NovelToon NovelToon
Satu Cinta, Dua Jalan

Satu Cinta, Dua Jalan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Cinta Terlarang / Cinta Paksa / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Bercocok tanam
Popularitas:749
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Puri berjalan cepat menuju apotek, pikirannya penuh dengan kekhawatiran.

Setiap langkah yang diambil terasa berat, seolah tubuhnya menahan beban yang sulit dijelaskan.

Sesampainya di apotek, ia langsung menuju ke rak yang berisi tes kehamilan dan mengambil satu paket.

Hatinya berdegup kencang saat ia menuju ke kasir, membayar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Dengan langkah cepat, Puri kembali pulang ke rumah.

Setibanya di kamar, ia menatap kotak tes kehamilan yang ada di tangannya, jantungnya berdegup semakin kencang.

Ia duduk di tepi tempat tidur, menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.

"Ini hanya tes. Aku harus tahu," gumamnya, berusaha meyakinkan dirinya dan langsung ke kamar mandi.

Setelah beberapa detik, ia membuka bungkus tes kehamilan tersebut.

Puri merasa cemas, takut dengan apa yang akan ia temui.

Ia mengikuti petunjuk pada kemasan dengan hati-hati, dan kemudian menunggu beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam.

Akhirnya, hasil tes kehamilan itu muncul di mata Puri. Hasilnya dua garis merah yang menandakan bahwa ia positif hamil.

Puri terdiam, matanya terbelalak. Rasa takut dan cemas langsung memenuhi hatinya. Ia menggenggam tes itu erat-erat, berusaha mengendalikan diri.

"Apa yang harus aku lakukan?" pikirnya, mencoba mencerna apa yang baru saja ia temui.

Ia berpikir tentang Karan, tentang masa depannya, dan tentang apa yang harus ia sampaikan kepada orang-orang yang ia sayangi, terutama mama.

Puri tahu ini bukanlah hal yang mudah, dan keputusannya akan berdampak besar pada hidupnya.

Puri merasa bingung dan tidak tahu harus mulai dari mana.

Namun satu hal yang pasti ia harus berbicara dengan Karan dan menceritakan semuanya.

Keputusan besar harus dibuat, dan dia tidak bisa menghadapinya sendirian.

Air matanya mulai menetes, tapi Puri berusaha untuk tetap tegar.

Ia tahu, apapun yang terjadi, ia harus menghadapi kenyataan ini.

Puri menggenggam ponselnya dengan gemetar, mencoba menenangkan diri sebelum menulis pesan untuk Karan.

Tangan kirinya menekan layar ponsel, dan akhirnya dia mengetik pesan singkat, "Mas, bisa ketemu di Kafe? Ada yang penting yang harus aku bicarakan."

Setelah mengirimkan pesan itu, Puri menunggu dengan penuh kecemasan.

Setiap detik yang berlalu terasa semakin berat. Apa yang akan Karan katakan? Apakah ia akan marah atau malah mengerti? Puri tidak tahu apa yang harus ia harapkan, tapi satu hal yang pasti, ia tidak bisa lagi menyembunyikan perasaan dan masalah ini.

Tidak lama kemudian, pesan dari Karan masuk. "Aku akan ke sana, Pur. Tenang saja, aku di jalan."

Puri menghela napas, mencoba menenangkan dirinya.

Dia tahu ini adalah keputusan besar, dan apapun yang terjadi setelah ini, dia harus siap.

Karan akan datang, dan dia harus menghadapinya dengan jujur.

Beberapa menit kemudian, Karan muncul di pintu kafe.

Puri melihatnya, dan ada rasa cemas yang menggelayuti hatinya.

Karan berjalan mendekat dengan senyuman, namun ketika melihat wajah Puri yang serius, senyum itu perlahan memudar.

"Puri, ada apa?" tanya Karan dengan nada khawatir, duduk di hadapan Puri.

Puri terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat.

"Mas, aku..." suara Puri terhenti, dan dia merasa tenggorokannya kering.

Karan meraih tangan Puri, memberikan dukungan tanpa mengucapkan kata-kata.

"Katakan saja, Pur. Aku di sini."

Dengan napas dalam, Puri menatap Karan, "Mas... aku... aku hamil," akhirnya suara Puri keluar juga, pelan namun pasti.

"Aku takut kalau aku membuat semuanya rumit... tapi aku tidak tahu harus bagaimana."

Karan terdiam sejenak, matanya menunjukkan keterkejutan, namun di balik itu ada ketenangan yang perlahan muncul.

Ia menggenggam tangan Puri lebih erat. "Pur, kita akan menghadapi ini bersama. Aku akan ada di sampingmu."

Puri menatap Karan dengan mata penuh harap dan cemas. "

Apa kita bisa melewati ini, Mas?"

Karan menganggukkan kepalanya, "Tentu saja, kita akan melewati semuanya bersama. Aku janji."

