NovelToon NovelToon
Terjerat Cinta Mafia

Terjerat Cinta Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Nikah Kontrak / Pernikahan Kilat / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:996
Nilai: 5
Nama Author: zhar

Ketika Maya, pelukis muda yang karyanya mulai dilirik kolektor seni, terpaksa menandatangani kontrak pernikahan pura-pura demi melunasi hutang keluarganya, ia tak pernah menyangka “suami kontrak” itu adalah Rayza, bos mafia internasional yang dingin, karismatik, dan penuh misteri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Aku bangkit dari tempat tidurnya secepat mungkin dan langsung kembali ke kamarku sebelum ada yang melihat. Kepalaku masih kacau dan tubuhku terasa lelah, mengingat malam yang begitu panas yang kuhabiskan bersama Rayza. Sentuhannya seolah masih membekas di tubuhku, terutama di bagian yang paling pribadi.

Begitu masuk ke kamar, aku langsung menuju kamar mandi. Aku tahu, aku harus segera mengusir semua pikiran tentang Rayza dari kepalaku. Setelah melepas pakaianku, aku menatap diriku di cermin. Tapi yang kulihat justru mengingatkanku pada bagaimana Rayza pernah menyentuhku dengan kelembutan sekaligus kekuatan yang membuatku kehilangan kendali.

"Dia menyentuhku di sini..." gumamku, saat tanganku tanpa sadar menutupi bagian dadaku. Tubuhku masih terasa nyeri, seolah mengingat kembali sentuhan-sentuhannya. Bahkan panas itu… masih terasa di antara kedua kakiku.

Aku menutup mata, mencoba menenangkan diri. Sosok Rayza muncul dalam bayanganku suaranya, tatapannya, caranya memperlakukan tubuhku. Aku mengerang pelan, memanggil namanya dalam hati. Rayza... kau membuatku kehilangan arah...

Tubuhku mulai bereaksi lagi, dan aku tersentak sadar. Mataku terbuka, dan dia tidak ada di sana. Hanya aku, sendirian di kamar mandi, dengan napas memburu dan hati berantakan.

Apa yang sedang kulakukan? Dengan kaki gemetar, aku melangkah masuk ke bak mandi dan menyalakan pancuran. Air hangat mengalir, membasahi tubuhku perlahan dari kepala hingga kaki. Aku duduk dan memejamkan mata, mencoba melupakan semuanya.

Rayza... sebenarnya apa yang kau inginkan dariku? Katamu kau tak ingin ada hubungan lagi, bahwa kita cukup sampai di sini. Tapi... cara kau menyentuhku, seolah semua yang kau ucapkan tidak berarti...

Aku merebahkan tubuhku di dalam bak mandi, mencoba menenangkan detak jantungku yang masih belum stabil. Kaki-kakiku perlahan kurenggangkan, dan tanpa sadar tanganku bergerak mengikuti aliran air yang mengalir dari tubuhku. Saat jemariku menyentuh bagian yang paling sensitif, aku menghela napas lirih. Masih ada sisa kehangatan dari tadi malam… dari Rayza.

Segalanya terasa begitu hidup kembali, kenangan tentang bagaimana dia menyentuhku dengan penuh keyakinan dan kelembutan. Rasanya... terlalu nyata untuk diabaikan. Tubuhku masih merespons, seolah mencari kembali sentuhan yang telah ia tinggalkan. Aku menggigit bibir, berusaha menghentikan bayangan itu namun semuanya kembali begitu jelas.

Aku memejamkan mata lebih erat, berusaha mengusir godaan itu dari pikiranku. Ini tidak seperti diriku. Aku bukan tipe orang yang mudah tergoda oleh kenangan seperti ini. Biasanya aku bisa mengendalikan semuanya… tapi kali ini, rasanya sangat berbeda.

Aku teringat pada masa lalu pada Yoga. Dulu kami sering tenggelam dalam kebersamaan, terlalu sering, terlalu dalam. Tapi semua itu telah berlalu. Apa yang terjadi dengan Rayza... ini bukan sekadar fisik. Atau mungkin… justru itulah yang membuat semuanya semakin rumit.

Sekarang, semuanya telah berubah. Perasaanku, pikiranku, bahkan tubuhku pun seperti tidak lagi bisa diajak kompromi.

Aku keluar dari kamarku sambil menghitung hari-hari yang tersisa di penthouse ini bersama Rayza.

Masih tersisa 26 hari sebelum aku bebas. Karena kupikir Rayza sudah pergi, aku bergegas meninggalkan kamar agar tidak bertemu dengannya. Setelah mengenakan pakaian yang nyaman, aku melangkah ke ruang tamu dan melihat Bibi yang tampak sibuk merangkai bunga di vas besar.

