Semua berawal dari rasa percayaku yang begitu besar terhadap temanku sendiri. Ia dengan teganya menjadikanku tumbal untuk naik jabatan, mendorongku keseorang pria yang merupakan bosnya. Yang jelas, saat bertemu pria itu, hidupku berubah drastis. Dia mengklaim diriku, hanya miliknya seorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusi Fitria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 23
"Mmppphh... Hikss..hikss.." Tanganku yang bergetar terus berusaha untuk menyingkirkan tangannya yang berada di kedua dadaku.
Aku menangis sejadi-jadinya. Elbarra sangat kasar kepadaku. Lebih baik aku memilih dipukul olehnya daripada seperti ini.
Tak di duga Elbarra melepaskan kedua tangan dan bibirnya, lalu beranjak dari atas tubuhku. Ia melepaskan kemeja putih yang membalut tubuhnya, melihat itu aku jadi semakin takut.
Tanpa kusadari, kemeja putih tersebut diberikannya kepadaku. Masih dengan tangan yang bergetar, aku menerimanya.
Elbarra memilih untuk duduk dipinggiran kasur sambil membelakangiku. Tangannya memijit pelipis, seperti orang yang frustasi. Sedangkan aku buru-buru mengenakan kemeja itu, aroma maskulinnya langsung tercium oleh hidungku.
Helaan nafas berat terdengar darinya, ia terdiam dan membuatku merasa sangat bersalah. Pelan-pelan aku mendekatinya, kuberanikan diri untuk memeluk tubuhnya dari belakang, walaupun awalnya aku ragu.
Kurasakan tubuh Elbarra yang menegang karena tindakan beraniku ini. Tapi untuk sementara waktu, aku harus menurunkan harga diriku dulu.
"Maafkan aku. Maaf sudah membuatmu merasa marah dan kecewa. Tapi sungguh, El. Tidak ada niatanku untuk melarikan diri. Aku hanya ingin refresing, itu saja!" lirihku masih dengan posisi tadi.
"Kau tidak bohong?" Aku menggeleng.
Tiba-tiba Elbarra menarik tanganku yang melingkar di perutnya, "Kemarilah!"
Aku mengangguk patuh. Aku bergerak untuk turun dari kasur, Elbarra lalu menarik pinggangku lembut agar aku duduk di pangkuannya. Dia membenamkan wajahnya dilekukan leherku, seolah sedang menghirup aroma tubuhku dalam-dalam.
"Kau membuatku takut, Sayang. Aku benar-benar takut kehilanganmu. Aku mohon, jangan seperti ini lagi..." Matanya terlihat memerah, apakah Elbarra ingin menangis?
Kata-kata dan tatapannya sukses membuatku kehabisan stock kalimat di otakku. Sebesar itukah cintanya terhadapku?
Elbarra mencium pipi kanan dan kiriku bergantian. "Terima kasih dan maafkan aku tentang tindakanku tadi. Aku janji tidak akan kasar lagi seperti itu.."
Aku mengangguk pelan. Tanganku terangkat untuk membelai wajahnya, Elbarra memejamkan mata seolah menikmati belaianku. Aku merasa sangat bersalah karena tidak memberitahunya tentang kepergianku.
Elbarra membuka kembali matanya, ia menggenggam tanganku yang masih diwajahnya, kemudian menciumnya lembut.
"Aku sangat mencintaimu, Sisi. Tidak masalah jika kau belum bisa membalasnya, tapi bisakah mulai sekarang kau belajar untuk mencintaiku?"
Dag dig dug. Jantungku berdetak tak karuan. Pasti wajahku sudah memerah sekarang. Apakah Elbarra menyadarinya?
Kruuuyuuukkk~
Aku mengigit bibirku untuk menahan tawa.
"Sial. Kenapa di saat seperti ini perutku malah berbunyi!" Elbarra menggerutu kesal.
"Kau belum makan?" tanyaku, pria itu memasang wajah cemberut.
"Aku makan saat pagi, lalu menjemputmu ke apartement. Namun saat tiba, Mama berkata bahwa kau sedang liburan ke Indonesia."
Astaga Mama, kenapa mulutmu lemes sekali? Bukankah aku sudah minta tolong untuk jangan memberitahu Elbarra.
"Aku marah sekaligus khawatir. Aku marah karena kau tidak memberitahuku, dan aku khawatir karena kau pergi sendirian tanpa ditemani olehku ataupun Mama," lanjutnya.
"Maaf.." cicitku yang kembali merasa bersalah.
"Tidak apa-apa, Sayang. Lupakan tentang ini yaa.. Jangan pergi lagi, kumohon!!"
"Baiklah, Tuan Elbarra..."
Aku berdiri dari pangkuannya, lalu menarik tangannya untuk segera bangun. "Pakai kembali pakaianmu. Aku ganti baju dulu, setelah itu kita turun kebawah untuk dinner."
Elbarra tersenyum, ia mencium bibirku sekilas. "Baiklah, Princess.."
