kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..
berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.
hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menjalankan hukuman...
Di antara deru ombak yang memecah kesunyian malam dan aroma asin laut yang menusuk hidung, pelabuhan terbengkalai itu selalu menjadi saksi bisu.
Lima menit terasa seperti keabadian bagi Axel, yang berdiri tegap di samping tumpukan kontainer usang. Tatapannya tajam, menyapu kegelapan, mencari siluet yang dikenalnya. Ini adalah tempat biasa, medan perang tak terlihat di mana kesepakatan bernilai jutaan terjalin, jauh dari hiruk pikuk kota.
Dan kemudian, mereka datang. Lampu sorot mobil hitam membelah pekatnya malam, perlahan mendekat, cahayanya menari-nari di genangan air. Namun, ada yang berbeda kali ini. Di balik kaca gelap, Axel bisa melihat tidak hanya Bima, pembeli lamanya, tetapi juga sosok lain, seorang wanita.
"Maaf, Tuan Axel menunggu lama," suara Bima memecah keheningan, terdengar sedikit lebih ramah dari biasanya, namun dengan nada licik yang selalu Axel waspadai.
Bima melangkah keluar dari mobil, diikuti oleh seorang wanita muda yang tampak tidak nyaman dalam balutan gaun minim, matanya menunduk, menghindari kontak mata.
Alis Axel terangkat sedikit. Baru kali ini dalam sekian banyak transaksi, Bima membawa 'bonus' seperti ini. Sebuah rasa jijik tipis menyelinap di benaknya, bercampur dengan keheranan.
Ia selalu menjaga profesionalismenya, dan hal ini terasa seperti pelanggaran tak tertulis.
"Tidak apa-apa, Tuan Bima," jawab Axel, suaranya datar, berusaha menyembunyikan kekesalannya. Ia mengulurkan tangan untuk bersalaman, genggaman mereka singkat dan tegas, sebuah isyarat perjanjian yang tak terucap.
Pihak pembeli mulai memeriksa barang, senter kecil menyusuri setiap sudut peti. Axel menyaksikan mereka, sesekali melirik wanita yang berdiri membeku di samping mobil, tubuhnya bergetar samar karena dingin atau mungkin ketakutan. Ia bertanya-tanya, apa kisah di balik mata kosong itu?
Setelah pemeriksaan dirasa cukup, anggukan persetujuan diberikan. Uang berpindah tangan, berat dan dingin dalam genggaman Axel. Sebuah kesepakatan lain telah selesai, sebuah babak baru dimulai.
"Semoga kerja sama kita berlanjut ya, Tuan Axel," ucap Bima, senyumnya melebar, menampilkan deretan gigi putih yang terlihat terlalu sempurna dalam remang.
"Semoga saja ya, Tuan Bima," balas Axel, senyum tipis di bibirnya tidak mencapai matanya. Ia hanya ingin semua ini berakhir.
Saat Bima berbalik untuk masuk ke mobil, ia berhenti, menoleh kembali ke arah Axel. "Sebagai bonus, Tuan, ku kasih dia ke Tuan," bisiknya, suaranya merendah, nyaris berdesir seperti ular. "Masih gadis."
Kata-kata itu bagaikan tamparan. Emosi Axel bergejolak. Marah. Muak.
Bukan karena tawaran itu sendiri, tetapi karena ia menganggapnya sebagai penghinaan terhadap nilai-nilai yang ia pegang teguh.
"Tidak perlu, Tuan Bima," tolak Axel, suaranya tenang namun mengandung kekuatan yang tak terbantahkan.
"Saya cukup dengan istri saya." Ia mengucapkan nama Rara dalam hati, sebuah pengingat akan komitmen dan cintanya.
Bima terdiam sejenak, senyumnya memudar. "Wah, wah, tipikal setia ini, Tuan Axel," katanya, nada suaranya berubah menjadi sedikit mengejek, namun ada sedikit rasa hormat yang terselip di sana. "Ya sudah, kami permisi dulu."
