Tidak ada rumah tangga yang berjalan mulus, semua memiliki cerita dan ujiannya masing-masing. Semuanya sedang berjuang, bertahan atau jutsru harus melepaskan.
Seperti perjalanan rumah tangga Melati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
"Punya wewenang apa Melati di perusahaan, Mas?," tanya Viola marah pada suaminya setelah dia dihubungi Yunita karena Melati tidak mau mengeluarkan uang sepeser pun untuk proyeknya.
"Memangnya apa yang sudah kamu janjikan pada Yunita?," tanya balik Mas Kalingga.
"Tidak salah dong aku mau membantunya," sambil melipat tangan di dada.
Mas Kalingga tersenyum. "Tidak ada masalah kalau membantu tapi pakai uangmu sendiri, Vi."
"Aku ini istri kamu, Mas, apa yang kamu miliki itu milikku juga."
Mas Kalingga kembali tersenyum. "Apa yang aku miliki sekarang itu milik Melati dan anak-anak. Perusahaan yang sudah besar sekarang ini milik Melati, aku hanya bekerja membantunya saja."
"Tidak mungkin!," sambil menggelengkan kepala.
"Tapi itu kenyataannya, Vi. Aku tidak memiliki apa-apa dan uang belanja yang aku kasih ke kamu itu karena kemurahan hati Melati."
"Cukup, Mas!. Aku tidak mau mendengar tentang Melati lagi. Lebih baik kita pulang sekarang!." Viola sudah lebih dulu berjalan menuju mobil.
Mas Kalingga tersenyum lagi sambil berjalan mengikuti Viola. Akhirnya mereka pulang juga.
"Tapi kamu tidak bisa membantu, Mas?," tanya Viola saat mereka dalam perjalanan.
"Tidak bisa, Vi, kalaupun ada aku masih harus berpikir seribu kali untuk membantu suami Yunita."
"Ya, sudah, kalau kamu tidak mau membantu. Antar aku ke rumahnya saja, pasti sekarang dia sedang kebingungan mencari bantuan pada siapa."
Mas Kalingga tidak lagi merespon, dengan senang hati dia mengantar Viola ke rumah Yunita. Dia bisa pulang ke rumah lalu menghabiskan waktu bersama Melati dan kedua putrinya.
Sebelum pulang ke rumah terlebih dahulu Mas Kalingga menjemput Sakura dan Lili karena Melati masih harus menyelesaikan beberapa berkas yang datang dan minta segera ditandatangani juga. Tapi tentu saja dia meminta pendapat Mas Kalingga karena itu pekerjaan suaminya.
Mereka bertiga sudah sampai di rumah, Sakura dan Lili langsung masuk ke kamar dan Mas Kalingga menemui Ibunya.
"Maaf, Pak Kalingga." Suara perawat menahan langkahnya sebelum memasuki kamar Ibu.
"Ada apa?."
"Sejak tadi pagi kesehatan Ibu menurun, aku tidak tahu penyebabnya apa. Tadi tiba-tiba saja beliau menangis sesenggukan. Aku tanya tapi beliau tidak mengatakan apa-apa."
"Sudah makan atau minum obat atau kamu sudah panggil Dokter?."
"Ibu melarangku memanggil Dokter, makanannya pun masih utuh karena tidak selera makan dan obat juga belum diminumnya."
"Oke, coba aku lihat keadaan Ibu."
"Ada satu lagi, Pak Kalingga."
"Katakan saja."
"Beliau mencoba menyayat tangannya tapi aku sudah berhasil mengamankan pisaunya. Dan lukanya sudah aku obat."
"Astagfirullah! Kenapa kamu ceroboh dengan menaruh pisau di dekat Ibuku?."
"Maaf, Pak, tadi Ibu Melati yang menaruhnya di piring buah."
Mas Kalingga terdiam.
"Baik, Pak Kalingga, sekalian aku pamit."
"Iya, terima kasih."
Kemudian Mas Kalingga masuk, matanya mendapati Ibu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Mas Kalingga pun duduk di samping Ibu.
Terdengar suara tangis yang pelan.
"Bu, ada apa?." Mas Kalingga memegangi kaki Ibu.
"Apa ada yang sakit? Kita ke Dokter saja, ya?." Tanya Mas Kalingga lagi.
Tangis Ibu semakin kencang dan Mas Kalingga dengan sabar menunggui di samping Ibu. Tangan yang tadi di kaki sekarang pindah ke tangan Ibu.
"Menangis saja yang kencang, Bu, bila itu membantu perasaan Ibu jauh lebih baik."