Sebanyak itukah panggilanku. Kadang dia memanggilku 'Sayang' lalu 'Sweety' dan sekarang 'Princess'. Terserah kau saja, El. Yang penting kau senang dan tidak kasar seperti tadi.
Aku mengambil celana jeans abu dan kaos croptop berwarna hitam di dalam koper. Segera menuju ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Kenapa tidak berganti di depan Elbarra saja? Aku tidak berani.
Setelah selesai berganti pakaian, aku memberikan kemeja putih yang tadi kupakai kepada Elbarra. Bergegas pria itu memakainya, kubantu untuk memasang kancing bajunya.
"Ingin memakai ini?" tanyaku sambil memegang jasnya yang kupungut dari lantai.
"Tidak, aku ingin seperti ini saja."
"Baiklah." Kuletakkan jas tersebut di sofa. Dengan cepat tanganku menarik tangan Elbarra untuk keluar.
Tujuan kami sekarang adalah restaurant dibawah. Aku memilih tempat makan terdekat saja, kasian jika Elbarra harus menahan lapar lebih lama.
"Ingin pesan apa?" Aku bertanya sambil membuka buku menu.
"Apa saja, Sayang."
"Nasi goreng mau?"
Elbarra mengangguk, jadinya aku memesan nasi goreng special satu untuknya dan pangsit kuah untukku. Sambil menunggu, pria yang mengaku sebagai suamiku itu tak ingin melepaskan genggaman tangannya dariku.
"Kau tidak bosan menatapku terus-menerus seperti itu?" ucapku yang jengah terhadapnya.
"Tidak," Dia terkekeh, "Mana mungkin aku bosan menatap wajah cantik dari istriku."
Sialan Elbarra! Tidak tahukah dia bahwa aku jadi gugup dan malu karena ucapannya barusan.
Aku berdehem pelan untuk menetralkan ekpresiku, "Darimana kau tahu kalau aku tinggal di hotel ini?"
Bukan tanpa alasan aku bertanya demikian, rasanya aneh jika Elbarra bisa melacakku. Evelyn dan Mama saja tidak tahu dimana aku akan tinggal selama di Indonesia. Apalagi ponsel yang diberikan olehnya kutinggal di apartement.
Masih dengan lurus menatapku, tiba-tiba Elbarra mengangkat tanganku yang berada di genggamannya.
"Cincin yang kau gunakan memiliki GPS di dalamnya!"
Gotcha. Sekarang kutahu, kemanapun aku pergi, Elbarra pasti dapat menemukanku melalui cincin ini. Aku hendak melepaskan cincin itu, tapi kalimat yang keluar dari mulutnya membuatku merinding.
"Cobalah kau lepaskan cincin itu, jika kau ingin mengulang kejadian 'tadi'!"
Seketika aku berpura-pura tertawa, "Siapa yang ingin melepaskannya? Aku hanya ingin mengelusnya, hehehe."
Kulihat Elbarra yang tersenyum sinis kearahku, sepertinya dia sudah lebih dulu tahu akan niatku.
Makanan kamipun tiba. Elbarra menyantap makanan cepat, sementara aku masih mengaduk pangsit kuahku sambil memandangnya lekat.
'Dia sangat lapar sepertinya.' batinku bergumam.
Pangsit yang belum kumakan itu, kudorong perlahan kepadanya. Ia memandangku bingung, aku tersenyum tipis.
"Makanlah! Aku masih kenyang."
"Jangan berbohong, Sweety!"
Aku menggeleng, "Sungguh, El. Aku sudah makan sebelum bertemu denganmu tadi. Cepat habiskan, setelah itu kita kembali istirahat."
Mendengar kata 'kita istirahat' membuat Elbarra jadi bersemangat. Pangsit kuahku di makan lahap olehnya, sungguh menggemaskan.
Jika di pikir-pikir, Elbarra tidak seburuk itu. Soal tadi yang dia kasar, itu semua juga salahku karena membuatnya kecewa dan marah.
"Ingin tambah?" tawarku, ia menggeleng menolak.
Tanpa kusadari, tanganku terangkat untuk membersihkan sisa makanan di bibirnya. Elbarra terpaku karena ulahku, buru-buru aku menjauhkan tanganku darinya.
"Bisa bersihkan lagi?" Pria itu mencondongkan wajahnya kearahku.
"Be-bersihkan sendiri. Itu ada tisu!" tunjukku pada kotak di atas meja.
Ish, kenapa aku jadi gugup gini sih?
Dia mengambil selembar tisu, lalu memaksaku untuk menggenggam tisu tersebut. "Bersihkan, cepat!"
Aku mendelik sebal, ia memaksaku. Tapi tak urung aku melakukannya. Kubersihkan pelan bibirnya, seulas senyum lebar terukir di wajah Elbarra. Setiap kali ia tersenyum, entah kenapa membuatku tak bisa berkutik dalam waktu singkat.
Kuakui dia memang tampan dan juga kaya, hahaha... Aku rasa tidak masalah jika aku mulai membuka hati untuknya, selagi ia tidak kasar kepadaku.