Update tiap hari ~
Follow Instagram: eido_481
untuk melihat visual dari karakter novel.
Setelah begadang selama tujuh hari demi mengejar deadline kerja, seorang pria dewasa akhirnya meregang nyawa bukan karena monster, bukan karena perang, tapi karena… kelelahan. Saat matanya terbuka kembali, ia terbangun di tubuh pemuda 18 tahun yang kurus, lemah, dan berlumur lumpur di dunia asing penuh energi spiritual.
Tak ada keluarga. Tak ada sekutu. Yang ada hanyalah tubuh cacat, meridian yang hancur, akibat pengkhianatan tunangan yang dulu ia percayai.
Dibuang. Dihina. Dianggap sampah yang tak bisa berkultivasi.
Namun, saat keputusasaan mencapai puncaknya...
[Sistem Tak Terukur telah diaktifkan.]
Dengan sistem misterius yang memungkinkannya menciptakan, memperluas, dan mengendalikan wilayah absolut, ruang pribadi tempat hukum dunia bisa dibengkokkan, pemuda ini akan bangkit.
Bukan hanya untuk membalas dendam, tapi untuk mendominasi semua.
Dan menjadi eksistensi tertinggi di antara lang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eido, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan
Langit pagi itu tampak bersih, seolah-olah alam sendiri telah merestui hari besar keluarga Qin. Cahaya mentari mengalir lembut melewati dedaunan, menari di atas lantai batu halaman utama kediaman keluarga Qin yang kini telah berubah sepenuhnya. Warna merah mendominasi, lentera-lentera digantung rapi di sepanjang jalan menuju aula pernikahan. Kain sutra dan hiasan simbol kebahagiaan memenuhi tiap sudut bangunan dengan nuansa perayaan khas pernikahan tradisional Tiongkok.
Namun malam sebelumnya, di tepi sungai tempat cinta mereka mengakar lebih dalam, sesuatu sempat terjadi.
.....
Napas Feng Jian terengah, dadanya naik turun perlahan saat bibirnya terlepas dari ciuman panjang yang penuh hasrat. Qin Aihan masih mendekapnya, matanya memejam tipis dan desahannya terdengar lembut.
"Hmpssshh.... uhh, ah..."
nyaris seperti bisikan angin yang memabukkan. Namun di tengah kobaran gairah yang mulai menguasai suasana, Feng Jian mengangkat tangannya, menepuk pundak Aihan dengan lembut, lalu mendorongnya sedikit menjauh.
"Aihan..." bisiknya dengan suara serak tertahan.
Qin Aihan membuka mata, lalu tersenyum kecil dengan geli, ada kilatan kenakalan di sorot matanya. “Maaf… aku tak tahu kenapa, aku begitu ingin terus menciummu.”
Feng Jian hanya menggeleng pelan, tersenyum samar, namun tatapan matanya tetap dalam. “Kita punya seumur hidup untuk itu." katanya lembut.
Dengan senyum malu-malu, Qin Aihan kembali mengenakan kaus kaki panjangnya, dan mereka berdua berjalan pulang bersama, tangan mereka saling menggenggam erat dalam keheningan malam yang penuh makna.
.....
Keesokan harinya, suara tambur dan seruling menyambut pagi. Dekorasi merah cerah dan emas menghiasi aula utama. Para tamu keluarga Qin sudah duduk rapi, mengenakan pakaian terbaik mereka, menanti momen sakral dua hati bersatu. Aroma dupa, bunga segar, dan angin pagi berpadu menjadi kesempurnaan yang tenang.
Di tengah aula, berdirilah Feng Jian.
Chang Pao Ma Gua berwarna merah tua dengan bordiran naga emas membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya diikat rapi, wajahnya tenang dan tegas. Sorot matanya membawa pesona yang tak bisa dijelaskan campuran antara misteri, kekuatan, dan ketulusan. Para wanita dari keluarga Qin yang hadir menundukkan kepala, menutupi wajah mereka yang memerah. Dalam hati mereka menggumam, seandainya pria ini bukan milik Qin Aihan.
Dan tak lama, suara genderang pelan mengiringi langkah dua orang dari arah belakang aula. Qin Jianwei berjalan dengan sikap agung, satu tangan menggenggam lengan putrinya yang mengenakan gaun pernikahan Cheongsam putih berhiaskan benang perak. Wajah Qin Aihan tertutup oleh sehelai kain lembut berwarna putih, menambah kesan suci dan anggun. Setiap langkahnya terasa lambat, namun begitu pasti membawa dirinya mendekat pada takdir yang telah ia pilih sendiri.
Feng Jian memandangnya dari atas panggung. Dunia di sekitarnya seolah menghilang. Semua suara mengabur, hanya tatapan itu satu arah pandang yang mengikat hatinya lebih erat dari tali pernikahan mana pun.
Qin Aihan naik ke atas panggung dengan langkah tenang. Saat akhirnya ia berdiri di hadapan Feng Jian, hanya beberapa jengkal memisahkan mereka, ia menatap lelaki itu dari balik tirai putih tipis.
Mata mereka bertemu.