“Wah! Bibi hebat sekali. Rangkaian bunganya cantik banget,” kataku sambil menunjuk bunga-bunga itu.

Bibi itu tersenyum senang mendengar pujianku. Tangannya yang cekatan terus menyusun bunga mawar, lili, dan berbagai bunga lainnya ke dalam vas besar. Selain warnanya yang memanjakan mata, harum bunganya juga lembut dan menenangkan.

“Terima kasih, Nona Maya. Kalau kamu tertarik, saya bisa ajarkan cara-cara merangkai bunga yang sederhana,” ujarnya ramah.

Aku memperhatikan jemarinya yang sudah agak keriput, tapi masih lincah dan penuh ketelitian. Aku jadi penasaran, apakah ada hal yang tidak bisa dilakukan oleh Bibi ini? Katanya, dia sudah mengasuh Rayza sejak lama. Mungkin sejak Rayza kecil?

“Benarkah? Wah, saya senang sekali kalau boleh belajar. Dari dulu pengen, tapi nggak pernah sempat,” kataku.

“Saya dengar kamu anak seni, ya? Pasti kamu peka sekali dengan keindahan. Merangkai bunga pasti bukan hal sulit buatmu,” katanya dengan ceria.

“Saya masih mahasiswa seni, Bi. Tahun terakhir, sih. Jadi... belum berani menganggap diri sebagai seniman,” jawabku sambil tersenyum malu.

“Karya senimu seperti apa, kalau boleh tahu?”

“Oh… saya paling suka melukis pakai cat air. Tapi saya juga bisa melukis media lain, dan bisa pahat dasar juga,” jawabku.

“Wah, kapan-kapan tunjukkan dong hasil lukisanmu ke Bibi,” katanya antusias.

“Tentu, dengan senang hati. Umm… Bibi tadi bilang pernah mengasuh Rayza, ya…” Aku mulai bertanya, sedikit ragu. Tak ingin kesannya seperti kepo atau terlalu ikut campur.

"Oh iya, aku sudah bersama Tuan Rayza sejak sebelum dia lahir. Dulu aku adalah pengasuh ibunya. Saat beliau menikah dengan Tuan, aku dengan senang hati ikut pindah ke sini untuk terus melayaninya," jelas Bibi sambil tetap sibuk merangkai bunga.

"Begitu ya… Umm, kalau boleh tahu, di mana ibunya Rayza sekarang? Aku belum pernah bertemu dengannya, padahal sudah beberapa kali bertemu Bos. Dia… tidak datang ke pesta pernikahan, kan?" tanyaku pelan.

"Nyonya yang terhormat, ibu dari Tuan Rayza, sudah lama meninggal. Beliau wafat ketika Tuan Rayza masih sangat kecil," jawab Bibi. Wajahnya langsung tampak muram, seakan luka lama itu belum benar-benar sembuh.

"Aku turut berduka…" bisikku penuh empati.

"Oh, tidak apa-apa… Itu sudah lama sekali. Sejak beliau tiada, aku yang membesarkan Tuan Rayza sebisa mungkin. Meskipun, kadang aku bertanya-tanya, apakah aku sudah melakukan yang terbaik atau belum…" ucapnya disusul tawa kecil yang getir.

"Aku yakin kau sudah memberikan segalanya. Tidak ada yang perlu kau sesali," ujarku sambil mencoba menenangkannya.

“Nona Maya…” Bibi memanggil namaku dengan lembut.

“...Ya?” sahutku.

“Tuan Rayza itu orang yang sangat baik hati. Saya yakin kamu akan hidup bahagia bersamanya,” kata Bibi dengan nada tulus yang membuatku tak bisa langsung membalas.

Sulit rasanya membayangkan Rayza sebagai ‘orang yang sangat baik hati’ setelah semua yang kulihat dan kualami. Pria itu agresif, kasar, pemarah, pemabuk, tak tahu sopan santun, egois, sombong, bejat dan masih banyak lagi kata-kata lain yang tak kalah buruk untuk menggambarkannya.

Kurasa inilah yang disebut cinta seorang ibu. Fenomena di mana seseorang begitu menyayangi anak yang ia besarkan sampai-sampai tak mampu melihat kekurangannya. Apa pun yang terjadi, dia hanya melihat sisi baiknya dan percaya orang lain pun akan merasakannya begitu.

Aku sendiri meragukan ucapan Bibi, tapi kupilih untuk menyimpannya dalam hati.

“Terima kasih… aku akan… mengingatnya,” ujarku, berusaha menampilkan senyum seramah mungkin.

Setelah aku terus memperhatikan Bibi merangkai bunga, aku teringat tujuan awalku ke sini. Aku ke sini bukan untuk menikmati pemandangannya merangkai bunga, aku ke sini untuk bertanya tentang Rayza.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!