Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Badai Baru
Di tengah badai fitnah yang menerpa Mulia, Kartika merasakan amarah yang membara. Ia melihat Mulia, yang kini ia anggap sebagai putrinya sendiri, hancur perlahan-lahan. Ia tak akan membiarkan Bu Hanim terus menang dan mengusik Mulia yang akan menjadi calon istri Ikhsan.
Kartika bergegas menemui Ikhsan dan Mulia. Wajahnya keras, penuh tekad baja.
"Cukup!" Kartika membanting pintu. "Aku tidak akan membiarkan wanita itu terus bermain-main dengan kehormatan kita!"
"Ma, apa yang akan Mama lakukan?" tanya Ikhsan cemas.
"Aku akan memberinya balasan yang akan dia ingat seumur hidupnya," kata Kartika. "Aku sudah menghubungi stakeholder terbesar di Menggara Group. Mereka sudah melihat dokumen pajak yang aku sebarkan, dan mereka panik. Mereka tidak mau perusahaan mereka terseret dalam skandal kriminal."
"Lalu?" tanya Mulia, matanya sedikit berkilat.
"Aku sudah menyiapkan tim legal terbaik. Mereka akan membekukan aset yang diklaim Hanim. Tapi, itu butuh waktu."
Kartika menatap Mulia, matanya penuh kasih dan penyesalan. "Mulia, aku minta maaf. Aku tidak bisa menghentikan berita hoax ini. Tapi aku bisa menghentikan sumber kekuatannya."
"Tapi Tante, mereka akan membalas Tante. Mereka akan mengancam Tante," Mulia memohon.
"Aku tidak peduli," balas Kartika, suaranya tegas. "Aku adalah ibu dari Ikhsan. Aku adalah calon mertuamu. Aku tidak akan membiarkan kehormatan keluarga ini diinjak-injak oleh wanita gila itu."
Kartika mengambil ponselnya. "Aku punya kartu truf terakhir yang kubangun bertahun-tahun. Kartu yang akan membuat Hanim benar-benar terisolasi."
Ia menelpon seseorang, suaranya tenang namun berisi ancaman. "Aku ingin kamu menyebarkan rumor. Rumor yang akan membuat semua kolega bisnis Hanim di Jakarta menjauhinya. Katakan, dia bukan hanya terlibat penggelapan pajak, tapi juga psikopat berbahaya yang tidak segan melukai orang terdekatnya. Gunakan pembunuhan Siska. Dan gunakan nama baik Ikhsan sebagai jaminan."
Ikhsan dan Mulia terkejut. Kartika, yang mereka kenal sebagai wanita anggun, kini berubah menjadi ahli strategi yang kejam.
"Kita akan menyerang kehormatan mereka, persis seperti yang mereka lakukan pada Mulia," kata Kartika. "Hanim ingin Mulia jadi sampah masyarakat? Aku akan membuat Hanim menjadi sampah sosial yang tak punya teman atau sekutu."
Mulia menatap Kartika. Untuk pertama kalinya, ia merasakan harapan sejati. Bukan harapan akan keadilan hukum, melainkan harapan akan balas dendam yang setimpal.
"Terima kasih, Tante," bisik Mulia.
"Jangan berterima kasih, Mulia," kata Kartika, memegang tangan Mulia erat. "Kita akan menghadapi ini bersama. Aku akan pastikan, saat kamu menikah dengan putraku, kamu akan berdiri di atas kehancuran mereka."
Tekad Kartika telah menjadi tameng terkuat Mulia. Perang antara kebencian ini baru saja memasuki babak yang paling brutal dan mematikan. Mulia tahu, dengan Kartika di sisinya, ia tidak akan pernah lagi berjuang sendirian.
****
Skandal besar yang dilancarkan Kartika—kebocoran dokumen penggelapan pajak Pak Wibowo—berhasil menggeser fokus media dari fitnah keji terhadap Mulia. Namun, api belum padam. Tepat di tengah kekacauan itu, polisi menemukan jenazah Siska, selingkuhan Pak Wibowo yang dibunuh secara brutal. Penyelidikan atas pembunuhan itu mulai menyeret nama Bu Hanim—sebagai istri yang terhina dan memiliki motif kuat.
Dua badai besar—pajak dan pembunuhan—secara bersamaan mengguncang kekuasaan Bu Hanim. Untuk pertama kalinya, ia merasakan tekanan yang luar biasa, ancaman nyata yang tidak bisa ia beli sepenuhnya.
Di ruang rapat pribadinya, Bu Hanim mondar-mandir, ponsel di tangannya terus berdering.
"Sial! Kenapa berita pembunuhan itu bisa bocor?!" Bu Hanim membanting ponselnya ke meja.
