Seorang polisi harus menikahi putri dari jendral yang menjadikannya ajudan. Dengan kejadian tak terduga dan tanpa ia ketahui siapa orang yang telah menjebak dirinya.
"Ini semua pasti kerjaan kamu 'kan? Kamu sengaja melakukan hal ini padaku!" Sentak Khanza saat menyadari dirinya telah tidur dengan ajudan yang diberikan oleh Papanya.
"Mbak, saya benar-benar tidak tahu. Saya tidak ingat apapun," jelas Yusuf, polisi yang ditunjuk sebagai ajudan untuk putri jenderal bintang dua itu.
Jangan ditanya bagaimana takutnya Pria itu saat menyadari, bahwa ia telah menodai anak dari jenderal bintang dua itu.
Siapakah Jendral bintang dua itu? Kalau sudah pernah mampir di karya aku yang berjudul, (Dokter tampan itu ayah anakku) pasti tahu dong😉 Yuk kepoin kisahnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Risnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kata-kata yang sulit diartikan
"Kamu lagi lihatin apa sih?" tanya Dr Akmal, curiga dengan gelagatku.
"Ah, tidak lagi lihat apa-apa Dok." Aku berusaha untuk tetap tenang dan bersikap sewajarnya. Mungkin ini hanya perasaanku saja. Tidak mungkin Mas Yusuf menaruh cemburu.
Aku mengaduk coklat hangat yang sudah dipesan oleh Dr Akmal. Ya, sepertinya dia sudah hapal dengan minuman favoritku.
Kami ngobrol sewajarnya, yang paling utama topik obrolan kami adalah seputar dunia medis, mungkin karena kami satu profesi dan spesialis yang sama, maka terasa nyambung apa yang kami bicarakan.
Sesekali tatapanku menuju pada Mas Yusuf, Pria itu tampak tenang dengan kesendiriannya. Dia masih menatapku, tetapi aku tidak ingin ambil pusing dengan tatapan yang aku sendiri tidak tahu artinya.
Setelah cukup lama kami ngobrol, aku segera pamit pada Dr Akmal. Namun, aku kembali terkesiap saat Dr Akmal meraih tanganku dan menggenggamnya.
"Khanza, aku ingin bicara sesuatu yang penting padamu. Aku, sebenarnya..."
"Mbak Khanza, mari pulang. Bapak sudah menghubungi saya untuk membawa kamu pulang!"
Ucapan Mas Yusuf menghentikan suara Dr Akmal yang ingin mengatakan sesuatu padaku. Dua orang lelaki itu saling bertatapan, aku sendiri merasa serba salah.
"Maaf Mas, bisa berikan waktu sedikit lagi untuk saya bicara dengan Dr Khanza?" Dr Akmal meminta izin pada Mas Yusuf.
"Saya juga minta maaf, karena ini pesan dari Bapak Jendral agar saya segera membawa putrinya untuk pulang."
"Tapi, hanya sebentar saja, Mas!"
"Maaf tidak bisa! Mari Mbak kita pulang." Dia meraih tanganku, tetapi aku segera melepaskannya.
"Tunggu, Mas. Biarkan Dr Akmal menyelesaikan pembicaraannya. Beri kami waktu sedikit lagi Biar nanti saya yang akan bicara pada Papa."
Dia menatapku begitu tajam sembari menghempaskan tanganku dengan kasar rahangnya mengeras, wajahnya terlihat memerah.Tanpa bicara dia segera keluar dari kantin.
Aku tak percaya melihat sikapnya yang tampak sedang marah, tapi apa yang dia marahkan? Aku mengabaikan dirinya tak ingin ambil pusing. Aku dan Dr Akmal Kembali duduk.
"Ajudan kamu itu aneh ya, kenapa dia seposesif itu padamu? Apakah dia menyukai kamu?" tanya Dr Akmal yang membuat aku terkesiap.
"Ih, Dokter apaan sih? Mungkin dia hanya merasa bertanggung jawab untuk menjaga aku, udah nggak usah bahas itu. Tadi Dokter mau bicara apa?" Aku fokus dengan pada pembahasan yang pertama.
Dokter Akmal tampak menghela nafas panjang, dia menatapku dengan dalam. "Khanza, aku ingin mengatakan perasaanku yang sebenarnya. Aku mencintaimu."
Seketika aku membatu, lidahku kelu, aku tidak tahu harus bicara apa. Jika aku tahu dia akan mengungkapkan perasaannya, maka aku lebih memilih untuk pulang saat Mas Yusuf mengajakku.
"Khanza, kenapa kamu diam saja. Aku merasa sikap kamu sekarang berubah, kamu terkesan selalu menghindariku, berapa banyak pesan yang aku kirimkan tetapi tak pernah kamu merespon. Apakah aku ini memang tidak pantas untukmu?"
"Bu-bukan begitu, Dok. Aku hanya sedang sibuk saja. Kalau soal perasaan, aku minta maaf Dok, aku tidak bisa memberi jawaban, karena aku..."
