ini adalah perjalanan hidup clara sejak ia berumur 5 tahun membawanya bertemu pada cinta sejatinya sejak ia berada di bangku tk, dan reymon sosok pria yang akan membawa perubahan besar dalam hidup clara. namun perjalanan cinta mereka tidak berjalan dengan mulus, akankah cinta itu mempertemukan mereka kembali.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Spam Pink, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 24
Clara menatap layar ponselnya dengan napas pendek, jantung berdebar seperti ingin menerobos keluar dari dadanya. Ada 27 pesan dari Reymon, beberapa panggilan tak terjawab, dan satu pesan dari Dinda yang membuatnya memejamkan mata karena rasa bersalah.
Ia tahu Reymon pasti panik.
Tapi ia juga tahu… Reymon tidak akan pernah membayangkan apa yang sebenarnya terjadi hari itu.
Dengan tangan bergetar, Clara mengetik.
Clara:
Rey… maaf ya. Aku baru buka HP. Tadi aku sibuuuk banget… sumpah aku bahkan nggak sempat pegang HP. Maaf ya, Rey… jangan marah.
Pesan itu terkirim.
Hanya butuh lima detik sampai ponselnya bergetar.
Reymon:
Clara… kamu bikin aku takut setengah mati. Kamu nggak pernah kayak gini.
Clara menggigit bibir kuat-kuat.
Tentu Reymon benar. Ia tidak pernah menghilang seharian tanpa kabar.
Tapi apa yang harus ia katakan?
Bahwa Ares mengancam mempermalukan dirinya di depan mahasiswa satu kampus?
Bahwa mantan yang sudah lama ia tinggalkan itu kini mengikuti jejaknya, bahkan masuk kampus yang sama hanya untuk memaksanya kembali?
Clara menelan ludah.
Tak mungkin ia berkata itu.
Ia tidak ingin menambah beban Reymon yang sedang LDR dengannya.
Ia tidak ingin Reymon gelisah, marah, atau pulang ke kota hanya karena ingin melindunginya.
Ia juga… takut.
Takut Ares makin membabi-buta jika tahu Clara memberitahu orang lain.
Maka Clara mengetik pelan.
Clara:
Rey, maaf… tadi banyak tugas. Dosen kasih deadline mendadak. Aku terlalu fokus dan beneran lupa HP. Beneran… aku nggak maksud bikin kamu kepikiran.
Reymon membalas lebih pelan.
Reymon:
Iya… aku percaya kamu, Clar. Cuma… entah kenapa rasanya hari ini beda. Kamu… kayak ada yang kamu sembunyiin dari aku.
Clara terdiam.
Darahnya seperti berhenti mengalir.
Reymon selalu bisa membaca dirinya.
Selalu.
Tapi ia tidak boleh mengaku. Tidak sekarang.
Clara:
Aku cuma capek, Rey… nggak ada apa-apa. Aku janji.
Di layar terlihat Reymon mengetik cukup lama.
Clara sampai bisa merasakan ketidaktenangan dari jeda itu.
Lalu pesan itu muncul:
Reymon:
Oke… kalau kamu bilang nggak ada apa-apa, aku percaya. Tapi kalau suatu hari kamu capek… bilang aku ya. Jangan simpan sendiri.
Clara nyaris menangis.
Andai bisa… ia ingin memeluk Reymon saat itu juga dan mengatakan semuanya.
Tapi ketakutan menahan lidahnya.
Clara:
Iya Rey… aku janji.
Malam-Malam LDR
Hari-hari berikutnya, mereka kembali pada kebiasaan mereka: telepon malam hari.
Tertawa.
Cerita.
Godain satu sama lain.
Semua berjalan biasa… setidaknya, di mata Reymon.
Tapi tidak bagi Clara.
Di setiap tawa, ia menyembunyikan cemas.
Di setiap cerita, ia menyembunyikan bahaya.
Di setiap telepon dengan Reymon, ia menunggu… takut notifikasi Ares muncul lagi.
Dan malam itu, ketakutannya jadi nyata.
