NovelToon NovelToon
KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:6.2k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gavin Kehilangan Kiran

:

Gavin duduk di kamar hotel yang dingin dan impersonal—kamar yang sudah jadi rumah sementaranya sejak Larasati usir dia empat hari lalu. Pipinya masih sedikit membengkak dari tamparan Julian, hatinya masih remuk dari kata-kata adiknya yang menusuk lebih dalam dari pukulan fisik manapun.

_"Kamu bego, Vin. Kamu hancurkan sendiri keluargamu."_

Kata-kata itu berputar di kepalanya seperti mantra yang tidak bisa dia matikan. Dia sudah mencoba telepon Larasati berkali-kali—ditolak semua. Mencoba kirim pesan—dibaca tapi tidak dibalas. Bahkan mencoba datang ke rumah—pintu dikunci, tidak ada yang buka meski dia tahu Larasati ada di dalam.

Dia kehilangan istrinya. Mungkin sudah kehilangan anaknya juga.

Tapi setidaknya dia masih punya Kiran, kan? Perempuan yang dia bilang dia cintai, yang dia planning untuk punya masa depan bersama, yang membuat semua pengkhianatan ini—dalam pikirannya yang twisted—terasa worth it.

Ponselnya berbunyi. Pesan dari Kiran: _"Aku perlu ketemu kamu. Sekarang. Di apartemen."_

Tidak ada emoji love. Tidak ada kata sayang. Hanya perintah yang dingin.

Sesuatu di perut Gavin bergejolak dengan tidak enak. Tapi dia ambil kunci mobil dan pergi—karena apa lagi yang dia punya sekarang selain Kiran?

---

Apartemen di SCBD—tempat di mana mereka menghabiskan malam-malam bersama, tempat di mana Gavin merasa bebas dari tanggung jawab sebagai suami dan ayah—terasa berbeda hari ini. Lebih dingin. Lebih asing.

Kiran berdiri di jendela besar dengan pemandangan Jakarta, masih pakai baju kerja—blazer hitam ketat dan rok pensil yang dulu membuat Gavin tidak bisa bernapas. Tapi hari ini dia tidak menatapnya dengan hasrat atau kehangatan. Dia menatap dengan sesuatu yang lebih dingin, lebih menghakimi.

"Kiran," kata Gavin, menutup pintu di belakangnya. "Maaf aku baru bisa datang. Aku ada—"

"Aku dengar tentang pertengkaranmu dengan Larasati," potong Kiran tanpa berbalik. Suaranya datar—tidak ada emosi, tidak ada kehangatan yang biasanya dia pakai saat berbicara dengan Gavin. "Aku dengar dari orang kantor. Aku dengar dia tahu tentang kita. Dan aku dengar kamu... kamu diusir dari rumahmu sendiri."

Gavin menegang. "Siapa yang bilang—"

"Tidak penting siapa yang bilang," Kiran berbalik sekarang, dan wajahnya—wajah yang dulu Gavin pikir tercantik di dunia—terlihat keras, terlihat kecewa. "Yang penting adalah kenapa aku harus dengar dari orang lain? Kenapa kamu tidak langsung bilang sama aku?"

"Aku... aku mau bilang, tapi situasinya complicated—"

"Complicated?" Kiran tertawa—suara yang tidak ada kehangatan, hanya kepahitan. "Kamu bilang semuanya akan mudah, Gavin. Kamu bilang kamu akan cerai dari Larasati. Kamu bilang kita akan punya masa depan bersama. Tapi sekarang? Sekarang kamu yang diusir, istrimu yang tahu segalanya, dan kamu masih bilang complicated?"

Gavin melangkah lebih dekat, mencoba meraih tangannya. "Kiran, dengar. Aku tahu ini tidak sesuai rencana. Tapi aku masih akan cerai. Aku masih akan—"

Kiran tarik tangannya, menjauh. "Kapan, Gavin? Kapan kamu akan cerai? Sudah dua tahun kita bersama. DUA TAHUN! Dan kamu masih pakai cincin kawin itu!" Dia menunjuk tangan Gavin di mana cincin pernikahannya masih melingkar—Gavin bahkan tidak sadar dia belum melepasnya. "Kamu masih tidur di ranjah yang sama dengan dia. Kamu masih main keluarga bahagia di depan anakmu. Dan aku? Aku harus sembunyi. Aku harus jadi rahasia. Aku harus jadi selingkuhan yang kamu datangi saat kamu bosan dengan istri!"

"Bukan begitu—"

"LALU GIMANA?" Kiran berteriak sekarang, emosinya yang selama ini terkendali akhirnya meledak. "Kamu bilang kamu cinta aku! Kamu bilang Larasati tidak berarti apa-apa! Kamu bilang aku prioritasmu! Tapi ternyata apa? Ternyata kamu cuma PHP aku! Kamu cuma main-main sambil tetap pegang istri sebagai backup kalau aku bosan!"

