Rahwana Bataragunadi, menyamar menjadi Office Boy di kantornya sendiri untuk menguak berbagai penyimpangan yang terjadi.
Pemuda itu mengalami banyak hal, dari mulai kasus korupsi, sampai yang berhubungan dengan hal-hal gaib.
Dalam perjalanannya, ia ditemani entitas misterius yang bernama Sita. Wanita astral yang sulit dikendalikan oleh Rahwana itu selalu membantunya di saat butuh bantuan.
Masalahnya, Rahwana tahu Sita bukan manusia. Tapi semakin hari ia malah semakin jatuh cinta pada Sita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Catatan 22 : Pemecatan Pak Endang
“Saya sudah tidak mau melihat wajah kamu lagi di sekitar saya, JELAS?!” seru Pak Rey dari dalam ruangan Direktur Marketing.
Rahwana hanya mendengarkan sambil menyikat karpet yang ada noda aneh entah dari mana.
“Pengurusan Sertifikat itu akan dilimpahkan ke Kejaksaan, saya harap kamu punya pengacara yang bagus karena akan berhadapan dengan kami!”
Lalu terdengar suara yang tidak terlalu jelas untuk menimpali seruan Pak Rey.
“Seharusnya sebelum bertindak kamu berpikir dulu, Endang! Kalau yang begini, kamu santet saya sampai mati pun prosesnya akan terus berjalan!!”
Ruangan itu sunyi senyap hanya ada teriakan Pak Rey. Semua sibuk mendengarkan.
Berikutnya sekitar 3 security masuk ke ruangan marketing dan menggiring Pak Endang keluar dari sana.
Tatapan mata Pak Endang nanar dan letih, kepalanya hanya menunduk ke bawah dengan lesu.
Saat itu, Pak Firman masuk sambil membawa seseorang di belakangnya.
“Wah, saya datang di saat yang tak tepat ya?” ujar Pak Firman.
Rahwana menatap Pak Firman dengan miris. Ia teringat ucapan Pak Firman setengah.
Ingin rasanya ia ikut campur terhadap permasalahan itu, namun saat ini bukan waktu yang tepat. Namun jelas Rahwana akan senantiasa memerhatikan Pak Firman asli untuk mengantisipasi terjadi berbagai kemungkinan buruk.
Lalu... orang yang dibelakang Pak Firman itu, rasanya Rahwana mengenalnya.
Sambil mencondongkan tubuhnya ke samping berusaha melihat orang di belakang tubuh Pak Firman yang gempal dan lebar, Rahwana pun keluar dari ruangan dan memicingkan mata.
Ai Awso, melirik Rahwana sambil menyeringai. Lalu mengirimkan ciuman jarak jauh.
“Anjrit!” keluh Rahwana. Benar juga, kemarin Papanya memang bilang akan mengirimkan Ai untuk mendampingi Rahwana.
“Kenapa, Man?” Pak Rey keluar dari ruangan sambil melonggarkan dasinya. Setelah marah-marah ia merasa tenggorokannya kering.
“Saya mau mengenalkan pegawai baru di Divisi Marketing, gantinya Pak Yanto, Pak,”
“Oh, masuk aja saya sudah selesai,” lalu Pak Rey menatap Rahwana, dan senyum-senyum, “Wan-wan! Bikinin saya kopi ya! Yang enak loh ya!” serunya.
Rahwana hanya mencibir. Kesempatan buat nyuruh-nyuruh Boss.
Dan Rahwana pun masuk kembali ke pantry untuk membuatkan Bossnya- hm, karyawannya, entahlah apa hubungan mereka, Kopi Tak Pakai Sianida.
*
*
“Iwaaaan,” dengan genit Rosana mengelus lengan Rahwana dan menggeretnya ke kubikelnya, “Bantuin kita sortir dokumen yaaaa, banyak nih!”
Rahwana melirik dokumen di meja Rosana. Hanya setumpuk, dengan ketinggian 10cm.
“Sana habis itu temenin aku ke kantin ya, bawain titipan makan siang anak-anak,” kata Fenny.
“Heh! Katanya gue yang ke kantin?! Gimana sih?!” sahut Rosana.
“Lo yang minggu depan aja, sekarang giliran gue dulu,” dengus Fenny.
“Ya nggak bisa doong kan gue yang katanya tadi kalah! Nanti ke kantinnya sama aku ya Iwan,”
“Ros, lu kan udah dibantuin nyortir dokumen!” seru Fenny nggak mau kalah.
“Nanti aku aja yang ke kantin Mbak Fen, kasih aja daftarnya,” Rahwana mencoba menengahi.
“Nggak, Nggak, Nggak bisa, harus ada kamu. Di bawah ada rujak enak soalnya!”
“Lo ajak aja itu pegawai baru! Gue mau minta Iwan bantuin nyortir!” Rosana menarik lengan Iwan.
“Nyortir dokumen bukan tugas Iwan!” Fenny juga ikut menarik lengan Iwan.
