Naina Simont, putri seorang Bangsawan bergelar Baron terpilih untuk menikahi Pangeran Kedua Xero Yamen.
Menikahi cinta pertamanya tak melulu membuat Naina menjadi bahagia, faktanya Pangeran kedua telah mempunyai wanita pujaan hatinya yang kini telah berstatus permaisuri, alias istri Kakaknya.
Bahkan saat Naina akhirnya mengandung dan mempunyai anak dengannya, sikap dingin Pangeran Xero tak meleleh. Pun saat Naina keguguran, suaminya lebih memilih menemani Calista, istri mendiang kakaknya yang tengah cidera.
Rumah tangganya diuji dan saatnya Naina harus memilih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Peri Bumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
“Naina!”
Xero menerobos pintu dan berlari menuju Naina. Kemudian, dia memeluk Naina sekuat tenaga, membenamkan hidungnya di dadanya dan mabuk karena aromanya. Lalu, dia berlutut dan meraih tangan Naina.
“Tuan Xero!? Apa yang sedang kamu lakukan?"
“Naina, maafkan aku! Aku sudah lama menyembunyikan sesuatu darimu.”
Diliputi perasaan campur aduk, Naina berdiri mematung
Dia ingin mengatakan, “Apa yang selama ini kamu sembunyikan?” Tapi mulut Naina diam membisu.
"Lihat ini."
Xero mengeluarkan kertas dari sakunya dan menyerahkannya kepada Naina. Itu seperti koran. Naina membacanya dengan seksama.
Situasi ini terlalu mendadak baginya. Otaknya susah mencerna. Setelah tiga tahun lamanya. Kenapa baru sekarang, disaat dia mau menyerah. Naina tahu situasi sulit juga dirasakan oleh Xero. Tapi apa gunanya itu semua.
-Andai saja semua itu diceritakan, Andai saja dia mau berbagi, Andai saja dia mempercayai dirinya. Semua hal sulit itu pasti tidak akan terjadi... Anak yang bahkan belum memiliki nama telah di renggutnya.
Kaki Naina Lemas, tapi Xero yang masih memegangi kakinya untuk berlutut seolah menyangganya agak tidak roboh.
Kenapa air mataku tidak mau keluar. Apakah dirinya terlalu syok, atau memang sebenarnya air matanya telah kering.
Sementara itu Xero masih memohon di kakinya.
"Bangunlah, tidak pantas bagi seorang raja untuk berlutut dan memohon. Terlebih untuk seorang seperti saya."
Naina akhirnya mengembalikan rasionalitasnya.
Tapi Xero masih berlutut, baginya seluruh ketidak bahagiaan Naina adalah dia penyebabnya . Akan lebih bagus kalau Naina sekarang marah, memukulnya atau mencoba menyakitinya. Tetapi diamnya Naina justru membuat Xero gusar.
"Bangunlah Yang Mulia!" Naina menyerukan kalimat tersebut lagi sembari menunduk dan mengangkat badan Xero. Akan tidak pantas jika ada pelayan yang lewat dan melihat kejadian tersebut.
"Apa yang berubah?" Naina ingin mengucapkan kata kata tersebut. Tapi ditahannya.
Naina membawa Xero duduk di sofa kamarnya. Saat Xero duduk, Naina yang hendak pergi untuk menyeduh teh sendiri tiba tiba di tahan Xero tangannya .
"Ah... Saya hendak menyeduh teh untuk Yang Mulia."
Xero menarik Naina lalu memeluknya. Naina masih berdiri, sedangkan Xero sudah membenamkan wajahnya di dada Naina.
Naina dengan sabar mengusap kepala Xero. Mungkin saat ini, dia hanya butuh di tenangkan. Lama sekali keintiman mereka sampai akhirnya Naina buka suara.
"Yang Mulia, tolong ijinkan saya untuk menyajikan makanan dan minuman. Bukankah Yang Mulia dari perjalanan jauh kemari?"
Setelah Naina mengatakan tersebut, pelukan Xero melonggar dan Naina undur diri.
Xero tentu saja masih gusar. Naina tak menjawab permohonan maafnya. Semuanya seperti hubungan formal dimana orang yang harus bersimpati saja.
Air mata yang mengalir semuanya hanya dari Xero semata. Ada yang salah, tapi dimana tempatnya .
***
Tak ada pelayan yang berani naik ke lantai 2, tempat Yang Mulia Raja dan Nona Naina bersama. Bahkan Viscountes Riana, Nenek Naina pun diam saja, dia tidak mau mencampuri urusan anak muda.
Begitu suara pintu dibuka dan Naina keluar dari ruangan tersebut turun ke bawah, tepatnya bagian dapur. Semua orang yang penasaran mencoba mendekat. Mereka sebenernya ingin langsung interview tapi ya mengingat status mereka harus menahannya. Hanya berspekulasi secara bebas saja.
"Biarkan saya saja Nona yang menyajikan teh." Seorang pelayan ingin mencoba menyabotase pekerjaan Naina. Jarang sekali ada Nyonya bangsawan yang menyeduh teh sendiri, mereka semua mempercayakan kepada para pelayan.
"Tidak apa-apa, Yang Mulia suka teh hitam yang saya seduh." Naina menjawab dengan tersenyum ramah. Alhasil sang pelayan akhirnya hanya pasrah saja.
Naina juga menyiapkan camilan manis sebagai pendamping minuman yang sedikit pahit tersebut.
Naina naik ke lantai atas kembali dengan tekad siap bertempur.