Mereka pun berpisah. Mobil Bima menjauh, meninggalkan Axel sendirian dalam keheningan yang tiba-tiba terasa jauh lebih berat. Wanita itu, bonus yang ditolak, telah pergi bersama mereka.
Sebuah beban tak terlihat terangkat dari dada Axel. Ia benci cara dunia bisnis terkadang mengikis kemanusiaan, bagaimana manusia diperlakukan seperti komoditas.
"Tomy!" panggil Axel, suaranya memecah keheningan malam. Seorang pria kekar muncul dari bayangan, wajahnya serius.
"Besok antar Lion Tiger ke mansion. Dan pastikan Rico dan Mark siap. Besok mereka free, jadi tak ada alasan untuk menunda hukuman mereka."
Ada nada dingin dalam suaranya, janji akan pembalasan. Kesetiaan adalah mata uang yang mahal dalam dunianya, dan pengkhianatan takkan dimaafkan.
"Gue cabut dulu," ucap Axel kepada anak buahnya yang lain, sebelum masuk ke mobilnya sendiri.
Di dalam mobil lain, Rico, Mark, dan si kembar duduk dalam keheningan mencekam. Kata-kata Axel tadi masih menggantung di udara, bayang-bayang hukuman yang menanti mereka. Ada ketegangan yang nyata di antara mereka, kegelisahan yang tak terucap.
Perjalanan pulang terasa panjang bagi Axel. Pikirannya melayang pada Rara, kehangatan rumah, dan ketenangan yang hanya bisa ia temukan di sana.
Ketika akhirnya ia tiba di mansionnya, ia membuka pintu kamar secara perlahan-lahan, nyaris tak bersuara, takut mengganggu tidur pulas Rara, satu-satunya tempat di mana ia bisa melepas topeng baja seorang pebisnis kejam dan menjadi dirinya sendiri. Ia melangkah masuk, membiarkan kegelapan merengkuhnya, dan bayangan hari yang berat perlahan sirna.
Setelah membersihkan diri dari sisa-sisa transaksi di pelabuhan yang dingin, Axel melangkah pelan menuju ranjang.
Aroma tubuh Rara, perpaduan lembut bunga dan kehangatan kulit, adalah satu-satunya penawar penat yang ia butuhkan.
Ia berbaring, membalikkan tubuh Rara agar menghadapnya, memeluknya erat seolah ingin menghapus jejak dunia luar yang keras.
Rara menggeliat sedikit, senyum kecil terukir di bibirnya dalam tidurnya, merespons sentuhan suaminya bahkan dalam alam mimpi. Axel mencium keningnya, sebuah janji tak terucapkan akan perlindungan dan cinta.
Sinar mentari pagi mulai menampakkan sinarnya, mengintip malu-malu dari celah-celah tirai sutra, melukis garis-garis emas di lantai kamar. Kehangatan pagi menyelimuti mereka, mengusir dinginnya malam dan mimpi-mimpi buruk. Rara mengerjap, matanya perlahan terbuka, menemukan sepasang mata gelap yang memujanya.
"Morning, Mas," bisiknya, suaranya serak karena baru bangun. Sebuah kecupan lembut mendarat di bibir Axel, singkat namun sarat makna. Ketika ia ingin beranjak turun, sebuah tangan kekar menahan pinggangnya, menariknya kembali ke dalam pelukan.
"Kamu bikin yang di bawah bangun, Sayang," bisik Axel, suaranya dalam dan sensual, bibirnya menyapu telinga Rara, mengirimkan gelombang geli ke seluruh tubuh wanita itu.
Senyum nakal tersungging di bibirnya. Tanpa menunggu jawaban, Axel memulai ciuman. Sebuah ciuman penuh gairah yang perlahan mengikis setiap sisa kantuk, menggantikan dengan kehangatan yang membakar.
Desahan demi desahan lembut keluar dari bibir Rara, melarut dalam ciuman yang semakin dalam. Aroma maskulin Axel memabukkannya, membangkitkan hasrat yang tersembunyi.