“Broooo,” kata-kata ini diucapkan dengan lenje, pakai ekstra menepis kedua lengan yang menarik-narik Rahwana dengan sekali gerakan. Terlepaslah hubungan tarik menarik antara Rosana-Rahwana-Fenny. “Apa kabar kamyuuu, dah lama nggak main bareng yak! Maksi nanti sama-sama Eike yak! Mau nyoba jajanan di...” Ai menghentikan kalimatnya sambil menatap kedua wanita di sekitar Rahwana yang sedang menatapnya dengan alis terangkat.
“Apa?! Mau protes?!” seru Ai gusar.
“Astaga... ganteng-ganteng ngondek. Nggak jadi naksir, gue!” gumam Fenny.
“Masalah buat lo?! Julidin aja hidup lo yang timpang itu! Kayak Eye liner lo yang nggak sinkron kanan-kiri lo pikir pantes bersanding sama Mas Iwan?!”
Fenny langsung menyambar kaca yang ada di mejanya. Beneran nggak sama tinggi sudutnya, umpat cewek itu dalam hati.
“Sekarang sudah ada eike disindang jadi you bisa calm down and healing nyaman aman tanpa takut kanan-kiri ada yang colek youuu,” Ai memeluk bahu Rahwana.
Rahwana mengangguk, lalu menyerahkan sapu di tangannya ke Ai.
“Apa nih?!” Ai mengernyit.
“Katanya mau biarin aku healing nyaman aman tanpa takut kanan-kiri ada yang colek?” Rahwana menyeringai super duper manis.
“Eike lebih baik pegang senjata dari pada sapu,” Ai mendorong tangan Rahwana sambil mencebik nyinyir.
“Senjatanya siapa?”
“Aaah Mas Iwaaan! Akoh kan jadi tergugaaaah!” Ai menepuk bahu Rahwana kencang sekali sampai terdengar bunyi ‘Ugh!’ dari mulut Rahwana.
“Ya senjata bapakmu lah, banyak tuh di gudang,” gerutu Rahwana pelan sambil mengernyit karena nyeri.
“Tergugah buat nembakin semua yang mendekati dirimu, maksudnyaaaa,” buru-buru Ai menjelaskan.
“Ai kenal sama Iwan?” tanya semua.
“Akoh kenal dooong, bro-men eike sepanjang masa dari kita kecil,”
“Oh tetanggaan yaaa,”
“Bisa dibilang begitcuuu,”
“Apa punya hubungan tertentu?” semua penasaran. Masalahnya AI dan Rahwana sama-sama ganteng. Bedanya yang satu tulang lunak cetar memesona, yang satu penjantan manis.
“Bisa dibil-”
“Nggak!” Rahwana memijit hidung mancung AI, “Kamu bisa bikin salah paham,”
“Ya kalo udah terlanjur salah paham ya ditelanjurin aja lah hahahaha!”
Tanpa banyak bicara Rahwana menjewer telinga AI.
“Ih, kan cuma cocoklogi gara-gara Mas Iwan sampe sekarang masih jombloooo,” gerutu Ai sambil mengusap-usap telinganya.
“Aku jomblo karena prinsip, bukan karena belok atau nggak laku,”
Ponsel Rahwana berdering, “Halo Nay?” sapa Rahwana.
Ai memekik mendengar nama itu, ia langsung kabur, “Anggap aja eike nggak di sini, bilang udah resign!” seru cowok itu dari luar ruangan.
“Kamu baru masuk sini belum satu jam gimana mau pake alasan itu?!” balas Rahwana. “Dia kabur tuh Nay, paling kita pulang jam 17,” Rahwana menyeringai, “Iyaaa nanti aku tahan Ai sebisa mungkin sampai kamu datang jemput,” kata cowok itu sambil terkekeh.
Tapi terus terang saja, keberadaan Ai di sini lumayan bisa membantunya mengatasi kesedihan.
Siang Harinya,
“Pak Rey,” Rahwana mengetuk ruangan Pak Reynaldy Trenggono.
Tak ada jawaban dari dalam.
Ia pun menunggu beberapa saat.
“Pak Rey?” panggil Rahwana lagi.
Seingatnya Pak Rey belum meninggalkan ruangannya dari sejak Rahwana mengantarkan kopi. Ia memang mondar-mandir, tapi tidak meninggalkan lantai ini.
Karena merasa ada yang aneh, Rahwana pun membuka pintu ruangan Pak Rey.
“Ya Tuhan...” jantung Rahwana seakan berhenti berdetak.
Pak Rey, terlungkup lemas di mejanya.
Dan di dalam ruangan itu, Para pocong penuh sesak, mengelilinginya dengan rapat sambil mulut mereka bergerak merapal mantra.
“Iwan?” Pak Rey susah payah mengangkat kepalanya.
“Y-ya Pak?”
“Kamu bisa kerokin saya? Kayaknya saya masuk angin nih, nggak enak badan, pegal-pegal sekujur tubuh,”
“Hem...” Rahwana tak tahu apa yang ia harus katakan kepada Pak Rey.