Hail Abizar, laki-laki mapan berusia 31 tahun. Belum menikah dan belum punya pacar. Tapi tiba-tiba saja ada anak yang memanggilnya Papa?
"Papa... papa...!" rengek gadis itu sambil mendongak dengan senyum lebar.
Binar penuh rindu dan bahagia menyeruak dari sorot mata kecilnya. Pria itu menatap ke bawah, terpaku.
Siapa gadis ini? pikirnya panik.
Kenapa dia memanggilku, Papa? Aku bahkan belum menikah... kenapa ada anak kecil manggil aku papa?! apa jangan- jangan dia anak dari wanita itu ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersamaku
Jika di Flashline sedang diadakan acara minum teh para perinces berotot, dengan meriah dan ceria. Maka keadan berbanding terbalik dengan dua manusia yang sedang terjebak dalam amarah yang berbeda arah. Dalam mobil hitam yang terparkir tenang di sudut halaman hotel. Malam sudah menelan langit, hanya lampu-lampu taman yang menyala sayu, memantulkan cahaya samar ke bodi mobil yang mengilat. Hujan belum turun, tapi langit mendung masih menggantung seolah ikut menahan tangis.Gemerisik lirih angin malam yang mengerakan dedaunan, turut menyumbang suram yang menyusup dari celah-celah mobil.
Di dalam kabin mobil, suasana sunyi mencekam. Suara detik jam digital di dashboard terdengar lebih nyaring dari biasanya. Aroma kulit sintetis bercampur parfum kayu manis yang khas milik Hail memenuhi udara. Layar navigasi menyala redup, menampilkan peta kota yang tak mereka pedulikan. Kursi penumpang bersih, rapi, tak ada barang tercecer. Semuanya mencerminkan sosok pemiliknya—teratur, terkendali. Tapi tidak dengan hatinya malam ini.
Hail duduk di balik kemudi, satu tangan memegang stir, tangan satunya menggenggam paha celana hitamnya sendiri. Rahangnya mengeras. Matanya menatap lurus ke depan, tapi pikirannya berputar. Amarahnya meledak-ledak—bukan pada wanita di sampingnya, tapi pada dunia, pada kenyataan yang menghantamnya tanpa ampun.
Sementara Evelyn duduk diam di kursi penumpang. Tangan di pangkuan, kepala tertunduk. Ia bisa merasakan amarah yang mendidih dari sosok di sampingnya, tapi ia tahu... itu bukan untuknya. Meski begitu, tetap saja rasa bersalah menusuk dari segala arah.
"Sejak kapan?"
Suara itu dingin. Datar. Tapi ada luka di sana. Luka yang Hail coba sembunyikan dengan sempurna.
Evelyn terdiam. Suaranya tercekat. Dadanya sesak. Semakin menunduk dalam, seolah ingin menyembunyikan wajahnya dalam helai suraihitam miliknya.
Hening lagi. Hanya suara AC mobil yang pelan mengisi kekosongan.
Evelyn mengigit bbir bawah, sebelum menarik napas panjang, suaranya bergetar, tipis... nyaris tak terdengar.
“Sejak aku tahu siapa aku sebenarnya... aku selalu merasa tidak pantas bersamamu," suaranya mengema lirih hampir seperti pengakuan dosa.
Hail tak menjawab. Ia hanya menggertakkan gigi, menahan gelombang emosi yang berdesak keluar. Kenyataan macam apa ini? Selama ini Evelyn pergi karena dia? Karena manusia yang ia anggap keluarga. Kenapa? kenapa mereka begitu tega menyakiti wanita terkasihya.
“Apa yang dilakukan Papa .... sudah terlalu jauh, Hail. Keluarga Hendrawan... keluargamu... hancur karena dia."Evelun menunduk semakin dalam, meremas kuat udara kosong dengan tangannya yang basah"
"... aku bisa pergi, Hail. Aku tidak mau membuat keluargamu membencimu, karena aku..."
Suara Evelyn pecah di akhir kalimat. Isaknya pelan, namun perih. Bahunya bergetar, dan air matanya menetes, jatuh ke tangan yang ia kepal erat di pangkuannya. Sakit. Ini salah satu alasan kenapa dia tidak ingin bertemu Hail lagi, dia tidak sanggup untuk perpisahan lagi. Susah payah dia menata hati yang hancur, belum juga sepenuhnya sembuh, jika hancur lagi .... dia harus bagaimana?
Jika dia pergi, dia hancur. Tapi Evelyn juga tidak mau menjadi alasan Hail hancur. Benar apa yang Ishak katakan. Dia tidak pantas, dan tidak akan pernah pantas untuk menjadi bagian dari Hendrawan.
"Aku tau sejak awal sehausnya kita tidak perlu bertemu ... Seharusnya kau dengarkan aku. Lebih baik .... kita asing dan tidak saling mengenal," tutur Evelyn dengan bibir bergetar, apa yang ia ucapkan sangat berbanding terbalik dengan hatinya. Tapi untuk sekarang, dia juga bingung harus bagaimana?
Tapi Hail tetap diam. Bukan karena tak peduli, tapi karena ia tahu—Evelyn butuh bicara, butuh mengeluarkan semua yang tertahan.
Hanya deru napas yang kini saling beradu di dalam kabin yang sempit itu.
Lalu perlahan, tanpa berkata apa-apa, Hail melepaskan sabuk pengamannya. Ia menyandarkan tubuh, lalu menoleh dan menarik Evelyn dalam pelukan.
Hangat. Tegas. Aman.
Evelyn sempat terkejut, tapi ia tidak melawan. Tubuhnya perlahan bersandar, menenggelamkan wajahnya di dada Hail. Isaknya makin menjadi, namun kini dibungkus oleh dada bidang yang tak goyah. Ia mencengkeram sisi kemeja pria itu, seolah tak ingin lepas. Meski baru ia ucapkan kata "asing" untuk mereka.
Tak ada kalimat. Tak ada janji. Hanya pelukan. Pelukan yang menjawab semua ketakutan, semua luka yang sempat dibisikkan oleh malam. Di luar, angin berhembus pelan. Seolah alam pun menunduk, memberi ruang pada dua hati yang tengah saling berpegangan di atas reruntuhan kenyataan.
"Kamu akan di sini, selamanya bersamaku. Evelyn," suara Hail begitu tegas menggema, memenuhi pikian Evelyn.
jangan sampai ada cakra ke dua lagi yaa pakk...
kamu pasti bisa membuktikan kalau papa nya evelyn gak bersalah. dia hanya di fitnah seseorang.
aduduh untung bgt ya ada ob lewat bawa mie goreng jadi hail gak lama² deh di luar nya
eh kebetulan yg disengaja nih, ada OB bawa makanan. jadi alasan hail tepat
sudah saatnya hail berjuang untuk mencari kebenaran untuk ayahnya Eve