Zahira terpaksa menerima permintaan pernikahan yang diadakan oleh majikannya. Karena calon mempelai wanitanya kabur di saat pesta digelar, sehingga Zahira harus menggantikan posisinya.
Setelah resepsi, Neil menyerahkan surat perjanjian yang menyatakan bahwa mereka akan menjadi suami istri selama 100 hari.
Selama itu, Zahira harus berpikir bagaimana caranya agar Neil jatuh cinta padanya, karena dia mengetahui rencana jahat mantan kekasih Neil untuk mendekati Neil.
Zahira melakukan berbagai cara untuk membuat Neil jatuh cinta, tetapi tampaknya semua usahanya berakhir sia-sia.
Bagaimana kelanjutan kisahnya? Ikuti terus cerita "100 Hari Mengejar Cinta Suami" tentang Zahira dan Neil, putra kedua dari Melinda dan Axel Johnson.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.23
"Siapa, yang menyuruhmu, masuk?" celetuk Ana dari belakang Neil dan Livia.
"Ana, Mo-mommy, Daddy." Gumam Neil, dia merasakan kebencian dari mata kedua orang tuanya. Bahkan dia bisa melihat wajah Melinda yang terlihat pucat.
****
Dengan langkah pasti, Melinda menghampiri anak yang sangat dia sayangi. Bagaimana pun Neil, dia tetap anaknya maka dari itu Melinda akan menyadarkan Neil. Bahwa, perempuan di sampingnya ini tidaklah baik.
Tamparan keras Melinda berikan pada Livia, membuat semua orang syok. Mereka kira, Melinda akan menampar Neil
"Ta-tante," lirih Livia, selama ini Melinda selalu baik padanya. Karena kesalahannya dia tega melakukan ini.
"Mommy," pekik Neil, terkejut dia tak menyangka bahwa ibunya akan menampar sang kekasih.
"Kamu ... Wanita perusak hubungan orang," teriak Melinda, meski merasakan sakit diabaikan.
"Sayang, sudahlah. Biar aku yang urus," kata Axel menghampiri Melinda, tadi dia hanya melihat Melinda menampar Livia.
"Tidak bisa, aku harus menyadarkan anak durhaka ini." Bentaknya pada Axel, Axel pun pasrah dan hanya berdiri di dekatnya.
"Kamu, pergi dari sini. Kamu bukan menantu ku atau bagian keluarga ini," katanya dengan tegas.
"Tapi, Tan. Aku sedang hamil anaknya Neil." Livia mencoba membela diri dan menolak pergi, dia tak ingin pergi dari keluarga Johnson.
"Kamu yakin?" Melinda tersenyum miring menatap Livia. "kamu yakin, itu anaknya Niel?"
"I-iya," jawab Livia dengan menunduk.
"Baiklah, kita lakukan tes DNA." Kata Melinda.
"Mom, aku yakin dia anakku." Sela Neil, yang sejak tadi hanya diam. Tidak berani ikut bicara
"Ya maka lakukan, apa yang aku minta. Sebelum kalian melakukan apa yang aku minta, jangan pernah masuk rumah ini."
"Mommy, aku sudah tidak punya apa pun lagi. Aku mohon, izinkan aku tinggal disini." Neil berlutut di hadapan Melinda, membuat Melinda menatapnya nanar tak percaya bahwa anaknya telah di butakan oleh cinta.
"Apa kamu lupa, Neil. Tentang perjanjian kita?" celetuk Axel.
Neil mengingat tentang perjanjian dengan Axel, jika dia menceraikan Zahira maka seluruh bagiannya akan menjadi milik Zahira.
"Aku ingat Daddy, tapi ... Apa kalian, tega pada anak kalian sendiri?" tanya Neil, dia menatap Axel. Namun, saat ingin menatap Melinda sang ibu memalingkan wajahnya.
"Kamu saja tega, pada istrimu meninggalkan di tempat asing." Teriak Melinda, penuh dengan emosi tak habis pikir dengan jalan pikir Neil.
"Maksudmu apa, Mom?" tanya Neil, dia selalu meyakini bahwa Zahira baik-baik saja.
"Sudahlah Mom, percuma bicara dengannya. Dia sudah di butakan oleh cinta wanita ular ini," cetus Ana, lalu menarik Melinda masuk ke dalam rumah.
Dia tidak mau ibunya tiba-tiba pingsan karena sang kakak, entahlah Neil jadi lemah dan tidak bisa tegas.
"Mommy," panggil Neil, dia menatap sang ibu yang sudah masuk ke dalam rumah.
Neil memandang sang Ayah, dan menatapnya dengan nanar.
"Ibu mu benar, Neil. Jika ingin di terima di rumah ini. Maka, lakukan tes DNA secepatnya Daddy akan membayar tes DNA itu." Jelas Axel, Neil pun tetap menolak keinginan keluarganya dia yakin jika anak yang dikandung Livia adalah anaknya.
