Truth Or Dare?
Permainan yang sudah tidak asing lagi kita dengar.
Lalu bagaimana jika yang dipilih adalah tantangan dan isi tantangan nya adalah "Menaklukkan Hati Seorang Pembunuh"?
Itulah yang di alami oleh Barbara Alexio. Di malam acara perpisahan kampusnya, ia terjebak dalam permainan yang menguji adrenalin itu dan mendapatkan tantangan yang tidak masuk akal.
Ia diberi waktu tiga bulan oleh teman-teman nya.
Mampukah ia menyelesaikan tantangan tersebut?
Atau justru dirinya yang terjebak dalam permainan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZmLing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sakitnya Penolakan
"Sayang..bangun dong." Felix menepuk pelan pipi Barbara.
Barbara tidak menghiraukan nya dan malah menarik selimut menutupi tubuh nya.
"Ya ampun sayang, kita bisa telat kalo kayak gini." Felix kembali berusaha membangunkan kekasihnya.
Barbara masih kesal pada nya.
Akhirnya Barbara bangkit dari tidurnya dan duduk sambil menatap benci pada Felix.
Cup
Felix mengecup bibir Barbara.
"Udah sana mandi. Aku udah loh." Felix memberi perintah.
Barbara dengan malas bangkit dari tempatnya dan berjalan ke kamar mandi.
Felix menyiapkan segala kebutuhan Barbara, mulai dari pakaian luar dan dalam, make up, dan segala yang menurut nya akan digunakan oleh Barbara.
"Sempurna." Felix berucap dengan semangat setelah selesai menyusun pakaian tersebut diatas ranjang dan peralatan rias diatas meja rias.
Ia kemudian duduk di ujung ranjang sambil menunggu Barbara selesai mandi.
Selesai mandi, Barbara hanya mengenakan handuk dan keluar dari kamar mandi dengan langkah malas.
Felix segera menarik tangan nya dan membawanya duduk di ujung ranjang.
Bukan untuk mesum, tapi untuk mengobati luka di badan Barbara.
Walaupun sesekali Felix menelan kasar ludah nya, tapi ia berusaha menahan hasrat nya. Ingat, Barbara masih marah pada nya.
"Udah." Felix berucap lembut saat sudah selesai menyapukan salep khusus pada setiap luka Barbara tanpa ada yang ketinggalan.
Setelah itu Felix mengambil pakaian Barbara dan membantu Barbara memakainya.
"Tumben." ,Barbara membatin saat melihat pakaian yang dipilih Felix adalah hoodie berwarna hitam dan celana jeans berwarna putih.
"Udah juga. Sini." Felix menarik tangan Barbara menuju meja rias dan mendudukan Barbara di kursi nya.
Felix menghidupkan hairdryer, lalu dengan cekatan ia membantu Barbara mengeringkan rambut nya.
Barbara terharu, tapi kali ini ia harus gengsi. Mana boleh dengan mudah memaafkan Felix setelah pria itu menginjak harga diri nya, walau pun bukan niat dari hati.
Setelah dirasa rambut Barbara sudah kering, Felix pun menyisirkan rambut nya.
"Hem, wangi." Felix memuji aroma rambut Barbara.
Barbara tidak peduli, ia hendak mulai memoles wajahnya dengan make up tapi dengan cepat Felix menghentikan nya.
"Biar aku yah." Felix menawarkan diri nya.
Barbara menatap tajam dan ragu pada nya.
"Udah, percaya sama aku cinta ku. Kamu pasti aku buat jadi cantik." Felix berucap penuh percaya diri.
Barbara malas menanggapi, jadi ia membiarkan Felix berbuat sesuka hati.
Dengan telaten Felix memoles wajah Barbara bak perias profesional.
"Cantik." Felix kembali berucap penuh percaya diri.
Barbara dengan susah payah membuka matanya karena takut melihat hasilnya.
Dan saat ia membuka matanya, ia terkejut karena hasil riasan Felix sangat luar biasa.
Bukan make up tebal, tapi make up tebal yang membuat nya terlihat lebih manis.
Ingin rasanya Barbara memeluk pria menyebalkan itu, tapi Barbara tahan. Ingat, gengsi itu penting sekarang.
"Udah yuk." Felix mengajak Barbara keluar dari kamar itu setelah merapikan kembali semua barang-barang yang ia keluarkan tadi.
Felix hendak menggandeng tangan Barbara, namun Barbara menepis nya.
"Ya udah iya. Jalan sendiri." Felix berucap pasrah.
Ia memilih membiarkan kekasih nya meneruskan kekesalan nya karena ia tahu, memang dirinya yang bersalah dalam hal ini.
Mereka pun keluar dari kamar itu, tujuannya adalah meja resepsionis untuk mengatur laporan check out mereka.
Felix yang mengurus semua itu. Barbara hanya berdiri dan menunggu.
Setelah selesai, Felix menghampiri Barbara dan merangkul nya dari belakang.
