NovelToon NovelToon
TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Obsesi / Identitas Tersembunyi / Sugar daddy
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.

Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.

Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ALARIC DAN KAELITH

Ruang kelas terasa lebih hening dari biasanya. Nayara menatap kursi kosong di sampingnya, hatinya terasa perih. Biasanya Caelisya duduk di sana, dengan tawa renyah dan cerita-cerita remeh yang selalu mengisi hari-hari mereka. Kini hanya ada keheningan, menyisakan ruang kosong yang tak bisa digantikan siapa pun.

Ia menarik napas dalam, mencoba mengalihkan pikirannya ke papan tulis di depan, namun bayangan sahabatnya terus muncul di benaknya. Seakan Nayara masih bisa mendengar suara Caelisya memanggil namanya, seakan masih ada tangan yang meraih lengannya dengan semangat.

Nayara tersenyum tipis, meski matanya terasa panas. “Aku kembali, Caelisya… tapi tanpamu, semuanya berbeda.” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.

Suasana kelas mulai ramai ketika dosen masuk, tetapi Nayara tetap tenggelam dalam pikirannya. Ia meraih buku catatan, membuka halaman kosong, lalu tanpa sadar menulis nama Caelisya di pojok kertas. Tulisan itu membuat hatinya semakin sesak.

Seorang teman menepuk bahunya pelan, membuat Nayara tersentak.

“Nay, kau baik-baik saja?” tanya temannya dengan raut khawatir.

Nayara buru-buru mengangguk, memaksa sebuah senyum. “Iya, aku baik.” jawabnya singkat, meski sebenarnya hatinya masih tercekat.

Tatapannya kembali jatuh pada kursi kosong itu. Ia tahu hari-hari di kampus takkan pernah sama lagi, tapi di dalam hati Nayara berjanji, ia akan terus melanjutkan langkahnya, membawa kenangan Caelisya bersama dirinya.

Setelah dosen meninggalkan kelas, mahasiswa lain bergegas keluar sambil berceloteh tentang tugas dan rencana makan siang. Nayara justru berjalan perlahan menuju perpustakaan. Ia butuh tempat tenang untuk menata pikirannya.

Begitu masuk, aroma khas buku-buku lama langsung menyambutnya. Nayara memilih meja di sudut dekat jendela, lalu membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah novel. Sampulnya masih rapi, bahkan pembungkus plastiknya belum ia lepas. Novel itu ia beli beberapa minggu lalu, namun tak pernah sempat dibaca karena hidupnya selalu diatur Kaelith.

Dengan hati-hati, ia merobek plastik pembungkusnya, membuka halaman pertama, dan mulai membaca. Tatapannya fokus, tapi pikirannya sesekali melayang tentang kebebasan yang selalu ia rindukan. Novel itu seperti celah kecil yang memberinya ruang untuk bernapas, walau hanya sementara.

“Nayara,” suara Nazerin membuat gadis itu menoleh.

“Nazerin? Ada apa?” tanya Nayara sambil menutup novel di tangannya.

Nazerin menarik kursi di depannya, lalu duduk dengan raut wajah serius.

“Aku baru saja mendengar kabar… kekasih Caelisya sudah ditemukan. Kedua orang tuanya bilang, Luthven ternyata salah satu anak dari pewaris keluarga Vemund.”

Mata Nayara melebar. Nazerin melanjutkan, suaranya lebih pelan, seolah menjaga agar tidak terdengar orang lain.

“Kau tahu, bukan? Keluarga Vemund itu keluarga terpandang, baik di Sevilla maupun di Cádiz.”

Nayara terdiam, darahnya seakan berhenti mengalir ketika mendengar nama itu. Vemund. Nama yang selama ini begitu lekat dalam kehidupannya, entah ia suka atau tidak.

“Luthven… keturunan Vemund?” ulang Nayara nyaris berbisik, seperti memastikan dirinya tak salah dengar.

Nazerin mengangguk mantap. “Ya, dan itu menjelaskan banyak hal. Mengapa Caelisya begitu menjaga hubungannya dengan Luthven, bahkan dari kita. Ia pasti tahu kalau identitas itu bisa membawa masalah besar.”