"Ya sudah, terserah kamu." Axel pergi masuk ke dalam rumah, setelah memberikan kunci mobil untuk di masukan.
"Maaf, Mas, sebaiknya anda pergi saja." Usir Pak Jono.
"Pak izinkan kami masuk," mohon Livia tak akan menyerah.
"Mas Neil, atau anda mau di tabrak?" tanya Pak Jono, saat melihat mobil sudah dihidupkan.
Neil pun terpaksa menepi, dia menarik koper milik Livia.
"Neil."
"Kita kembali, ke apartemenmu." Putus Neil.
"Tapi Neil..."
"Livia, aku mohon. Dengarkan aku, ibu ku sedang marah. Jadi ayo kita pergi dulu," kata Neil.
"Tidak, aku tidak mau." Tolak Livia dengan tegas, Neil membuang nafasnya dengan kasar. Entah harus bagaimana lagi membujuk Livia.
"Baiklah, jika itu mau mu. Tetaplah disini," ujar Neil, dia meninggalkan Livia sendiri di depan rumah keluarganya.
Ana menatap Neil dan Livia dari dalam kamar, menggeleng karena Livia tak mau pergi. Sedangkan Neil sudah lebih dulu meninggalkan rumahnya.
"Seandainya kamu sadar dan mau menerima Zahira, mungkin semuanya tidak akan seperti ini." Gumam Ana.
Ana keluar dari kamarnya untuk melihat kondisi Melinda, bahkan Neil tidak memikirkan kondisi sang ibu.
"Anak macam apa, Neil ini? Bisa-bisanya Mommy lahirin anak macam Neil," gerutu Ana.
"Mom," panggil Ana, di lihat sang ibu sedang melamun.
"Sudah Mom, jangan terlalu memikirkan Kak Zahira. Berdoalah semoga dia baik-baik saja," papar Ana.
"Tapi, Mommy sungguh khawatir sama kakak iparmu," lirih Melinda.
"Kak Nathan bilang, dia sudah mendapatkan petunjuk." Beritahu Ana.
Ana pun menceritakan semua informasi dari Nathan, agar Melinda lebih tenang dan fokus pada kesehatannya.
***
Sementara itu, Nathan sudah mendatangi rumah sakit dimana Zahira sempat dirawat. Namun, pihak rumah sakit tidak ingin memberitahukan informasi pasiennya.
"Tapi, saya keluarganya." Kata Nathan.
"Maaf, Tuan, nona Zahira bilang dia tidak memiliki keluarga."
Nathan memejamkan mata, dia pun memutuskan untuk kembali lagi besok. Untuk bicara dengan yang lebih berkuasa di rumah sakit tersebut, hari sudah mulai sore. Jika pulang ke rumah Velia, akan sangat lama maka Nathan memutuskan untuk menginap di rumah Maureen.
"Ayo pulang, aku akan menginap di rumahmu."
"Hah, menginap?" ulang Maureen.
"Ya, ayo cepat naik. Atau mau di tinggal?"
"Tidak, tidak."
Setelah mendapatkan posisi nyaman, Maureen pun memberanikan diri bertanya untuk memastikan bahwa Nathan akan menginap.
"Tuan, apa anda benar-benar ingin menginap?" tanya Maureen.
"Ya."
"Tapi, kenapa, anda menginap di rumah saya?"
"Memang kenapa, tidak boleh?" ketus Nathan. "anggap saja, itu hukuman untukmu karena merepotkan saya."
"Merepotkan?" gumam Maureen.
"Memang saya merepotkan, apa?"
"Hah, sudahlah percuma bicara dengan mu."
Maureen mencebik dia pun mencubit pinggang Nathan, walau Nathan tak bereaksi atas cubitannya. Tapi dia sangat kesal.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah sampai di pekarangan rumah Maureen. Julian belum pulang, karena terlihat cahaya dari dalam belum menyala.
"Huh! Kamu berat sekali, kurangi makan." Celetuk Nathan, membuat Maureen yang akan membuka pintu berhenti dan melirik Nathan dengan sinis.
"Enak aja, gue gak berat ya." Omelnya.
Maureen masuk begitu saja, dia tak mempersilahkan Nathan masuk. Maureen pun langsung menuju kamar mandi, tanpa membawa baju ganti entah dia lupa atau sengaja.
Nathan sendiri yang berada di luar, melirik sekilas ke dalam rumah.
"Benar-benar keterlaluan wanita itu, membiarkan tamu begitu saja." Protes Nathan.
Nathan masuk begitu saja. Namun, dia malah tak sengaja melihat Maureen yang berjalan cepat memakai baju yang basah. Dan tercetak jelas dalamnya, seketika Nathan membalikan badannya beruntungnya Maureen tak mengetahui dirinya.
"Astaga, perempuan itu. Benar-benar yah!" Nathan menggelengkan kepalanya, dia pun memilih duduk di teras saja mencari aman.
Bersambung...
Maaf typo
lanjut Thor
emang enak