Ayla, pegawai biasa yang diangkat menjadi resepsionis di perusahaan terkenal, terpaksa menjadi wanita malam demi biaya pengobatan adiknya. Di malam pertamanya, ia harus melayani pria yang tak disangka—bosnya sendiri. Berbeda penampilan, sang CEO tak mengenalinya, tapi justru terobsesi. Saat hidup Ayla mulai membaik dan ia berhenti dari pekerjaan gelapnya, sang bos justru terus mencari wanita misterius yang pernah bersamanya—tanpa tahu wanita itu ada di dekatnya setiap hari. Namun, skandal tersebut juga mengakibatkan Hana hamil anak bosnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
FAMILIAR
Sementara di sisi lain, masih di malam yang sama, Leo terlihat berada di tempat yang sama dengan Mamy Jenny. Postur tubuhnya yang bersandar dengan lipatan kaki serta rahangnya yang tegas memancarkan ketidaksenangan yang sulit disembunyikan. Di hadapannya, Mamy Jenny duduk santai seperti biasa, meskipun napas panjang yang ia hembuskan menunjukkan bahwa ia mulai lelah menjelaskan hal yang sama berulang kali.
“Aku sudah mengatakan kalau dia sudah cukup lama berhenti,” ucap Mamy Jenny, suaranya tetap tenang di tengah keramaian dan riuh rendah suara para pengunjung tempat itu. “Kenapa kau masih saja mencarinya? Di sini ada banyak wanita, kau tinggal memilih salah satunya.”
Leo tetap diam memandangi gelas wine di tangannya tanpa sedikit pun berniat meminumnya.
“Kenapa dia berhenti?” tanyanya dengan nada tegas, tak berniat berputar-putar dengan kata.
Mamy Jenny meminum alkoholnya perlahan sebelum menjawab. Leo masih saja terus mencari Ayla. Padahal wanita itu sudah berhenti beberapa Minggu yang lalu, dan tidak ada kabar lagi.
“Dia sudah memiliki pekerjaan lain,” jawab Mamy Jenny akhirnya, singkat dan jelas.
“Lagian, ada apa sebenarnya denganmu? Kenapa kau terus-terusan mencarinya?” tanya Mamy Jenny, nada suaranya terdengar cukup kesal. Sudah dua minggu terakhir ini, Leo cukup sering muncul di tempat itu, seperti dihantui sesuatu yang belum selesai. Dan yang lebih membuat Mamy Jenny heran, Leo selalu bersikeras untuk tidak ditemani oleh wanita lain. Ia hanya ingin wanita yang biasa melayaninya, Ayla.
“Aku sudah terbiasa dengan sentuhannya,” ujar Leo pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh kebisingan sekitar, dan terdengar samar di telinga Mamy Jenny. Namun tetap, kata-katanya cukup untuk membuat Jenny terdiam sesaat.
Leo lalu mengangkat wajahnya, memandang wanita di depannya dengan sorot mata penuh tanya. “Dan ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu,” sambungnya, kini dengan suara yang lebih jelas dan mantap.
Mamy Jenny menaikkan satu alis, sedikit tertarik namun tetap menjaga sikap santainya. “Ada apa?” tanyanya, menatap Leo penuh selidik.
Leo menunduk sejenak, lalu menatap kembali. “Aku ingat kau pernah mengatakan sesuatu... bahwa dia hanya melayaniku. Apa maksudmu dengan itu?” tanyanya dengan nada serius.
Malam itu memang sudah cukup lama berlalu. Malam ketika Leo berada dalam keadaan setengah sadar karena alkohol. Tapi meskipun kesadarannya goyah, ia masih bisa mengingat ucapan Jenny dengan cukup jelas—ucapan yang kini mengusiknya.
Mamy Jenny terdiam sejenak. Sorot matanya tak langsung menatap Leo, namun ia menarik napas perlahan, lalu berkata dengan nada tenang seperti biasa, meski makna ucapannya begitu berat.
“Dia memang hanya melayanimu, Leo,” katanya, suaranya tenang namun cukup dalam untuk meninggalkan bekas. “Dia melakukannya bukan karena keinginannya sendiri. Dia terpaksa... demi adiknya.”
Leo hanya diam, tubuhnya tetap pada posisi semula. Sementara itu, Mamy Jenny bangkit berdiri, menghaluskan pakaiannya, dan bersiap meninggalkannya.
“Baiklah,” lanjutnya santai. “Pekerjaanku masih banyak malam ini. Jika kau ingin melanjutkan malam di sini, kau tahu harus memilih siapa. Banyak wanita lain yang bisa menemani malammu.
Ia menatap Leo sejenak, lalu mengedipkan salah satu matanya dengan gaya khasnya sebelum benar-benar melangkah pergi, meninggalkan Leo sendirian dengan pikirannya.
Leo tak berkata apa-apa. Tangannya hanya memainkan gelas yang masih berisi wine. Cairan dalam gelas itu berputar pelan seiring gerakannya. Ia merenungi kalimat terakhir yang diucapkan Jenny. Terpaksa... demi adiknya? Kalimat itu menggema di kepalanya, berulang-ulang, menimbulkan berbagai pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Terasa Familiar.
Keesokan harinya, menjelang petang, selepas pulang dari tempat kerja atau rutinitasnya, Ayla terlihat tergesa. Langkahnya cepat, matanya tajam, dan nafasnya memburu. Ada sesuatu yang mendesaknya—sebuah pertanyaan penting yang sudah lama ia tahan dan kini tak bisa lagi ia pendam.
Dengan penuh tekad, ia bersiap kembali ke tempat yang sudah berusaha ia hindari sejak beberapa waktu terakhir. Tempat itu, yang dulu sering ia datangi, kini menjadi tempat yang ia janjikan tak akan ia injak lagi. Tapi kali ini berbeda. Dia datang bukan untuk bekerja. Dia datang demi jawaban.
Ayla tahu, jika malam sudah benar-benar tiba, Mamy Jenny pasti akan sangat sibuk dan sulit ditemui. Jadi ia tak ingin kehilangan kesempatan. Segera setelah tiba, Ayla melangkah cepat menuju ruangan pribadi Mamy Jenny—ruangan yang menyimpan begitu banyak rahasia dan cerita.
Brak! Suara pintu dibuka dengan keras.
Ayla berdiri di ambang pintu, napasnya terengah, matanya menatap langsung ke arah wanita yang selama ini ia hindari. Di dalam ruangan, Mamy Jenny sedang berdiri di depan meja rias, memperbaiki dandanan wajahnya. Saat mendengar suara pintu yang dibuka dengan kasar, ia menoleh dan terlihat terkejut.
Namun senyum tipis segera muncul di wajahnya. “Ayla,” gumamnya, nada suaranya seperti mencampur keterkejutan dan rasa senang, lalu ia mendekat dengan tenang.
Namun Ayla tidak menjawab sapaan itu. Tanpa basa-basi, ia melangkah cepat mendekat dan langsung menyodorkan selembar kertas putih ke arah Mamy Jenny. Gerakannya tegas, nyaris kasar.
Senyum Mamy Jenny perlahan memudar saat melihat sikap Ayla. Ia menerima kertas itu dengan satu tangan, menatapnya beberapa detik, lalu mulai membacanya perlahan. Ketegangan mulai merayap dalam ruangan itu, membawa serta pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa lagi dihindari.