Mereka sedang telepon video. Reymon sedang bercerita soal latihan fisiknya di akademi.
“Aku tadi lari lima kilo, Clar,” kata Reymon sambil tertawa kecil. “Hampir mati aku. Kalau kamu ada di sini pasti kamu bilang aku lebay.”
Clara tersenyum kecil. “Ya memang kamu lebay.”
Reymon pura-pura marah. “Eh! Aku kan lagi curhat—”
Bip bip.
Notifikasi masuk.
Clara reflek menurunkan ponsel agar Reymon tidak melihat layar penuh.
Sebuah nama muncul.
Ares – Incoming Call
Dan belum sempat napas Clara stabil, pesan masuk bertubi-tubi.
Ares:
Angkat teleponnya, Clara.
Aku tahu kamu lagi di kos.
Jangan bikin aku dateng ke sana.
Angkat atau aku lakukan sekarang.
Clara gemetar.
Reymon di layar bertanya, “Clar? Kenapa diem?”
Clara memaksakan senyum. “E-eh, nggak… cuma—”
Ares menelepon lagi.
Ponsel Clara bergetar keras.
Clara panik.
Ia harus menutup telepon dengan Reymon.
Tapi bagaimana?
“Rey…” Clara mencoba menjaga suara agar tidak bergetar. “Nenek aku telpon. Aku… aku matiin dulu ya. Nanti aku telpon lagi.”
Reymon mengernyit. “Sekarang? Malam-malam gini?”
“Dia biasanya nanyain kabar… aku harus angkat.”
Reymon mengangguk pelan walau wajahnya terlihat bingung. “Oke. Telepon aku lagi nanti.”
Clara mematikan sambungan.
Begitu layar berganti ke tampilan awal, panggilan dari Ares masuk lagi.
Dengan tangan gemetar, ia mengangkat.
“Ha-halo…”
Suara Ares terdengar rendah namun tajam.
“Kemana aja kamu? Aku chat dari tadi.”
“Aku lagi… lagi sibuk,” jawab Clara hampir berbisik.
“Sibuk?”
Nada Ares naik.
“Kamu pikir aku nggak tahu kamu lagi telepon cowok itu?”
Clara membeku.
“Rey—” ia tak sempat menyelesaikan.
Ares tertawa pelan, namun dingin. “Clara… Clara… jangan paksa aku ngelakuin hal yang bikin kamu nyesel.”
Clara menggigit bibir, takut sekaligus muak.
“A-apa maunya kamu, Res?”
“Kita ketemu. Besok malam. Makan bareng.”
Clara terdiam lama. “Aku… aku nggak bisa.”
Ares mendesis. “Kalau kamu nggak datang… besok aku datang ke kampus kamu. Dan aku bakal permalukan kamu di depan semua orang.”
Clara merasa seluruh tubuhnya ditarik ke dalam jurang.
“Kenapa kamu ngelakuin ini?” Clara hampir menangis.
“Karena kamu milik aku, Clar.”
Suara Ares dingin, lebih dingin dari malam itu.
“Aku sudah masuk kampus kamu. Aku sudah ada di sini. Kamu nggak bakal kemana-mana.”
Clara memejamkan mata.
Bukan takut pada ancaman mempermalukan dirinya.
Tapi takut Reymon tahu dan merasa gagal melindunginya dari jauh.
Clara mengembus napas pelan. “Baik… aku datang.”
“Bagus.”
Ares menutup telepon.
Clara menatap layar ponselnya yang kembali gelap… dan akhirnya menangis dalam bisu.
Makan Malam yang Menyesakkan
Restoran itu sebenarnya indah, pencahayaan hangat, musik lembut. Tapi malam itu terasa seperti duduk di ruangan tertutup tanpa udara.
Ares duduk di depannya, wajahnya tersenyum… tapi matanya tidak.
“Clara,” katanya sambil menatap penuh obsesi. “Kamu makin cantik.”
Clara tidak membalas.
“Kok diam?”
Nada suaranya sedikit menyentuh sisi kasar yang Clara kenal.
“Aku cuma… capek.”
