Semua berawal dari rasa percayaku yang begitu besar terhadap temanku sendiri. Ia dengan teganya menjadikanku tumbal untuk naik jabatan, mendorongku keseorang pria yang merupakan bosnya. Yang jelas, saat bertemu pria itu, hidupku berubah drastis. Dia mengklaim diriku, hanya miliknya seorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusi Fitria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 22
Inilah waktunya. Tiket kepulanganku sudah berada di tangan. Aku sangat berterima kasih kepada Evelyn yang membantuku dan berjanji akan merahasiakannya dari siapapun. Jadi sebentar lagi pesawatku akan Take off satu jam lagi.
Aku meremas tanganku gugup, semoga saja tidak ada yang mengenaliku. Ponselku sengaja kutinggalkan diatas nakas, tak lupa aku menulis surat untuk Mama yang berisikan:
Ma, aku pulang ke Indonesia selama 1 minggu. Jangan mencariku dan tolong jangan beritahu Elbarra. Aku ingin refresing sebentar. Jaga diri Mama baik-baik yaa selama aku pergi. I Love you so much!
Begitulah kira-kira surat yang kutulis untuk Mama. Aku yakin kalau Mama pasti akan mengerti.
Pesawat yang kunaiki akan boarding, buru-buru aku berjalan menuju petugas lalu menyerahkan tiketku. Akhirnya aku bisa merasakan sedikit ketenangan.
Saat aku sudah duduk di kursi penumpang, aku melepaskan segala atribut di tubuhku, mulai dari kacamata hitam, syal, jaket hingga topi. Rasanya begitu gerah.
Waktu yang kunantikan tiba, pesawat ini akhirnya lepas landas. Sampai jumpa Mama, Moms, Dad, Evelyn dan... Elbarra. Aku akan pulang minggu depan hehe.
Aku duduk dengan tenang sambil menikmati gumpalan awan dari balik jendela. Tanpa terasa aku tersenyum sendiri mengingat ide gila yang kutempuh ini.
Mungkin aku jahat,kejam dan tega terhadap Mama dan Elbarra karena meninggalkan mereka tanpa kabar. Tapi mau bagaimana lagi, aku ingin menjernihkan pikiranku yang ruwet ini, bukan karena aku ingin melarikan diri. Waktu seminggu aku rasa cukup untuk liburan ke kampung halaman.
Mulutku menguap lebar, mataku terasa sangat berat. Kurasa karena semalam aku begadang mempersiapkan segalanya. Aku memilih untuk memejamkan mata, sambil menunggu pesawat landing.
Entah sudah berapa lama aku tertidur, aku membuka mataku saat merasakan ada seseorang yang menggoyang bahuku. Ternyata pramugari yang melakukannya. Ia tersenyum kepadaku yang masih terlihat linglung karena baru bangun tidur.
"Permisi, Nona. Kita sudah tiba di Indonesia.."
"Benarkah?" Tanpa sadar aku memekik girang.
"Tentu saja, Nona. Silahkan untuk turun dan membawa barang Anda."
Aku menganguk pelan, pramugari itu membantuku membawa koper kecilku sekalian mengantarku untuk keluar. Ternyata tinggal aku sendiri di pesawat. Huh, aku jadi malu.
"Terima kasih," ucapku sambil mengambil alih koperku.
Bergegas aku melangkah keluar dari bandara. Hal yang pertama kulakukan adalah memesan taksi, tak susah mencarinya, karena di depan bandara beberapa taksi memang sudah menunggu.
Tujuanku adalah hotel, aku sudah memesannya lewat online, tinggal check-in saja. Zaman sekarang sudah serba gampang, bukan?
Jika kalian bertanya darimana aku bisa memesannya lewat online, tentu dengan ponsel yang kubawa. Sambil memberikan tiket, Evelyn memberikan salah satu ponselnya kepadaku. Benar-benar adik ipar yang pengertian. I love you, Eve.
"Terima kasih, Pak..." Aku menarik koperku keluar dari taksi.
Hotel yang kupesan cukup luas dan mewah. Setelah mengambil kartu akses atau key card di resepsionis, segera kubawa kaki-ku ini menuju kamar.
Kutempelkan kartu akses di pintu kamar hingga muncul lampu indikator berwarna hijau yang menandakan bahwa pintu sudah dapat di buka. Kartu akses yang kupegang ini bukan hanya untuk membuka pintu kamar, tapi juga untuk menaiki lift. Jika hilang, aku tidak tahu apa yang akan terjadi.
Bip!
Pintu tersebut kubuka perlahan, penampakan di dalamnya sungguh membuatku terpukau. Posisi kamarnya juga sesuai dengan yang kuinginkan, ada jendela besar yang menghadap langsung ke jalan ibukota.
Aku merasa lelah, kuputuskan untuk berendam sejenak di bath-up. Aroma terapi dari sabunnya begitu menenangkan, aku jadi tidak ingin beranjak. Sembari bermain dengan sabun-sabun, mataku tak sengaja tertuju pada cincin yang melingkar di jariku.