"Aku tidak main-main!" Gavin merasa amarahnya sendiri naik—amarah yang tidak rasional, yang lahir dari frustrasi dan kehilangan kontrol. "Aku serius sama kamu! Aku sudah korbankan pernikahanku untuk kamu!"

"Kamu tidak korbankan apa-apa!" bentak Kiran. "Kamu mau semuanya, Gavin! Kamu mau istri di rumah yang jaga anak dan masak makanan. Kamu mau selingkuhan yang buat kamu merasa muda dan desired. Kamu mau semua benefit tanpa konsekuensi. Tapi sekarang konsekuensi datang, dan ternyata kamu tidak bisa handle!"

Kata-kata itu menghantam Gavin seperti pukulan. Karena Kiran benar. Dia memang mau semuanya. Dan sekarang dia kehilangan segalanya.

"Kiran, please," Gavin merasa sesuatu pecah di dadanya—bukan cinta, tapi ego yang terluka, yang tidak bisa terima ditinggalkan. "Jangan kayak gini. Kita bisa figure this out. Aku akan cerai dari Larasati. Aku akan—"

"Terlambat," potong Kiran, dan ada sesuatu di wajahnya sekarang—sesuatu yang membuat jantung Gavin berhenti. "Aku sudah muak jadi selingkuhan, Gavin. Aku muak nunggu kamu 'siap' untuk ninggalin istri. Aku muak jadi pilihan kedua."

"Kamu bukan pilihan kedua—"

"AKU SELALU PILIHAN KEDUA!" Kiran melangkah maju, menunjuk dada Gavin dengan jari yang gemetar karena amarah. "Setiap kali kamu harus pilih antara aku dan keluargamu, kamu pilih mereka! Setiap kali Larasati telepon, kamu langsung pulang! Setiap kali Abimanyu sakit, kamu tinggalin aku! Aku selalu yang ditinggalkan, Gavin! Dan aku MUAK!"

Gavin tidak bisa menjawab. Karena semua yang Kiran bilang adalah kebenaran yang dia tidak mau akui.

"Dan kamu tahu apa yang paling menyedihkan?" lanjut Kiran, suaranya turun jadi lebih rendah tapi lebih berbahaya. "Aku pikir kamu akan ninggalin dia untuk aku. Aku pikir aku spesial. Tapi ternyata aku cuma... cuma perempuan lain yang sama seperti perempuan-perempuan lain yang kamu probably sudah selingkuhin sebelum aku."

"Tidak ada perempuan lain!" protes Gavin. "Cuma kamu! Selalu cuma kamu!"

"Dan itu supposed to make me feel special?" Kiran tertawa pahit. "Bahwa aku satu-satunya perempuan yang bodoh enough untuk percaya kebohonganmu?"

Keheningan turun—keheningan yang berat, yang dipenuhi dengan semua yang tidak bisa diperbaiki.

"Aku mau kamu keluar," kata Kiran akhirnya, berjalan ke pintu dan membukanya lebar. "Ambil barang-barangmu kalau ada yang tertinggal di sini. Dan jangan hubungi aku lagi."

Gavin tidak bergerak—tidak bisa bergerak. Ini tidak bisa terjadi. Kiran tidak bisa meninggalkannya. Dia sudah kehilangan Larasati untuk Kiran. Dia tidak bisa kehilangan Kiran juga dan berakhir dengan tidak ada apa-apa.

"Kiran, kumohon—"

"KELUAR!" teriak Kiran, dan untuk pertama kalinya Gavin melihat air mata di matanya—bukan air mata kesedihan, tapi air mata amarah dan frustrasi dan kekecewaan yang terlalu lama ditahan. "Keluar sebelum aku menyesal pernah kenal kamu!"

Gavin berjalan ke pintu dengan kaki yang terasa seperti timah. Di ambang pintu, dia berbalik satu kali terakhir. "Aku cinta kamu, Kiran. Aku beneran cinta kamu."

Kiran menatapnya dengan mata yang dingin—mata yang dulu menatapnya dengan hasrat dan cinta, sekarang hanya menunjukkan contempt. "Kamu tidak tahu cara mencintai, Gavin. Kamu cuma tahu cara mengambil. Dan sekarang kamu kehilangan segalanya karena keserakahanmu sendiri."

Pintu tertutup di wajahnya—keras, final, seperti pintu peti mati yang dikunci.

Gavin berdiri di koridor apartemen yang sepi, menatap pintu yang tertutup, dan merasakan sesuatu di dadanya benar-benar pecah sekarang.

Dia kehilangan Larasati. Dia kehilangan Kiran. Dia kehilangan segalanya.