Dinda, yang sejak tadi duduk diam, kini terlihat benar-benar ketakutan. "Ma, polisi datang ke rumah. Mereka mau ambil sidik jari kita. Mereka curiga."
"Curiga tidak berarti bukti, Dinda! Aku sudah pakai sarung tangan!" bentak Bu Hanim, matanya merah. Ia tahu, ia harus bertindak cepat. Jika dua kasus ini terus berjalan, ia akan benar-benar kehilangan segalanya.
****
Bu Hanim menggunakan seluruh kekuatan finansialnya yang tersisa. Ia menyalurkan uang suap dalam jumlah lebih besar lagi ke pejabat polisi kunci untuk mengalihkan penyelidikan pembunuhan Siska dari dirinya. Ia menuntut agar fokus polisi diarahkan pada motif perampokan atau persaingan bisnis Siska, bukan pada dendam pribadi.
Pada saat yang sama, ia harus membungkam isu penggelapan pajak yang dilancarkan Kartika. Satu-satunya cara adalah menggunakan Pak Wibowo sebagai perisai.
Bu Hanim mendatangi Pak Wibowo di kamar yang kini terasa seperti sel tahanannya sendiri. Pak Wibowo terlihat lelah dan putus asa.
"Wibowo, bangun! Kamu harus melakukan sesuatu!" perintah Bu Hanim.
"Apa lagi yang harus kulakukan, Hanim? Aku sudah menandatangani semua aset padamu. Aku sudah hancur," balas Pak Wibowo lemah.
Bu Hanim menarik kerah piyama suaminya, wajahnya mendekat dengan tatapan mengancam. "Kamu harus muncul di hadapan publik. Kamu harus mengatakan bahwa semua dokumen penggelapan pajak itu palsu. Kamu harus mengatakan bahwa Kartika dan Ikhsan memalsukannya untuk menjatuhkan Menggara Group."
Pak Wibowo terkejut. "Memalsukan? Tapi itu benar, Hanim! Kita yang melakukannya!"
"Aku tidak peduli! Kamu harus mengatakan itu adalah fitnah keji yang dilancarkan oleh keluarga Kartika karena mereka dendam atas persaingan bisnis! Kamu harus membersihkan namaku! Kamu harus menyelamatkan sisa-sisa kehormatan kita!" Bu Hanim berteriak, air mata yang ia tumpahkan kini adalah air mata keputusasaan dan amarah, bukan kesedihan.
Pak Wibowo menatap istrinya, melihat kegilaan yang tak tertahankan di mata Bu Hanim. Ia tahu, jika ia menolak, hidupnya akan berakhir lebih cepat. Demi keselamatan dirinya sendiri, Pak Wibowo mengangguk lemah.
"Baik, Hanim. Aku akan melakukannya," katanya, suaranya dipenuhi rasa hampa.
Beberapa jam kemudian, Pak Wibowo menggelar konferensi pers singkat. Di hadapan media, dengan wajah pucat dan suara bergetar, ia membantah semua tudingan penggelapan pajak. Ia menyebut Kartika dan Ikhsan sebagai aktor di balik pemalsuan dokumen yang bertujuan untuk menghancurkan Menggara Group dan membalas dendam Mulia.
Meskipun banyak wartawan meragukan pernyataan itu, keberanian Pak Wibowo untuk muncul dan membantah dengan tegas berhasil meredam riak skandal. Publik kembali dibuat bingung, antara percaya pada dokumen anonim atau pada bantahan resmi sang Direktur. Bu Hanim berhasil membungkam salah satu badai itu.
****
Namun, kunci kemenangan Bu Hanim adalah sekutunya, Soraya.
Bu Hanim segera menghubungi Soraya setelah konferensi pers Pak Wibowo.
"Soraya, kamu lihat kan? Itu semua fitnah. Kartika dan Mulia tidak akan berhenti. Mereka akan melakukan apa saja untuk menghancurkan kita," ucap Bu Hanim meyakinkan.
Soraya, yang menyaksikan pernyataan Pak Wibowo, merasa lega dan semakin yakin bahwa Mulia adalah monster. Kebenciannya yang telah mendarah daging pada Mulia membuat logikanya tumpul.
"Aku tahu, Hanim. Mulia itu wanita yang tidak punya hati. Dia bahkan tega memfitnah suami kamu sendiri. Aku tidak akan pernah memaafkannya," kata Soraya. "Aku akan segera menikahkan Satria dan Dinda. Aku tidak mau ada lagi waktu terbuang. Aku ingin Mulia lenyap dari hidup kami."
Bu Hanim tersenyum penuh kemenangan. "Itu keputusan yang tepat, Soraya. Dengan menyatukan keluarga kita, kita tidak hanya mengamankan Menggara Group, tapi juga mengirim pesan keras kepada Mulia dan Kartika. Bahwa mereka telah kalah."