Nayara menggigit bibirnya. Bayangan Kaelith langsung menyeruak di kepalanya tatapan tajam, genggamannya yang selalu mengekang, dan bagaimana lelaki itu tak pernah mengizinkannya benar-benar lepas.

“Tidak mungkin…” gumam Nayara lirih, menunduk agar Nazerin tak melihat wajahnya yang mulai pucat.

"Nayara, kau baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat," tanya Nazerin dengan nada khawatir.

Nayara tersentak kecil, buru–buru mengusap wajahnya seakan tidak ada yang salah.

"A-aku baik-baik saja, Nazerin," jawabnya sambil tersenyum tipis, meski jelas terlihat senyum itu dipaksakan.

Namun Nazerin mengerutkan kening, menatap Nayara penuh selidik. "Kalau ada yang kau sembunyikan, kau bisa cerita padaku. Aku temanmu, Nayara."

Hati Nayara semakin sesak. Ia ingin sekali bercerita, tapi bibirnya terkunci rapat, seakan ada dinding tak kasat mata yang menahannya.

Nayara menarik napas dalam, lalu menutup kembali bukunya.

"Aku hanya… masih terkejut mendengar soal Caelisya," ucapnya pelan, mencoba terdengar wajar. "Aku pikir aku sudah siap, tapi ternyata masih sulit menerima."

Nazerin mengangguk pelan, sorot matanya melunak. "Aku mengerti. Kehilangan sahabat itu memang berat. Tapi kau tidak sendiri, Nayara. Ada aku, ada teman-teman lain."

Nayara tersenyum tipis, meski hatinya tetap terasa berat. Ia tahu Nazerin tulus, namun ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar kehilangan sahabat sesuatu yang tak mungkin bisa ia bagikan.

"Terimakasih, Nazerin," ucap Nayara lirih, sebelum akhirnya ia berdiri dan merapikan bukunya. "Aku harus kembali pulang sekarang."

Nazerin hanya mengangguk, meski dalam hatinya masih menyimpan rasa penasaran atas sikap Nayara.

Di halaman belakang rumah besar keluarganya di Cádiz, Kaelith terlihat sedang berlatih sendirian. Lapangan kecil dengan rumput hijau terawat itu seolah hanya miliknya.

Keringat membasahi pelipisnya, otot-ototnya menegang setiap kali ia mengontrol bola dan menendangnya ke arah gawang kecil di ujung lapangan. Nafasnya teratur, sorot matanya fokus.

Sesekali ia berhenti, mengusap wajah dengan handuk putih yang tergantung di bahunya, lalu kembali berlari mengejar bola.

Meski terlihat seperti latihan fisik biasa, ada beban pikiran yang jelas terlihat dari cara Kaelith menendang bola keras, penuh emosi yang ia sembunyikan.

Hingga akhirnya, suara langkah pelan terdengar mendekat. Seorang pria tua, pelatih pribadi sekaligus asisten keluarga, berdiri di tepi lapangan sambil menatap Kaelith.

"Masih belum bisa melepaskan amarahmu, Tuan Muda?" tanyanya hati-hati.

Kaelith tidak menjawab, hanya menendang bola sekali lagi dengan keras hingga membentur tiang gawang, lalu terdiam menatapnya lama.

Setelah hampir satu jam berlari dan menendang bola, Kaelith akhirnya berhenti. Ia duduk di bangku kayu dekat lapangan, membuka botol air mineral dan meneguknya dalam-dalam. Kaos hitam polos yang melekat di tubuhnya sudah basah oleh keringat.

Tak lama, pintu kaca besar yang menghubungkan lapangan dengan rumah terbuka. Alaric, ayahnya, keluar dengan langkah mantap. Dengan jas rapi yang tak pernah lepas, sosoknya selalu memancarkan wibawa dan jarak yang tegas.