Axel memindahkan tubuh Rara, menempatkannya di atas tubuhnya, membiarkan kehangatan kulit mereka bersentuhan. Perlahan namun pasti, benda pusaka yang telah mengeras itu memasuki gua kenikmatan, mengisi kekosongan yang mereka rasakan. Ritmik dan penuh cinta, setiap gerakan adalah sebuah simfoni hasrat yang membangun.
Satu jam mereka memadu kasih, menyiram benih-benih cinta yang telah tumbuh subur di antara mereka. Keringat membasahi kulit, napas terengah-engah, namun mata mereka tetap terpaku satu sama lain, memancarkan cinta yang tak terbatas.
Pagi itu menjadi kanvas bagi ekspresi cinta mereka yang paling murni.
Setelah mencapai puncaknya, mereka memutuskan untuk mandi bareng.
Percikan air shower yang hangat jatuh membasahi tubuh mereka, membersihkan bukan hanya keringat, tetapi juga segala beban pikiran. Namun, bukan Axel namanya jika ia tidak meminta "nambah".
Di derasnya guyuran shower, tawa Rara berbaur dengan desahannya, saat mereka melakukannya lagi, melengkapi pagi yang penuh gairah dengan sentuhan romansa di bawah air.
Sementara itu, di lantai bawah, mansion telah hidup dengan aktivitas yang berbeda. Maya sudah sibuk berkutat di dapur, aroma kopi dan masakan pagi mulai menyebar ke seluruh penjuru rumah. Ia menyiapkan menu sarapan favorit untuk para penghuni rumah, dengan senyum tipis di bibirnya, seolah tahu energi macam apa yang sedang terjadi di lantai atas.
Di luar mansion, Vany dan Vanya, si kembar yang energik, sudah memulai rutinitas pagi mereka. Dengan pakaian olahraga yang pas, mereka berjoging mengelilingi area mansion yang luas, menghirup udara segar dan membiarkan otot-otot mereka meregang.
Mungkin sudah berjodoh, atau mungkin takdir memang punya cara yang aneh, Mark juga terlihat sedang berolahraga pagi. Ia berlari dari arah yang berlawanan, dengan keringat membasahi dahinya, ketika tak sengaja berpapasan dengan Vanya.
Mata mereka bertemu sejenak, sebuah percikan kecil terlihat sebelum Mark mengangguk singkat dan berlalu, meninggalkan Vanya dengan pertanyaan dan sedikit rona merah di pipinya.
Hukuman yang menanti Mark hari itu seolah terlupakan sesaat, digantikan oleh interaksi tak terduga ini.
Waktu sarapan pagi tiba, membawa aroma gurih masakan Maya yang menguar dari dapur.
Axel dan Rara turun menuruni anak tangga, aura kehangatan masih melekat pada mereka setelah pagi yang penuh gairah. Rara terlihat segar dan berseri, sementara Axel, meskipun penampilannya rapi dan tenang, memancarkan wibawa yang tak bisa disembunyikan.
Ketika mereka sampai di meja makan, Mark sudah duduk di sana, terlihat sedikit lebih tegang dari biasanya, mungkin bayangan hukuman yang menantinya masih menghantui.
Vany dan Vanya juga sudah bergabung, wajah mereka merona segar setelah berolahraga pagi. Namun, satu kursi masih kosong.
"May, tolong bangunin Rico," perintah Axel, suaranya tenang namun mengandung otoritas.
"Baik, Tuan," jawab Maya, segera melepaskan celemeknya dan bergegas menuju kamar Rico. Ia tahu betul bagaimana suasana hati Rico di pagi hari, dan ia juga tahu, perintah dari Axel tak bisa ditawar.
Karena pintu tidak terkunci, Maya memelankan langkahnya, mengetuk dua kali sebelum perlahan membuka pintu dan memasukinya. Kamar Rico masih diselimuti kegelapan samar.
"Kak Rico, bangun, sudah siang," ucap Maya lembut, mendekati ranjang dan menggoyang-goyangkan tangan Rico pelan.