“Capek?”
Ares menyipitkan mata. “Atau kamu nggak mau ketemu aku?”
Clara memaksa tersenyum kecil. “Nggak gitu, Res.”
Tiba-tiba seorang mahasiswa pria lewat dan tanpa sengaja menyenggol kursi Clara.
“Maaf, Mbak!”
Clara mengangguk sopan. “Iya nggak apa-apa.”
Tapi Ares langsung berdiri dan menarik kerah baju pria itu.
“Lihat jalan kalau jalan!” bentaknya keras.
Semua orang menoleh.
“Res, jangan!” Clara berdiri dan menarik tangannya. “Sudah! Dia nggak sengaja!”
Ares menoleh padanya. Tatapannya… gelap.
Begitu gelapnya hingga Clara merasa napasnya tercekat.
Setelah beberapa detik yang menegangkan, Ares melepas pria itu dan duduk kembali.
Clara menunduk. Tangannya dingin.
“Kamu kayaknya nggak ikhlas makan sama aku,” kata Ares dingin.
“Aku… cuma capek.”
“Capek atau mikirin Reymon?”
Jantung Clara berhenti sejenak.
Ares menatap menusuk. “Aku lihat cara kamu liat HP. Kamu takut dia telepon, kan?”
Clara menggeleng cepat. “Nggak, bukan gitu—”
Ares memotong. “Kamu sayang dia?”
Clara terdiam.
Ares menyandarkan diri ke kursi, tersenyum… tapi penuh tekanan. “Jawab.”
Clara menatap meja, suaranya pecah. “Iya, aku sayang dia.”
Wajah Ares berubah seketika. Senyum itu hilang.
Tapi sebelum ia sempat meledak, Clara menambahkan pelan, “Makanya jangan bikin masalah, Res. Jangan ganggu aku… tolong.”
Ares memandangi Clara lama… sebelum akhirnya mengalihkan tatapan.
Telepon dari Reymon
Di perjalanan pulang, suasana mobil sunyi.
Ares menyetir dengan wajah gelap.
Clara memandang keluar jendela, berharap malam cepat berakhir.
Lalu…
Ponsel Clara berdering.
Nama yang muncul di layar membuat jantung Clara hampir berhenti.
Reymon Calling…
Panic merayap seperti gelombang besar.
Ares melihat layar ponsel itu.
Tatapannya langsung berubah tajam.
“Jawab,” katanya dingin. “Pengen lihat apa dia berani ngomong di depan aku.”
Clara panik, langsung mengambil ponselnya dan menekan tombol daya.
Layar mati.
Hening.
“Lowbat,” kata Clara pelan.
Ares menatapnya lama sebelum akhirnya fokus ke jalan lagi.
Clara menggenggam ponsel yang sudah mati erat-erat, berusaha menahan air mata.
Reymon Mulai Mencari
Di desa, Reymon duduk di tempat tidurnya sambil menatap layar ponsel.
Clara tidak mengangkat telepon.
Tidak membalas pesan.
Dan sebelumnya sudah menghilang seharian.
Ia merasa ada yang sangat salah.
Reymon akhirnya menghubungi Dinda lagi.
Menghubungi teman-teman Clara.
Bahkan menghubungi grup kelas Clara.
Tapi tidak ada jawaban pasti.
“Kemana Clara?”
Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya.
Seperti badai.
Clara Pulang
Begitu sampai rumah, Clara langsung masuk kamar dan menyalakan ponselnya cepat.
Puluhan pesan masuk.
Hampir semuanya dari Reymon.
Tangan Clara gemetar saat menekan kontak Reymon.
Nomornya berdering.
Sekali…
Dua kali…
Tiga kali…
Akhirnya terangkat.
“Clar?” suara Reymon langsung masuk, terdengar campuran khawatir dan lelah. “Kamu dimana aja? Kenapa HP kamu mati?”
Clara menghela napas dan berkata pelan,
“Rey… maaf. HP aku lowbat tadi. Aku lagi di luar ngerjain tugas.”
BERSAMBUNG........