Tatapannya langsung jatuh pada Kaelith tajam dan penuh ketidakpuasan. “Kau masih saja membuang waktumu untuk hal ini?” suaranya datar namun sarat penekanan.

Kaelith mendongak, rahangnya mengeras. “Ini bukan membuang waktu. Aku menjaga tubuhku tetap bugar.”

Alaric mendekat, menatap lapangan dengan pandangan merendahkan. “Sepakbola? Dari awal aku sudah tidak pernah setuju kau melibatkan dirimu dengan hal semacam itu. Itu bukan jalan yang pantas untuk seorang Vemund.”

Kaelith terkekeh pendek, meski nada tawanya pahit. “Bukan jalan pantas menurutmu, papa. Bagiku, ini satu-satunya hal yang membuatku bernapas.”

Alaric mengerutkan kening, tatapannya semakin tajam. “Bernapas? Kau pikir warisan keluarga ini bisa dijaga dengan sekadar berlari di lapangan kotor ini? Kau lahir bukan untuk menjadi pesepakbola, Kaelith. Kau lahir untuk melanjutkan nama Vemund.”

Hening. Kaelith hanya menggenggam bola di sampingnya, menatap rumput di bawah kakinya dengan sorot mata yang penuh perlawanan, namun terpaksa ia telan bulat-bulat di depan ayahnya.

Alaric mendesah pelan, lalu menambahkan dingin, “Selesaikan saja jika kau ingin berkeringat. Setelah itu, masuk ke dalam. Ada hal yang harus kita bicarakan.”

Ia berbalik, melangkah kembali ke dalam rumah, meninggalkan Kaelith yang hanya bisa menghela napas berat, menahan segala yang ingin ia teriakkan.

Kaelith masih duduk diam beberapa menit setelah Alaric pergi. Nafasnya terengah, bukan hanya karena lelah berlatih, tapi juga karena beban yang selalu menghantamnya setiap kali berada di hadapan sang ayah.

Dengan langkah malas, ia akhirnya masuk ke rumah. Aroma khas rumah keluarga Vemund langsung menyambutnya wangi bunga segar yang selalu berganti setiap hari, bercampur dengan kesan mewah yang kaku.

Di ruang utama, ibunya, Liora Venesse Vemund, sudah menunggu. Wanita itu duduk anggun di sofa, gaun elegan berwarna biru langit membalut tubuhnya. Senyum lembut sempat muncul ketika melihat putranya masuk, meski senyum itu cepat pudar begitu melihat sorot mata Kaelith yang gelap.

“Kaelith,” panggil Liora pelan, seolah takut menambah beban di pundak putranya. “Kau baik-baik saja?”

Kaelith menghela napas, meletakkan bola di sudut ruangan sebelum menjawab, “Aku baik-baik saja, Mama. Papa hanya... tetap menjadi Papa.”

Liora menatapnya penuh iba. Ia tahu betul bagaimana kerasnya Alaric mendidik Kaelith, seakan putranya bukanlah anak, melainkan penerus nama besar semata.

“Dia hanya ingin yang terbaik untukmu,” ucap Liora, meski nada suaranya terdengar ragu, seakan kalimat itu lebih ditujukan untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Kaelith terkekeh, getir. “Terbaik untukku? Tidak, Ma. Terbaik untuk nama keluarga. Itu saja.”

Keheningan melingkupi mereka sejenak. Liora ingin meraih tangan Kaelith, namun ia tahu betapa pria muda itu membenci kelembutan yang hanya terasa semu di tengah dinginnya aturan keluarga.

Tiba-tiba, suara langkah berat Alaric terdengar. Pria itu muncul di ruang utama, tatapannya kembali mengunci pada Kaelith.

“Duduk,” ucapnya singkat.

Kaelith menegakkan tubuh, wajahnya menegang. Ia tahu, apa pun yang akan keluar dari mulut ayahnya kali ini, tidak akan pernah mudah untuk diterima.

Alaric menatap putranya tajam, tatapan penuh amarah dan kekecewaan.