---

Gavin tidak ingat bagaimana dia sampai kembali ke kamar hotelnya. Dia hanya tiba-tiba ada di sana—duduk di tepi ranjang dengan kepala di tangan, tubuh bergetar dengan sesuatu yang dia tidak bisa kontrol lagi.

Dan dia menangis.

Bukan tangis yang tenang atau terkendali. Tapi tangis yang pecah—isakan keras yang keluar dari tempat paling dalam di dadanya, tangis yang membuat seluruh tubuhnya bergetar, tangis yang dia tidak bisa berhenti bahkan kalau dia mau.

Tangannya meremas rambutnya sampai sakit—sakit fisik yang kecil untuk distract dari sakit emosional yang overwhelming. Dia menarik rambutnya keras, berharap rasa sakit itu akan membuat semuanya berhenti. Tapi tidak. Rasa sakit hanya membuat segalanya terasa lebih nyata, lebih unbearable.

"Bodoh," bisiknya pada dirinya sendiri, suara pecah di antara isakan. "Bodoh... bodoh... BODOH!"

Dia berdiri tiba-tiba, ambil gelas di meja nakas—gelas yang masih berisi air—dan lempar ke dinding. Gelas pecah dengan bunyi yang keras, serpihan bertebaran, air merembes di wallpaper yang mahal.

Tapi pecahnya gelas tidak membuat dadanya terasa lebih ringan.

Gavin jatuh berlutut di lantai, di antara serpihan kaca, tidak peduli kalau ada yang menusuk kulitnya. Tangannya di lantai, kepala tertunduk, isakan keluar tanpa bisa ditahan.

"Ya Allah," bisiknya di antara tangisan, dan ini pertama kalinya dalam bertahun-tahun dia benar-benar berdoa—bukan doa formal di masjid, tapi doa putus asa dari pria yang kehilangan segalanya. "Ya Allah, apa yang sudah aku lakukan? Apa yang sudah aku lakukan?"

Dia ingat wajah Larasati saat confrontation—mata yang dulu menatapnya dengan cinta sekarang hanya menunjukkan kekecewaan dan sakit yang mendalam. Dia ingat suara Abimanyu yang polos bertanya "Papa kapan pulang?" tanpa tahu bahwa papanya memilih untuk tidak pulang. Dia ingat Julian yang menamparnya sambil bilang dia mengecewakan seluruh keluarga.

Dan sekarang Kiran—Kiran yang dia pikir akan jadi masa depannya—juga pergi. Meninggalkannya sendirian dengan kehancuran yang dia ciptakan sendiri.

"Aku minta maaf," bisiknya ke kekosongan kamar. "Lara, aku minta maaf. Abi, aku minta maaf. Aku... aku tidak bermaksud untuk..."

Tapi dia bermaksud. Setiap kebohongan, setiap perselingkuhan, setiap keputusan untuk prioritaskan hasrat di atas tanggung jawab—semua itu adalah pilihan yang dia buat dengan sadar. Dia tidak bisa claim ignorance atau accident.

Dia membuat pilihan. Dan sekarang dia facing konsekuensi.

Ponselnya berbunyi—bunyi yang terlalu keras di keheningan kamar. Gavin tidak mau angkat. Tidak peduli siapa. Tidak peduli apa. Dia tidak punya energi untuk bicara dengan siapapun.

Tapi ponsel terus berbunyi. Dan berbunyi. Dan berbunyi.

Dengan gerakan yang lelah, Gavin ambil ponselnya—layar retak di sudut dari jatuh beberapa hari lalu tapi masih berfungsi. Nama yang muncul membuat jantungnya berhenti:

**Pak Saka Adipratama**

Ayahnya. Pendiri Narendra Group. Pria yang memberikan Gavin posisi CEO bukan karena nepotism tapi karena percaya Gavin bisa memimpin perusahaan dengan integrity dan tanggung jawab.

Pria yang akan sangat kecewa saat tahu apa yang Gavin lakukan.

Dengan tangan gemetar, Gavin angkat. "Halo, Pak."

"Gavin." Suara ayahnya keras—bukan marah, tapi firm dengan cara yang membuat Gavin merasa seperti anak kecil lagi yang dipanggil ke ruang kepala sekolah. "Kita perlu bicara. Sekarang. Kamu di mana?"

"Aku... aku di hotel, Pak. Ada apa—"

"Kamu tahu atau tidak," potong ayahnya, dan sekarang ada edge di suaranya yang membuat Gavin tegang, "bahwa skandal perselingkuhanmu sudah mulai bocor ke media?"

Dunia Gavin berhenti.

"Apa?"