Barbara kembali menepis tangan Felix dan langsung berjalan meninggalkan tempat ia berdiri sambil menyeret koper nya.
"Sayang, bukan disitu." Felix mengejar Barbara dengan cepat dan membawanya ke arah berlawanan.
"Kita sarapan dulu sebelum berangkat." Felix mengingatkan.
Barbara hanya diam mengikuti nya.
Felix menuntun Barbara ke cafe dekat hotel.
Felix ternyata sudah menyiapkan semuanya.
Barbara duduk, dan tanpa bicara ia langsung menyantap makanan didepan nya dengan kesal dan asal.
"Sayang pelan-pelan." Felix mengingatkan kekasihnya saat melihat Barbara makan dengan kasar.
Barbara menurut.
Felix tersenyum.
"Sayang, aku gugup banget mau ketemu papa mama kamu." Felix mengeluhkan perasaan gugup nya.
"Mereka bukan pembunuh." Barbara berucap kasar menyindir Felix.
"Ya iya. Tapi gugup aja. Gimana nanti kalo mereka nanya yang nggak bisa aku jawab?" Felix kembali mengeluh.
Sebenarnya semua itu hanya akal-akalan Felix agar Barbara mau bersuara terhadapnya.
Barbara kembali tidak menjawab.
"Sayang, aku gimana? oke kan?" Felix bertanya lagi sambil seolah membenarkan penampilannya.
"Mereka bukan orang yang cuma mandang fisik." Barbara kembali menyindir kekasihnya.
Hah
Felix menghela nafas kasar.
Ingin sekali marah, tapi memang dia yang sudah bersalah pada kekasihnya kan?
Jadi Felix kembali menahannya. Jika sedang dirumah mungkin Felix akan memaksa Barbara dengan cara instan agar Barbara tidak marah lagi padanya.
"Sayang, kita nggak beli sesuatu gitu buka oleh-oleh mereka?" Felix kembali bertanya lagi.
"Apaan sih? Berisik banget dari tadi." Barbara menjawab dengan kasar sambil menghentikan kegiatan makan nya secara kasar.
Barbara jadi hilang mood, Felix menunduk sedih.
Mendapatkan penolakan rasanya beribu kali lipat lebih sakit dari pada mendapat tusukan pisau diseluruh badan.
Barbara akhirnya tersenyum kecil melihat Felix yang sedang bersedih, namun secepatnya ia buang jauh senyum itu.
Jarang-jarang bisa dapat kesempatan mengerjai kekasihnya.
Felix akhirnya melanjutkan mengunyah makanan nya dengan menahan sesak di dada.
Barbara hanya diam memperhatikan tingkah Felix yang sebenarnya lucu dimatanya tapi sekaligus memprihatinkan.
Felix tampak sedang menahan air matanya agar tidak keluar dari matanya, menelan makanan nya dengan susah payah.
Felix benar-benar berbeda dari Felix yang pertama kali ia temui.
"Maaf Fel, tapi ini lebih menyenangkan. Enak aja aku mulu yang kamu bikin nangis dari kemarin. Kamu juga harus rasain gimana nggak enak nya dikasarin sama orang yang kamu cinta, apalagi sampai di tuduh yang nggak-nggak. Walaupun kamu udah bilang semua itu cuma akting kamu, tapi tetap aja semua itu udah terlanjur membekas di hati aku. Butuh waktu untuk sembuh, atau nggak tau kali kalo bisa." Barbara berucap dalam hati.
"Lagian cuma aku kan yang kamu ijinin semena-mena sama kamu, jadi ya udah. Hitung-hitung setelah ini kita impas." Barbara kembali berucap dalam hati.
Ingin rasanya memeluk kekasihnya saat ini. Tapi ingat, Barbara sedang dalam mode marah.
Selesai makan mereka berangkat ke bandara, tanpa suara, tanpa ada pembicaraan.
Felix diam, dan sedang instropeksi diri. Barbara diam menikmati kesedihan Felix.
"Bar, untuk terakhir kalinya. Aku minta maaf sama kamu. Aku udah kehabisan akal buat ngebujukin kamu. Kita udah terlanjur dibandara, jadi please aku mohon jangan kayak gini di depan Papa Mama kamu ya." Felix meminta maaf lagi pada Barbara.
"Maaf, tapi aku nggak pernah bohong sama mereka. Aku selalu apa adanya kalo sama mereka." Barbara menjawab santai dengan nada dingin.
Barbara memang benar, hanya satu kebohongan yang ia lakukan pada Papa nya, yaitu tentang Felix yang menculik nya hari itu.
Felix sudah tidak bisa berkata lagi. Sungguh sangat sakit mendapat penolakan seperti itu dari wanita yang kini menjadi nyawanya.
Mereka akhirnya berangkat dalam sunyi sepanjang perjalanan mereka berada di atas awan. Hampir delapan belas jam perjalanan mereka lakukan dengan diam satu sama lain.
Bicara pun seperlunya saja.
...~ **To Be Continue ~...
*******
Like dan komentar jangan lupa.
Makasih**.