Dan dalam diam itu, mereka tahu hari ini bukan hanya upacara. Ini adalah awal dari kehidupan bersama, sebagai dua jiwa yang saling mengisi, saling melindungi, dan saling mencintai.
Di sisi panggung yang didekorasi anggun dengan sulaman merah dan emas, dua sosok perempuan duduk berdampingan Qin Wenyi dan putri bungsunya, Qin Yuhan. Dari tempat mereka duduk, pandangan keduanya tak lepas dari sosok Qin Aihan yang berdiri di atas panggung pernikahan, gaunnya berkilau lembut diterpa cahaya pagi.
Qin Wenyi menggenggam kedua tangannya di pangkuan, mata lembutnya bergetar oleh perasaan yang sulit dijelaskan. Di balik senyuman tipisnya, ada haru yang menyesak pelan. Putri kecilnya yang dulu selalu merengek minta digendong, yang gemar bersembunyi di balik rok ibunya saat malu bertemu tamu, kini berdiri sebagai seorang wanita dewasa, calon istri, di samping seorang pria yang akan membawanya pergi dari rumah yang selama ini ia lindungi.
"Aihan…" bisik Qin Wenyi dalam hati, menahan genangan air di pelupuk matanya. “Anakku yang dulu begitu mungil, kini telah tumbuh begitu cantik dan tangguh…”
Ia tak sanggup berkata apa pun. Hanya memandangi putrinya, penuh bangga dan juga sedikit getir sebuah kebahagiaan yang berselimut rasa kehilangan sebagai seorang ibu.
Di sampingnya, Qin Yuhan duduk tegak, wajahnya menyala penuh semangat. Mata gadis kecil itu memantul dengan kekaguman saat menatap Feng Jian. Tapi saat ia melirik kakaknya, senyumnya berubah lembut.
"Kak Aihan… kamu benar-benar menjadi putri di hari ini." gumam Yuhan pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Tangannya kecilnya meremas ringan lengan ibunya. Qin Wenyi tersenyum, membelai kepala putri bungsunya, dan tanpa berkata-kata, ia kembali menatap panggung.
Putrinya akan segera menjadi milik orang lain, tapi ia tahu Feng Jian adalah pria yang pantas untuk menjaga dan mencintai Aihan. Dan itu cukup untuk membuat hatinya damai.
Di tengah panggung yang dihiasi lentera merah dan bunga peony segar, berdiri seorang tetua berjubah panjang berwarna anggur tua. Wajahnya tegas, dihiasi kumis dan janggut putih yang tersisir rapi hingga dada. Matanya tajam tapi tenang, memancarkan wibawa khas orang yang telah hidup lama dan menyaksikan banyak hal. Suaranya berat namun mengalir perlahan, menyampaikan makna dari janji suci yang akan mengikat dua jiwa di hadapannya.
"Hari ini, di hadapan langit dan bumi… serta seluruh keluarga Qin sebagai saksi." ucap sang tetua, suaranya menggema lembut ke seluruh halaman kediaman utama, "Feng Jian dan Qin Aihan akan mengikat janji suci sebagai pasangan sehidup semati."
Feng Jian berdiri tegap, mengenakan Chang Pao Ma Gua yang menjuntai anggun di bawah lututnya, lalu dengan suara tenang namun tegas, ia menjawab, “Aku, Feng Jian… bersumpah untuk mencintai dan melindungi Qin Aihan, sepanjang hidupku.”
Qin Aihan yang berdiri di hadapannya, dengan cheongsam merah keemasan dan kain putih yang menutupi mulutnya, mengangguk perlahan. Suaranya lembut seperti bisikan angin musim semi, “Dan aku, Qin Aihan… menerima cinta dan perlindunganmu, Feng Jian. Aku akan bersamamu dalam suka dan duka, sampai akhir hayat.”
Tepuk tangan kecil mulai terdengar, tapi suasana masih tertahan dalam haru ketika Feng Jian meraih tangan kanan Qin Aihan. Ia dengan perlahan melepas cincin perak dengan ukiran simbol awan yang dulu ia sematkan di jarinya saat awal perjalanan mereka, lalu memasangnya kembali di jari manis tangan kanan Qin Aihan sebagai tanda peresmian janji mereka hari ini.
Qin Aihan pun melakukan hal yang sama, dengan tangan bergetar halus namun pasti, memasukkan cincin ke jari manis kanan Feng Jian. Mata mereka bertaut, penuh kepercayaan dan cinta yang tak terbantahkan.
Lalu, dalam keheningan yang menggantung penuh makna, Feng Jian menyingkap sedikit penutup putih di wajah Qin Aihan dan membungkuk pelan. Ia mencium bibir Qin Aihan lembut, tulus, dan penuh rasa. Ciuman itu tak lama, tapi cukup untuk menyampaikan seluruh isi hatinya yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Dan saat itu juga, halaman utama kediaman keluarga Qin bergemuruh oleh tepuk tangan, sorakan, dan tawa bahagia. Para tetua mengangguk puas, para tamu tersenyum, dan seluruh keluarga Qin bersuka cita. Pernikahan telah sah. Dua hati telah berpadu, disatukan dalam ikatan cinta dan janji suci yang tak akan mudah digoyahkan oleh waktu.