"Iya, Khanza, aku tahu. Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang aku akan tetap sabar menunggu jawaban darimu."
Aku merasa tak percaya dengan ucapan Dr Akmal, ini benar-benar membuat aku merasa bersalah. Aku hanya diam tak ingin menanggapi lagi. Sesaat suasana hening, kami merasa canggung, bila sudah melibatkan tentang perasaan, maka suasana akan berubah tidak lagi bisa normal seperti sediakala.
Rasanya tak ada lagi yang harus kami bicarakan, maka aku berpamitan pada Dr Akmal. Dia melepasku dengan senyum, wajahnya tampak lega setelah mengungkapkan perasaannya.
Aku keluar dari kantin, netraku mencari sosok Pria yang tadi tampak emosi saat berbicara padaku. Kemana dia berada, apakah dia sudah menungguku di mobil?
"Sudah selesai?"
Aku terkesiap tiba-tiba sosok yang aku cari sudah berada disampingku. Aku hanya mengangguk sambil memperhatikan ekspresi wajahnya yang tampak masih dingin dan datar.
"Ayo pulang sekarang." Dia meraih tanganku dan menggandengnya untuk menuju parkiran.
Kembali perasaanku tidak menentu, aku benci sekali dengan hati ini yang mudah sekali terbawa perasaan saat diperlakukan dengan lembut dengan ayah anakku ini. Begitu besarkah rasa yang aku punya?
Aku hanya mengikuti langkahnya tanpa sedikitpun menolak saat tanganku disentuh olehnya, berbeda reaksiku saat Dr Akmal yang menyentuhku karena aku tak mempunyai perasaan apapun terhadap Dr senior itu.
Setelah memastikan aku duduk dengan nyaman, dia segera masuk dan menduduki kursi kemudi, kini mobil sudah keluar dari perkarangan RS, kendaraan roda empat itu melaju dengan kecepatan sedang.
Suasana begitu hening dia tak bicara apapun, sikapnya tampak begitu dingin. Aku tidak tahu harus berbuat apa, untuk mengalihkan suasana kaku ini, aku menatap keluar menatap gedung-gedung dan jalanan yang sudah mulai lengang.
Sepanjang perjalanan dia bertahan untuk diam, tidak seperti biasanya dia pasti akan memulai percakapan untuk memecah keheningan. Setibanya dirumah aku segera naik menuju kamar tanpa bicara sepatahpun padanya. Aku juga merasa kesal melihat sikapnya itu, dasar lelaki tidak peka dan dingin!
Setibanya dikamar aku segera bersih-bersih. Sejenak aku berpikir kemana dia? Padahal aku sudah cukup lama dikamar. Apakah dia langsung pulang? Tapi tadi aku mendengar dia tidak pulang malam ini? Ah, kenapa aku mulai berharap lagi dengannya, terserahlah dia mau pulang atau tidak.
Aku mencoba untuk merebahkan diri, tak ingin memikirkan dia lagi. Tetapi, mataku tidak mengantuk sama sekali sehingga aku kembali duduk, entah kenapa perasaanku gusar.
Aku turun dari ranjang dan membuka pintu balkon, udara malam terasa begitu sejuk menerpa wajahku, aku duduk menikmati indahnya gemerlap bintang yang menghiasi langit malam.
"Kenapa duduk diluar, Dek? Ini sudah larut, udaranya tidak baik dengan kesehatan kamu."
Suaranya memutus lamunanku, aku menoleh mencari suara itu. Dia berdiri diambang pintu dan menatapku dengan tatapan lembut. Pria ini benar-benar sulit ditebak, tadi sikapnya dingin seperti es batu. Tapi kini sorot matanya begitu hangat.
Dia mendekat lalu berdiri dihadapanku kedua tangannya bertumpu pada terali pembatas, dia menatap ke atas mengamati indahnya pijar rembulan. Aku mendengar dia menghela nafas panjang.
"Khanza, maafkan aku bila telah membuatmu berada dalam situasi sulit ini. Aku tahu ini akan berat. Bukan hanya untuk Tiara saja, tetapi untukku dan juga untukmu. Kamu harus tahu Dek, aku tidak akan pernah melepaskan dirimu apapun yang akan terjadi. Karena bagiku pernikahan ini bukanlah untuk main-main.
"Maksud Mas Yusuf?"
"Aku akan jujur pada Tiara tentang pernikahan kita ini. Mungkin Tiara akan marah kepadaku atau tidak terima, tetapi, ketahuilah! Aku tidak akan melepaskanmu."
Aku bingung dengan ucapan Mas Yusuf. Otakku benar-benar buntu untuk menerjemahkan maksud dari kata-katanya. Kenapa dia tidak bisa menjelaskan pada intinya saja. Agar aku tidak sulit untuk mengartikan setiap ucapan yang keluar dari bibirnya.
Bersambung....
NB. Tiga bab hari ini ya. Jangan lupa tinggalkan jejak buat author. biar semakin semangat Update 🙏🤗🥰
Happy reading 🥰