"Apa sih, Sayang," gumam Rico, suaranya serak khas orang baru bangun tidur. Tanpa membuka mata, ia menarik tangan Maya, membuat gadis itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh dalam dekapannya. Sebuah "cup" lembut mendarat di kening Maya, sentuhan yang selalu membuat jantung Maya berdesir. Meskipun status mereka berbeda, ada ikatan tak terucapkan di antara keduanya.
"Kak Rico sudah ditungguin Tuan Axel," bisik Maya, berusaha melepaskan diri dari pelukan Rico yang hangat, namun ada senyum tipis di bibirnya.
Mendengar nama Axel, Rico sontak membuka mata. Ia teringat akan hukuman yang menantinya.
Ciuman manis dari Maya sejenak membuatnya melupakan beban itu, tetapi kini realitas kembali menyapa.
Rico bergegas bangkit, mencuci muka seadanya, lalu keluar menyusul Maya, langkahnya terburu-buru.
Beberapa saat kemudian, Rico muncul di ruang makan, rambutnya masih sedikit acak-acakan.
"Pagi, Tuan," sapanya basa-basi pada Axel, suaranya berusaha terdengar santai meskipun ada sedikit kegugupan yang tersembunyi.
Mereka pun mulai sarapan. Suasana di meja makan hening, hanya dentingan sendok yang terdengar beradu dengan piring. Tidak ada percakapan, hanya sesekali pandangan singkat bertukar antara para pengawal dan si kembar. Ketegangan masih terasa, terutama bagi Rico dan Mark.
Tiba-tiba, suara langkah kaki tergesa-gesa memecah kesunyian. Tomy muncul, dengan napas terengah-engah.
"Pagi, Tuan! Lapor, Tuan, Lion Tiger sudah berada di depan!" ucapnya penuh hormat, matanya berbinar.
Axel mengangguk puas. "Oke, Tom, terima kasih," jawabnya singkat.
"Kak Tomy sudah sarapan belum? Kalau belum, sarapan dulu, masih ada makanan," suruh Rara, dengan senyum ramah yang selalu bisa mencairkan suasana. Ia melihat Tomy yang biasanya tidak berani duduk bersama mereka di meja makan utama.
Tomy melirik Axel, meminta izin. Axel mengangguk kecil, memberikan lampu hijau. Tomy pun segera mengambil piring, sedikit canggung, namun wajahnya menunjukkan rasa terima kasih yang tulus.
Saat sarapan hampir selesai, Axel meletakkan sendoknya. Tatapannya beralih ke Rico dan Mark, ekspresinya kembali serius. "Rico, Mark, jangan lupa hukuman kalian," ucapnya, suaranya rendah namun penuh penekanan.
Sebuah peringatan yang jelas, tanpa ada ruang untuk bantahan. Rico dan Mark hanya bisa mengangguk, menelan ludah, bayangan hukuman itu semakin nyata.
"Mas..." Rara menyentuh lengan Axel, wajahnya berbinar penuh harap. "Rara mau pegang Lion boleh, ya?" pintanya dengan suara memohon, matanya berkedip manja, sebuah taktik yang sering kali berhasil meluluhkan hati Axel.
Axel menatap istrinya, senyum tipis tersungging di bibirnya. Ia tahu, Rara selalu punya cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, terutama jika itu adalah sesuatu yang tidak berbahaya. "Lion Tiger" yang dimaksud Tomy jelas hewan buas sungguhan, tetapi mereka sudah jinak,sesuatu yang sangat berharga dan mungkin baru bagi Rara.
Raut wajah Rara berseri-seri saat Axel mengantarnya ke halaman belakang mansion. Di sana, terparkir dua kendaraan besar yang gagah, bersinar di bawah mentari pagi. Bukan harimau dan singa sungguhan seperti yang mungkin dibayangkan orang, melainkan dua mobil mewah terbaru, SUV berukuran raksasa dengan desain agresif dan warna gelap yang mendominasi – yang satu dijuluki "Lion" dan yang lain "Tiger". Ini adalah koleksi terbaru Axel, dan ia jarang sekali membiarkan siapapun mendekat, apalagi menyentuhnya.