"Media, Gavin. Wartawan. Gosip online. Sudah ada yang mulai sniffing around tentang affair-mu dengan Kiran. Tentang bagaimana CEO Narendra Group—perusahaan keluarga yang dibangun atas nilai integrity—selingkuh dengan karyawan sendiri. Dan tidak hanya itu—" suara ayahnya makin keras, "—rumor tentang kamu menggunakan company funds untuk affair juga mulai beredar!"

Gavin merasa mual. "Pak, itu tidak benar. Aku tidak—"

"Aku tidak peduli benar atau tidak sekarang!" bentak ayahnya, dan ini pertama kalinya Gavin dengar ayahnya berteriak seperti ini. "Yang aku peduli adalah ini akan menghancurkan reputasi perusahaan! Menghancurkan nama keluarga kita! Apa kamu pikir saat kamu sibuk main-main dengan selingkuhan, kamu tidak membahayakan segalanya yang sudah kita bangun selama tiga puluh tahun?!"

"Pak, aku bisa jelaskan—"

"Penjelasan nanti!" potong ayahnya. "Sekarang, kamu datang ke rumah. Besok pagi, jam tujuh. Kita akan rapat darurat dengan board of directors. Dan Gavin—" ayahnya berhenti, napas terdengar berat, "—kamu better punya penjelasan yang bagus. Karena kalau tidak, aku akan pertimbangkan untuk remove kamu dari posisi CEO."

Line mati.

Gavin menatap ponselnya yang layarnya kembali gelap, mencerminkan wajahnya sendiri yang pucat dan hancur.

Remove dari posisi CEO. Kehilangan perusahaan. Kehilangan satu-satunya hal yang tersisa yang membuat hidupnya punya arti.

Dia sudah kehilangan istrinya. Kehilangan selingkuhannya. Kehilangan respect adiknya. Dan sekarang dia akan kehilangan pekerjaannya juga?

Gavin jatuh duduk di lantai lagi, punggung bersandar di dinding, menatap kosong ke langit-langit.

Semua hancur. Segalanya yang pernah dia punya, segalanya yang pernah dia percaya akan always be there—semuanya hilang.

Dan yang paling menyakitkan? Dia yang membuat ini terjadi. Tidak ada yang bisa dia salahkan selain dirinya sendiri.

Ponselnya berbunyi lagi—notifikasi media sosial. Dengan tangan gemetar, Gavin buka.

Artikel sudah mulai muncul di beberapa blog gosip:

**"CEO Narendra Group Diduga Selingkuh dengan Karyawan Sendiri—Skandal yang Mengguncang Dunia Bisnis Jakarta"**

**"Gavin Narendra: Playboy Berjubah Pebisnis? Sumber Dalam Bocorkan Affair dengan Marketing Manager"**

Comments sudah mulai berdatangan—kebanyakan menghakimi, mengutuk, mem-bully dengan anonimitas internet yang kejam.

Gavin tutup ponselnya, lempar ke ranjang, dan tutup wajahnya dengan kedua tangan.

Ini baru permulaan. Besok akan lebih buruk. Lusa lebih buruk lagi. Dan dia harus facing semuanya—sendirian, tanpa support, tanpa anyone di sisinya.

Karena semua orang yang pernah mencintainya sudah pergi.

Dan dia—Gavin Narendra, pria yang dulu pikir dia bisa punya segalanya tanpa konsekuensi—sekarang berakhir dengan tidak ada apa-apa.

Di kamar hotel yang dingin dan sepi, dengan serpihan kaca di lantai dan air mata di pipi, Gavin Narendra finally understand:

Kamu tidak bisa main api tanpa terbakar.

Dan dia sekarang terbakar habis—tidak ada yang tersisa selain abu dan penyesalan.

---

**Bersambung

1
Aretha Shanum
dari awal ga suka karakter laki2 plin plan
Dri Andri: ya begitulah semua laki laki
kecuali author🤭😁
total 1 replies
Adinda
ceritanya bagus semangat thor
Dri Andri: makasih jaman lupa ranting nya ya😊
total 1 replies
rian Away
awokawok lawak lp bocil
rian Away
YAUDAH BUANG AJA TUH ANAK HARAM KE SI GARVIN
rian Away
mending mati aja sih vin🤭
Dri Andri: waduh kejam amat😁😁😁 biarin aja biar menderita urus aja pelakor nya😁😁😁
total 1 replies
Asphia fia
mampir
Dri Andri: Terima kasih kakak selamat datang di novelku ya
jangn lupa ranting dan kasih dukungan lewat vote nya ya kak😊
total 1 replies
rian Away
wakaranai na, Nani o itteru no desu ka?
Dri Andri: maksudnya
total 1 replies
rian Away
MASIH INGET JUGA LU GOBLOK
Dri Andri: oke siap 😊😊 makasih udah hadir simak terus kisah nya jangan lupa mapir ke cerita lainnya
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!