Puri menghela napas lega, meski hatinya masih penuh pertanyaan dan ketidakpastian.

Tapi satu hal yang ia tahu pasti adalah bahwa Karan tidak akan meninggalkannya.

Sementara itu, Mama sedang membersihkan kamar Puri.

Tanpa sengaja, pandangannya jatuh pada sebuah kalung berbentuk salib yang tergeletak di atas meja rias. Ia mengambilnya, menatapnya dengan heran.

"Kalung salib? Ini milik siapa?" gumamnya dengan alis yang mulai berkerut.

Tak lama kemudian, Puri yang baru saja pulang masuk ke kamarnya. Ia terkejut melihat Mama sedang memegang kalung itu.

"Pur, ini milik siapa?" tanya Mama, suaranya terdengar tenang tapi penuh penekanan.

Puri terdiam sejenak. Ia bingung harus berkata apa, tapi kali ini ia tak ingin membohongi Mama lagi.

"Itu... punya Mas Karan, Ma," jawabnya pelan.

Mata Mama membelalak, ekspresinya berubah seketika. Ia terkejut mendengar jawaban putrinya.

Mama memandang wajah putrinya yang kini tertunduk, tak berani menatap balik.

"Pur, kamu tahu kan... Mama nggak bisa menerima kalau kamu menjalin hubungan dengan lelaki yang beda agama," ucap Mama pelan, tapi nadanya tegas.

Puri menggigit bibirnya, menahan emosi yang bercampur aduk di dadanya.

"Ma... Puri mencintai Mas Karan," jawabnya lirih.

Mama menarik napas panjang, matanya tak lepas dari wajah Puri.

"Mama tahu, Nak. Tapi kamu juga harus realistis. Apa Karan mau pindah keyakinan? Apa Mama Karan setuju kalau putranya masuk Islam?"

Puri terdiam. Ia tahu pertanyaan Mama bukan untuk menyudutkannya, tapi justru untuk membuka matanya.

Mama duduk di tepi ranjang, menghela napas pelan sebelum mulai bicara.

"Pur, cinta itu penting, tapi bukan satu-satunya hal yang harus kamu pikirkan dalam hidup ini," ucap Mama dengan suara lembut.

Puri tetap menunduk, matanya mulai berkaca-kaca.

"Kamu harus ingat, menikah itu bukan cuma tentang dua orang. Tapi juga tentang dua keluarga, dua keyakinan, dua cara hidup yang akan disatukan. Itu nggak mudah, Nak."

Mama menyentuh tangan Puri, menggenggamnya erat.

"Kalau dari awal kalian beda prinsip dan keyakinan, nanti jalannya akan berat. Mama cuma nggak mau kamu terluka di tengah jalan karena sesuatu yang seharusnya sudah kamu pertimbangkan sejak awal."

Puri mengangguk pelan, air matanya jatuh tanpa suara.

"Tapi, kalau memang dia serius dan mau berjuang... Mama nggak akan menutup hati. Tapi semua harus jelas, dan harus dari hatinya sendiri. Bukan karena paksaan," lanjut Mama, menatap putrinya dengan mata teduh.

Setelah beberapa saat hening, Mama menatap Puri dengan sungguh-sungguh.

"Kalau begitu, Mama ingin bertemu langsung dengan Karan. Mama ingin dengar sendiri dari mulutnya," ucap Mama tegas namun tenang.

Puri terkejut, tapi langsung mengangguk. Ia tahu ini saat yang penting. Dengan tangan sedikit gemetar, ia mengambil ponselnya dari meja.

Ia menekan nomor Karan dan menunggu. Setelah beberapa dering, suara pria di seberang sana terdengar.

"Halo, Pur? Kamu sudah sampai rumah?"

Puri menelan ludah sebelum menjawab. "Mas, Mama pengin ketemu. Sekarang... kalau bisa."

Karan terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara serius, "Baik, aku ke sana sekarang."

Puri menutup telepon dan menatap Mama dengan ragu.

"Dia akan datang, Ma."

Mama hanya mengangguk pelan, ekspresinya sulit ditebak. Tapi dari sorot matanya, Puri tahu ini akan jadi pembicaraan yang sangat penting.

1
kalea rizuky
hamil deh
kalea rizuky
bagus awalnya tp karena MC nya berhijab tp berzina maaf Q skip karena gk bermoral kecuali dia di perkosa
kalea rizuky
tuh dnger emak nya karan g stuju ma loe
kalea rizuky
berjilbab tp berzina pur pur didikan ibumu jos
kalea rizuky
pasti ortu karan gk setuju pur. pur bodoh qm blom nikah uda ilang perawan
kalea rizuky
puri kenal karan jd murahan
kalea rizuky
harusnya di pesenin lah taksi online Yuda gk tanggung jawab bgt
kalea rizuky
masih menyimak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!