"Wah, Mas! Ini Lion sama Tiger?" seru Rara, matanya membesar penuh kekaguman. Tanpa ragu, ia mendekati 'Lion', mengelus kap mobilnya yang mulus, seolah-olah sedang mengelus seekor kucing besar. Anehnya, atau mungkin memang begitulah pesona Rara, setiap sentuhannya terasa pas. Tidak ada kerutan di dahi Axel, tidak ada peringatan keras. Ia hanya tersenyum tipis melihat tingkah istrinya.
Lion seolah merespons sentuhan lembut Rara. Lampu depannya berkedip sekali, seperti mengedipkan mata, dan suara mesinnya mendengung pelan, seolah mendengkur. Rara tertawa senang, lalu beralih ke 'Tiger' yang tak kalah sangar. Hasilnya sama. Tiger pun seolah takluk di bawah belaian Rara, lampu kabinnya menyala sesaat, memberikan sambutan yang hangat.
Axel hanya menggelengkan kepala, terheran-heran. Entah mengapa, dua 'binatang buas' kesayangannya yang biasanya tak bisa disentuh sembarangan, begitu menyukai Rara. Mungkin karena aura murni Rara yang berbeda dari orang lain. Setelah puas bermain-main dan mengagumi kemegahan 'Lion' dan 'Tiger', Rara berbalik ke arah Axel, wajahnya masih memancarkan kebahagiaan.
Saat itulah, Axel teringat hukuman yang menanti. Tatapannya beralih ke Rico dan Mark yang sedari tadi berdiri agak jauh, berusaha tidak terlihat, namun jelas-jelas menunggu giliran mereka.
"Sudah waktunya mandiin Lion," perintah Axel, suaranya tenang namun jelas. Ia tidak menyebutkan nama, tetapi Rico dan Mark tahu betul siapa yang dituju.
Seketika, ekspresi Rico dan Mark berubah tegang. Kaki mereka terasa seperti jelly, dag-dig-dug jantung mereka berdentam keras di dada. Memandikan 'Lion'? Sebuah tugas yang biasanya hanya Axel sendiri yang berani lakukan, atau sangat jarang, dengan pengawasan ketatnya. Tidak ada yang berani mendekati kendaraan itu tanpa izin Axel, apalagi menyentuh cairan pembersih padanya. Mereka melangkah maju, kaki gemetar, seolah menuju tiang gantungan.
Melihat keraguan mereka, sisi jail Axel muncul. Dengan seringai tipis di bibirnya, ia mendorong punggung Rico dan Mark secara bersamaan, membuat mereka terhuyung dan nyaris tersungkur ke arah 'Lion'.
Seketika, tawa pecah dari semua yang ada di mansion yang menyaksikan adegan itu. Vany dan Vanya tertawa terbahak-bahak, sementara Tomy dan anak buah lain berusaha menahan tawa, namun bahu mereka bergetar. Bahkan Maya yang baru keluar untuk melihat, menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan senyum. Rico dan Mark, yang biasanya sangar, kini menjadi bahan tertawaan.
Dengan tangan gemetar, Rico mencoba mengelus punggung 'Lion', berharap mobil itu akan bersikap lunak seperti saat disentuh Rara. Baru saja tangannya ingin mendekat, tiba-tiba—klik!—lampu depannya menyala terang, tatapan tajam nan mematikan seolah memelototi mereka, diikuti oleh suara klakson yang menggelegar, membuat Rico dan Mark melonjak kaget, nyaris terjatuh. 'Lion' seolah menolak sentuhan mereka, persis seperti harimau yang marah.
"Woah!" seru Rico, mundur selangkah, wajahnya pucat. Mark di sampingnya tak kalah terkejut. Mereka berdua saling pandang, jelas-jelas tidak tahu harus berbuat apa. Mandi 'Lion' ternyata tidak semudah yang mereka kira..
semua anak buah good Banggt menurut ku kaya di film badabest Banggt 👍
lanjut Thor
Weh Weh obat perangsang dah ga laku lah let lagu lama itu