Tak berselang lama suara tangis Ibu tidak terdengar lagi, Ibu pun keluar dari persembunyiannya. Lalu memegangi tangan Mas Kalingga.
"Ibu mau kembali berjalan, Kalingga, tidak mau di sini terus menerus. Ibu mau bisa ke sana kemari melihat dunia luar, menghirup udara segar. Ibu bosan dan sangat tersiksa tinggal di sini."
Mas Kalingga mengambil tangan Ibu yang memegangi tangannya. Mas Kalingga menatap perban kecil menutupi luka pada pergelangan tangan Ibu. Ada perasaan bersalah bersemayam dalam dada, dia begitu abai pada Ibu atas pemaksaan yang dilakukannya.
Akan tetapi dia tahu tangan itu yang telah mengajarkan banyak hal untuknya. Mas Kalingga pun mencium tangan Ibu dengan takzim. Di balik rasa kesal, marah dan kecewa terhadap Ibu, namun nyatanya tidak menghilangkan rasa ingin bakti terhadap wanita yang telah melahirkannya.
"Aku paham dengan perasaan Ibu, tapi aku minta maaf tidak bisa melakukan banyak untuk mewujudkan keinginan Ibu. Ibu sudah berobat beberapa kali dan tidak menunjukkan apapun, jutsru malah memicu sakit yang lain."
"Rasanya Ibu mau mati saja," Ibu benar-benar sangat putus asa.
"Tidak baik berucap seperti itu, Bu. Oh, iya, seharusnya Ibu lebih senang lebih dari kemarin karena sebentar lagi Ibu dan almarhum Bapak akan memiliki cucu seorang laki-laki."
"Benarkah? Viola akan memberiku cucu laki-laki?."
Mas Kalingga mengangguk. Wajah Ibu terlihat sedikit lebih ceria.
"Jauhkan hal-hal negatif dari pikiran Ibu. Ibu harus tetap ada bersama kami, membantu Viola merawat jagoan kami."
"Bapak di sana pasti senang dengan keputusan Ibu karena Ibu tidak salah menikahkanmu dengan Viola. Viola membawa keberuntungan bagi keluarga kita, kamu harus berjanji untuk selalu mencintai Viola, menjadikan istrimu selamanya karena dia akan melahirkan seorang penerus untukmu."
"Iya," Mas Kalingga tersenyum.
Melati yang sudah sampai di depan pintu kamar Ibu kembali memutar langkahnya. Rasanya tidak pantas dia berada di tengah Ibu dan anak itu. Tentu saja dengan sesak di dada. Kenapa dia harus mendengar janji Mas Kalingga, kenapa?.
Setibanya di kamar, Melati duduk di tepi ranjang. Seolah semua terasa mudah saat pria itu ada di sisinya, tapi menjadi begitu sangat sulit saat pria itu bersama istrinya yang lain.
Gamang, kembali itu yang terjadi dengan Melati.
Sementara itu Viola masih berada di rumah Yunita. Wanita hamil itu masih setia mendengarkan keluh kesah Yunita yang sedang membutuhkan banyak uang untuk membantu suaminya.
Dari sekian banyak keluh kesahnya, dia lebih banyak mengatai Melati karena menolak membantunya. Bahkan Yunita sampai berpikir untuk mencelakainya.
"Sebenarnya aku juga mau dia celaka," lirih Viola.
"Kamu serius?," tanya Yunita seolah mendapatkan jalan.
Viola mengangguk. "Apalagi Mas Kalingga bilang kalau perusahaan itu milik Melati, belum lagi Mas Kalingga yang tidak mencintaiku lagi karena Melati. Aku semakin ingin mencelakainya bukan lagi sekedar memisahkannya dari Mas Lingga."
Yunita tersenyum lebar, dia mendapatkan partner untuk memuluskan tujuannya. "Aku ada dipihakmu, Vi. Aku akan membantumu apapun itu."
"Oke, nanti kita bicarakan lagi rencana selanjutnya. Sekarang aku harus pulang, nanti Melati mengambil kesempatan berduaan sama Mas Lingga."
"Oke, kabari saja kalau kamu membutuhkan aku."
"Iya."
Viola terpaksa pulang diantar supir kantor karena perintah Mas Kalingga, padahal sebenarnya yang dia inginkan Mas Kalingga sendiri yang menjemputnya.
Viola mengusap perut buncitnya, bayi laki-lakinya begitu aktif di dalam sana.
"Mama akan melakukan apapun untuk mendapatkan cinta Papamu kembali," lirihnya.
Bersambung