kesal, menyilangkan tangannya di dada, wajahnya masam.
Dika menghela napas panjang, menatap ibunya dengan tatapan kesal, tapi tidak berani membantah lagi. Dia tahu ibunya tidak akan melunak. Mereka pun menunggu dalam keheningan yang canggung, menanti kedatangan Tania.
Langkah kaki terdengar menuruni tangga. Tania pun datang, kali ini dengan penampilan yang benar-benar berbeda. Tania tidak menggunakan gaun tidur seperti Farah waktu itu. Tania menggunakan dress santai, tapi dengan bagian atas yang terbuka. Leher indahnya dan punggung mulusnya terekspos. Tania memakai dress dengan belahan dada yang rendah. Rambutnya ditata bergelombang. Tania juga merias wajahnya dengan riasan yang tipis, tapi benar-benar sangat cantik, memancarkan aura berbeda dari biasanya.
Melihat hal tersebut, Dika langsung terpana. Dengan susah payah, Dika menelan air liurnya sendiri, matanya terpaku pada penampilan Tania. Ibu Dika tersenyum lebar melihat penampilan Tania, bangga akan menantunya. Sementara Farah, melihat tatapan Dika, menjadi kesal.
Tania berjalan dengan anggun dan duduk di samping Dika, gerakannya menarik kursi hingga duduk, benar-benar dibuat se anggun mungkin.
"Mas, kenapa ngelihatin aku segitunya?" Tania sengaja membuat gerakan menyentuh dadanya sendiri, menyorotkan perhatian Dika pada penampilannya. Dika yang fokus dengan penampilan Tania pun seperti orang yang linglung, tidak menyadari Tania bertanya kepadanya.
"Mas..." Tania menyadarkan Dika.
"Eh iya, kenapa, Sayang?" Dika beralih menatap wajah Tania, salah tingkah.
"Aku cocok nggak pakai baju kaya gini?"
"Cocok, Sayang, cocok banget," jawab Dika, suaranya sedikit serak. "Malam ini kamu cantik dan seksi, Mas suka."
"Oh ya? Makasih, yaa, atas pujiannya." Dengan gerakan anggun, Tania menarik wajah Dika dan mencium bibir Dika singkat di hadapan Farah juga ibunya. Melihat hal tersebut, Farah mengepalkan kedua tangannya di bawah meja, amarahnya memuncak.
"Makasih, ya, Mas, sudah puji aku," kata Tania tersenyum lebar, padahal di dalam hatinya Tania merasa jijik mencium Dika yang sudah mengkhianatinya.
Dika yang masih linglung karena dicium tiba-tiba oleh Tania hanya diam saja. Ia menyentuh bibirnya yang tadi dicium dengan lembut oleh Tania. Melihat sikap Dika yang terpana, Farah semakin kesal. Di bawah meja, Farah mencubit paha Dika dengan keras. Dika pun tersadar dari lamunannya.
Tania melihat wajah Dika yang meringis karena cubitan Farah, dan senyum tipis kepuasan terukir di bibirnya. Makan malam mereka pun dimulai, dipenuhi suasana tegang yang hanya bisa dirasakan oleh mereka berempat.
Di sela-sela makan, Farah, yang tidak tahan dengan kemenangan Tania, bersuara dengan nada sinis. "Kak Tania ternyata suka jilat ludah sendiri, ya?" sindir Farah, matanya melirik tajam ke arah Tania.
Tania tahu arah pembicaraan Farah, tapi dirinya berpura-pura tidak mengerti, memasang topeng polosnya. "Maksud kamu apa, Far?"
"Ya maksud saya," balas Farah, suaranya sedikit melengking karena kesal. "Kan waktu itu Kak Tania yang ngelarang saya untuk berpakaian terbuka, kenapa sekarang Kak Tania melakukan hal itu?!"
"Oh, itu," jawab Tania santai, pandangannya beralih dari piringnya ke wajah Farah yang memerah. "Ini kan rumah saya, Far, bebas dong saya mau ngapain aja. Saya mau telanjang juga nggak masalah, toh di dalam rumah ini kan nggak ada lelaki lain, cuma suami saya, iya kan, Mas?" Tania melirik Dika dengan tatapan menuntut jawaban.
Dika, yang merasa terpojok, menjawab dengan gelagapan. "Eh, iya, b-benar, Sayang."
"Lagian ya, saya begini untuk menyenangkan hati suami saya," lanjut Tania, suaranya tenang tapi penuh makna terselubung. "Saya juga berpenampilan kaya gini buat suami saya, wajar dong. Lha kamu berpenampilan seperti waktu itu, buat siapa? Kamu kan belum punya suami, Far, nggak mungkin dong buat menyenangkan suami saya, iya kan?!"
Farah terdiam seribu bahasa. Wajahnya semakin memerah, menyadari dirinya di skakmat oleh Tania di depan Dika dan Ibu Dika. Tania tersenyum penuh kemenangan, satu poin lagi untuknya.
Mereka kembali makan dalam keheningan yang mencekam, kali ini tidak ada lagi suara di antara mereka, hanya dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Farah pun tidak lagi banyak berbicara, wajahnya masih memerah karena malu dan amarah yang tertahan.
Tania memandang sejenak ke arah Dika dan juga Farah dengan ekor matanya. Dika tampak salah tingkah, sesekali melirik ke arah Tania, sementara Farah fokus pada makanannya, menghindari kontak mata. Tania pun tersenyum tipis, sebuah senyuman penuh kemenangan. Pertempuran kecil di meja makan malam ini, berhasil ia menangkan dengan elegan.
Setelah selesai makan, Tania berdiri dan seperti biasa ingin membantu Ibu Dika membereskan meja makan. Namun, Ibu Dika segera melarangnya.
"Nggak usah, Nak Tania," ujar Ibu Dika lembut. "Kamu dan Dika istirahat saja, pasti lelah habis kerja. Biar Ibu dan Farah yang membereskan bekas makan malam kita."
Dika, yang sebelumnya terpesona dan tidak bisa lagi menahan hasratnya melihat penampilan Tania, tersenyum puas mendengar usulan ibunya. Ia merangkul manja pinggang Tania.
"Terima kasih, Bu," balas Dika manja, nadanya penuh kepuasan. "Kami memang lelah sekali. Kalo gitu kami duluan istirahat, ya."
Dika merangkul Tania dan mengajaknya segera pergi dari ruang makan, benar-benar lupa akan keberadaan Farah yang berdiri mematung di sana. Farah menatap geram ke arah Dika, merasa dikhianati dan tersisih. Di saat bersamaan, Tania menoleh ke belakang, tepat sebelum Dika menariknya ke tangga, dan memberikan senyuman menyeringai ke Farah—sebuah senyum kemenangan yang dingin dan penuh makna.
Farah mengepalkan kedua tangannya.
Bersambung...