“Kau sungguh memalukan, Kaelith,” suaranya berat, menekan setiap kata. “Kau tidak hadir di acara pernikahan Kevin—acara penting untuk keluarga besar kita. Dan apa yang kau lakukan? Malah bersenang-senang dengan gadis miskin itu.”

Kaelith mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Ia menatap balik ayahnya, sorot matanya penuh amarah yang tertahan.

“Dia bukan sekadar ‘gadis miskin’, Papa,” balas Kaelith, suaranya rendah namun jelas.

Alaric mendengus sinis. “Hanya perempuan tanpa nama, tanpa asal-usul, yang tidak layak berjalan sejajar dengan seorang Vemund. Dan kau... kau membiarkan reputasi keluarga kita hancur karenanya.”

“Reputasi?” Kaelith terkekeh getir, senyum penuh sarkasme tersungging di wajahnya. “Papa lebih peduli pada apa kata orang daripada putramu sendiri.”

Liora yang duduk di sofa menunduk, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Wanita itu ingin menengahi, tetapi tahu bahwa percuma jika dua lelaki Vemund ini sudah saling beradu.

“Kau akan kembali ke jalur yang seharusnya, Kaelith,” ucap Alaric dingin. “Kau akan menikah dengan gadis yang setara denganmu, bukan membuang waktumu bersama seorang gadis rendahan.”

“Persetan!” Kaelith membentak, suaranya bergema memenuhi ruang luas itu. Rahangnya mengeras, matanya menatap tajam pada ayahnya. “Aku tak akan pernah menjadi Kevin yang menikah tanpa cinta. Menikah hanya demi bisnis, hanya demi apa yang Papa sebut sebagai ‘masa depan’? Itu bukan hidupku!”

Alaric membeku sesaat, sebelum tawanya yang sinis pecah. “Kau pikir dunia ini berjalan dengan cinta, Kaelith? Kau terlalu naif. Masa depanmu bukan milikmu seorang, itu adalah milik keluarga ini. Dan kau... kau hanyalah bagian dari permainan yang jauh lebih besar dari egomu.”

Liora menelan ludah, tangannya mengepal di pangkuannya. Ia bisa merasakan ketegangan yang hampir pecah menjadi ledakan.

“Cukup!” suara Liora akhirnya terdengar, tegas meski bergetar. Ia berdiri di antara ayah dan anak itu, seakan menjadi tembok tipis yang bisa runtuh kapan saja.

“Papa, Kaelith… kalian berdua terlalu keras kepala,” ucapnya sambil menatap keduanya bergantian. “Papa, Kaelith bukan Kevin. Dia punya jalannya sendiri, dan memaksanya hanya akan membuat jarak ini semakin lebar. Dan Kaelith,” Liora menoleh pada putranya, suaranya melembut, “kau harus mengerti, apa pun alasannya, Papa hanya ingin yang terbaik untukmu. Hanya caranya… mungkin berbeda dengan yang kau harapkan.”

Kaelith mendengus, matanya masih menyala marah, namun rahangnya mulai mengendur. Sementara Alaric menghela napas panjang, menahan gejolak emosi yang nyaris meledak lagi.

Kaelith meraih jaketnya dengan kasar, wajahnya tak lagi menoleh pada Alaric maupun Liora. Ia melangkah cepat, setiap hentakan sepatunya memantul di lantai marmer rumah keluarga Vemund.

“Kaelith!” panggil Liora, mencoba menghentikan langkah putranya. Namun pria itu hanya mengangkat tangan seakan memberi isyarat cukup, tanpa kata-kata.

Pintu utama terbanting keras saat Kaelith keluar. Udara Cadiz yang seharusnya menenangkan justru terasa menyesakkan baginya. Jauh-jauh ia datang dari Sevilla hanya untuk mendengar caci-maki yang sama amarah, tuntutan, dan kekecewaan yang tak pernah berakhir.

Tangannya mengepal di saku celana, mata menatap kosong ke arah jalanan yang lengang. “Sial,” gumamnya, suara parau, “aku muak dengan semua ini.”

1
Intan Marliah
Luar biasa
Randa kencana
Ceritanya sangat menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!