NovelToon NovelToon
My Enemy, My Idol

My Enemy, My Idol

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Enemy to Lovers
Popularitas:378
Nilai: 5
Nama Author: imafi

Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.

Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.

Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Aroma jengkol menusuk hidung Quin yang sedang duduk di teras rumah Dima. Dia tidak menyangka - ataupun memikirkan - untuk bisa berada di halaman rumah Dima. Dima sendiri sudah sering ke rumah Quin, karena tugas sekolah waktu kelas 10. Quin tampak tidak nyaman. Dia ingin pergi agar tidak lagi mencium bau jengkol yang membuatnya pusing ini, tapi dia harus menunggu Dima yang baru saja pulang membantu ibunya belanja. Sambil masih duduk, Quin melongo ke dalam rumah Dima, melalui pintu ruang tamu yang terbuat dari kaca dan sedikit terbuka. 

Tidak ada tanda-tanda orang di dalamnya. Hanya terdengar sedikit kegaduhan di dapur. 

Quin berusaha menutup hidungnya, tapi bau jengkol itu terlalu sengit. Terpaksa sesekali Quin bernapas dengan mulutnya. Dia memeriksa hapenya, lalu mengirimkan pesan pada Dima agar lekas datang.

Sementara itu, Dima baru saja ganti baju, mencabut hape dari colokan chargernya yang disimpannya sejak tadi berangkat membantu ibunya pergi belanja. Dia ambil gitarnya lalu turun ke dapur.

“Bu, Dima ke rumah Quin dulu,” kata Dima sambil salim ke tangan ibunya yang baru saja mencuci ikan. Dima menjauh dan menggosok hidungnya yang basah kena air di tangan ibunya.

“Ada tugas sekolah?”

“Nggak. Bantuin dia latihan nyanyi, dia kepilih YAMI.”

“Latihan di sini aja, Dim. Nanti ibu gorengin risol,”

“Hmmm…” Dima tampak bingung menjawab. “Mau di kafenya Bang Ari aja, Bu.”

“Ya sudah. Bawa motor?”

Dima mengangguk.

“Hati-hati,” ujar ibunya seraya mengantarkan Dima keluar rumah.

Quin bergegas menurunkan tangan dari hidungnya, ketika Dima dan ibunya keluar dari rumah.

“Haji Berkah itu emang suka banget makan jengkol!” jelas ibunya Dima pada Quin yang berdiri dan mengikuti langkah Dima mendekati motornya.

“Kadang suka dibagi ke sini!” kata Dima memberikan helm ke Quin. “Padahal di sini nggak ada yang suka.”

“Udah bilang kalau nggak ada yang suka?” tanya Quin sambil memakai helm.

“Udah. Tapi katanya, ada hadis dimana kalau tetangga nyium wangi makanan kita, kita harus membaginya. Jadi lah dia selalu membagi jengkol ke tetangga,” jelas ibunya Dima sambil tersenyum.

“Harusnya hadis itu buat makanan yang wangi aja, bukan yang bau,” kata Dima membuat Quin tertawa kecil.

“Begitu lah namanya hidup bertetangga. Nggak bisa milih mau tetangga seperti apa. Ya terima aja deh jengkolnya,” jelas ibunya Quin lagi.

“Ayo!”ujar Dima.

“Pergi dulu, tante,” jawab Quin sambil salim ke ibunya Dima, lalu naik keboncengan motor.

“Hati-hati, Dim,” kata ibunya sambil menutup pagar, sesaat setelah Dima menjalankan motornya membonceng Quin pergi jauh dari wangi jengkol.

Terlihat pintu rumah Haji Berkah terbuka. Ibunya Quin bergegas masuk ke dalam rumah dan menutup pintu ruang tamu, berharap agar Haji Berkah tidak datang mengirimkan jengkol lagi.

Di sebuah kafe kecil. Lebih tepatnya rumah kecil yang diubah menjadi kafe. Dima dan Quin duduk di salah satu kursi. Bang Ari pemilik kafe ternyata tidak ada di sana. Dima jadi tidak bisa minta minuman gratis. Akhirnya Dima dan Quin memesan minuman yang paling murah, es teh tawar.

“Motor kamu udah balik?” tanya Quin yang sebenarnya tidak ingin kepo.

“Ceritanya panjang. Tapi untungnya ketemu,” jawab Dima lalu mengeluarkan gitarnya. 

Karena Dima menjawab tanpa menatap Quin, Quin tidak bertanya lebih lanjut. 

“Mau nyanyi apa?” tanya Dima sambil menyetel gitarnya.

“Kamu nggak baca chat aku?”