Cincin bermatakan berlian. Cincin yang diberikan dan dipasangkan langsung oleh Elbarra. Katanya sih sebagai bukti bahwa kami adalah pasangan yang sah. Cihh
Semakin kuperhatikan, ada yang aneh dengan cincin ini. ada sedikit warna merah di dalam permatanya. Apa itu? pikirku bingung.
Tak ingin terlalu larut dalam memikirkannya, aku mengendikkan bahuku acuh. Yang kuinginkan adalah menikmati kedamaian ini.
Setelah usai berendam, masih dengan menggunakan mantel mandi aku memilih untuk rebahan di kasur. Aku sedang memikirkan harus kemana, rasanya tidak mungkin berdiam diri selama seminggu disini.
Kruyukkk~
Bunyi perutku terdengar nyaring, untung hanya ada aku disini. Duh, jika ada orang lain yang mendengar, aku bisa sangat malu.
Akhirnya kuputuskan untuk pergi beli makan. Aku memakai dress tali selutut, dengan dipadukan sweater broken white favoritku. Dengan percaya diri aku keluar dari hotel.
Seperti orang kalap, aku beli jajanan seperti martabak, cumi bakar kesukaanku, sate taichan, dan jus alpukat. Kuelus perutku yang kembung, aku tertawa geli melihatnya.
Kupandang langit yang sudah gelap, sebaiknya aku pulang dan lanjut untuk istirahat. Sambil berjalan menuju kamar, aku sedikit bersenandung.
Bip!
Aku membuka pintu kamar, lalu...
Degg!
Tubuhku membeku diambang pintu. Di sebuah sofa ada seseorang yang sedang duduk seraya menatapku tajam.
"Kenapa diam saja? Cepat masuk!"
Dengan gerakan sangat lambat, aku menutup pintu lalu menghampirinya. Aku berdiri tepat di depannya sembari menunduk dalam-dalam. Tatapan matanya kali ini begitu menakutkan.
"Kau mengingkari janjimu, Sisi! Hukuman apa yang pantas kuberikan untukmu?"
Aku tak berani bersuara, bergerak saja aku takut.
"Kau lupa dengan ucapanku kemarin malam? JAWAB AKU!!"
Tubuhku gemetar mendengar bentakannya. Aku meremas dressku takut.
"ELL!!" teriakku spontan saat kurasakan tubuhku melayang ke udara.
Elbarra menghempaskan tubuhku secara kasar keatas kasur. Aku langsung duduk dan merangkak kebelakang saat melihat Elbarra membuka jas hitamnya cepat dan membuang jas mahal itu ke lantai.
"El, apa yang ingin kau lakukan?"
"Aku akan melakukan apa yang seharusnya kulakukan sedari dulu!" ujarnya sambil menarik kaki-ku.
"El, kumohon. Dengarkan aku dulu, aku ke Indonesia untuk... Mmmpptt."
Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, Elbarra dengan cepat mencium bibirku. Kali ini lebih kasar dan lebih buas.
"Eughh, El..." erangku saat Elbarra mengigit-gigit kecil bibirku.
Aku tak sengaja membuka bibirku karena melenguh, hal itu menjadi kesempatan bagi Elbarra untuk memasukkan lidahnya. Berulang kali kucoba mendorong tubuh kekarnya yang menindih tubuhku, tapi tenagaku tidak cukup kuat darinya.
"El, sakit!! Eughh..." Semakin aku mengeluh, semakin buas pula ciumannya. Dia melumat bibirku tanpa berniat berhenti sama sekali.
Tak berselang lama, Elbarra melepaskan ciumannya. Nafas kami tersengal-sengal secara bersamaan. Matanya masih menatapku tajam. Kurasakan bibirku bengkak dan nyeri.
Kutatap lurus mata Elbarra, terdapat amarah, kekecewaan dan nafsu di dalamnya. Oh Tuhan, aku benar-benar takut.
"El, tolong dengarkan aku---"
"DIAMM!!"
Sreeettt~
Dress yang kupakai dirobek paksa olehnya, menyisakan bra merah sekarang. Astaga, Elbarra sudah diluar kendali saat ini. Dressku yang sudah robek di buang sembarangan di lantai. Refleks aku menutupi dadaku dengan kedua tangan.
"El, kumohon berhenti. I-ini tidak benar..." ucapku yang terbata-bata.
Elbarra tidak ingin mendengar, ia kembali melancarkan aksinya dengan menghisap hingga mengigit kecil leherku.
"Aku kecewa kepadamu, Sayang. Mana janjimu yang kau bilang takkan melarikan diri dariku," bisik Elbarra di sela-sela kegiatannya.
Aku mulai menangis, apalagi saat tangan pria itu mulai menyentuh bagian dadaku. "El, aku bisa jelaskan... Aaarghh!!"
Dia mer*masnya sangat kuat. Aku meringis kesakitan. Elbarra sangat kasar, sungguh. Ini benar-benar sakit, hiksss.
Elbarra kembali mencium bibirku ganas. Tak kulihat sedikitpun kelembutan dalam dirinya. Oh Tuhan, apakah ini akhir dariku?