“Oh, tadi pas pergi aku nggak bawa hape. Dicas,” jawab Dima sambil menatap hape dan membaca pesan Quin yang bilang kalau tidak jadi latihan, cuma mau diskusi buat milih lagu. “Oh, nggak perlu bawa gitar dong ya berarti?”

“Ya nggak apa-apa juga sih,” jawab Quin merasa tidak enak.

“Gimana kemarin? Ke stasiun TV ya?” tanya Dima memasukkan gitarnya kembali ke tas gitarnya.

Quin menjelaskan semuanya. Seperti yang dijelaskannya pada teman-temannya, kecuali soal bagian Arka.

“Oke, kalau elu sendiri maunya nyanyiin apa?” tanya Dima setelah Quin mengakhiri ceritanya dengan mengeluh bingung mau nyanyi apa.

“Nggak tau. Kayanya gue nggak mau ngelanjutin YAMI,” jawab Quin menyandarkan dirinya ke kursi lalu menutup matanya dengan lengan kanannya, agar cahaya matahari senja menyilaukan matanya. 

“Kalau kata gue, elu nyanyi yang elu suka aja,” Dima berusaha tidak memaksa Quin lebih lanjut. Dia sadar ini semua salahnya, telah memaksa Quin melakukan yang tidak dia sukai. “Lanjut atau tidak ke babak selanjutnya, ya pasrah aja.”

“Bisa nggak, gue bantuin elu aja biar puisi lu menang, tapi nggak usah lanjutin YAMI?” tanya Quin yang tiba-tiba menyimpan kedua lengannya di meja dan menatap Dima dengan serius.

Dima langsung menjauh dari meja dan memalingkan tatapannya ke tanah. Tiba-tiba ada kupu-kupu terbang di dalam dadanya. “Ya bisa aja sih. Terserah aja.”

“Nggak bisa. Aku harus bayar denda.”

“Serius?” Dima menatap Quin kaget.

“Iya.”

“Sori.”

“Becanda! Nggak kok. Gue mau kok lanjutin YAMI. Kalau gue lanjut terus, gue bisa promoin puisi lo juga. Lo doain aja gue kepilih terus.”

Dima menepuk kepalanya lalu bersandar ke kursi, “Gila lu, gue kira beneran harus denda!”

“Jadi menurut lo, gue bawain lagu apa?” Quin terdengar putus asa.

“Kalau yang lain gimana?” Dima melirik layar hapenya Quin yang menggunakan anti spy.

“Ya macem-macem.”

“Lagu Indonesia?”

“Ada yang iya, ada juga yang lagu barat.”

“Kalau kata gue elu nyanyi lagu Indonesia.”

“Kenapa?” Quin memiringkan kepalanya sehingga rambutnya yang panjang bergoyang tertiup angin.

Dima tertegun sejenak. Dia tidak mengira sedang duduk berdua, bicara tanpa debat dengan Quin yang benar kata orang, cocok untuk menggantikan Dian Sastro menjadi Cinta.

“Dim?” Quin memicingkan mata melihat Dima bengong.

“Soalnya biar gampang aja. Kalau lupa lirik, tinggal tambahin kata-kata bahasa Indonesia. Kalau bahasa Inggris kan susah. Ntar yang ada malah giberis!”

Quin tertawa, baru kali ini dia merasa Dima ternyata tidak semenyebalkan biasanya.

Terdengar suara dering hape Quin.

Dima tahu dari tadi Quin berusaha untuk tidak menjawab chat dari seseorang, tapi dia mau bertanya karena tidak ingin terdengar kepo atau ingin tahu.

“Eh, gue harus pulang. Udah ditanyain Mama,” jawab Quin setelah mematikan telepon yang masuk dan membaca pesan di hapenya.

“Oh ya udah, aku anter pulang,” jawab Dima yang langsung bangkit.

Ada mobil terparkir di depan rumah Quin. Dima menurunkan Quin di depan pagar.

Quin memberikan helm ke Dima sambil mengeluh, “Males banget deh, Om tante aku pada dateng mau ngerayain aku masuk YAMI.”

“Sabar-sabar, kalau elu menang, bakalan pesta tujuh hari tujuh malem!” Dima menggoda Quin.

“Nggak mauuu!” Quin memelas manja.

Terdengar dering hape Quin.

“Udah sana, masuk. Udah dicariin tuh.”

“Iya. Makasih ya!”

“Sama-sama.”

Quin berpaling dari Dima. Dima melihat sekilas bahwa ada pesan dari seseorang yang bernama Arka di hapenya Quin.

Bersambung.

1
Leni Manzila
hhhh cinta rangga
queen Bima
mantep sih
imaji fiksi: makasih udah mampir. aku jadi semangat nulisnya.🥹
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!