Gimana jadinya gadis bebas masuk ke pesantren?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pria Dari Masa Lalu
...BAB 22...
...PRIA DARI MASA LALU...
Setelah kegaduhan tak resmi akibat kedatangan Kaisar Ar-Rayyan, suasana mulai sedikit mereda. Para santri mulai dibubarkan oleh pengurus, walau banyak di antara mereka masih mencuri pandang ke arah pria tampan blasteran Indo-korea itu, yang kini duduk santai bersama Ustad Izzan, Ustad Azzam, Ustad Hamzah dan Ustad Jiyad di serambi depan rumah Ustad.
Kopi dan teh manis sudah disuguhkan. Angin pagi sejuk menyapa, namun obrolan mereka justru menghangat, apalagi saat Kaisar mulai bercerita.

Ilustrasi
“Jadi, kamu beneran selesai kuliah di Yaman?” tanya Ustad Jiyad dengan ekspresi penasaran.
Kaisar mengangguk ringan, menyeruput kopinya. “Iya, setelah itu lanjut lagi di Qatar sebentar dan terakhir ke Turki buat program pertukaran dakwah.”
Ustad Azzam menyipitkan mata, “Hidup kamu itu kayak drama keislaman full subtitle, bro. Tapi kenapa mendadak balik lagi ke pondok nih? Kangen ngaji bareng atau...”
Kaisar tersenyum kecil, matanya sedikit menerawang.
“Hah... gue balik ke sini bukan Cuma karena kangen pondok...” ujarnya pelan. “... tapi karena ada satu hal yang harus gue lurusin. Sebuah... kesalahpahaman. Sama seseorang.”
Semua Ustad langsung saling pandang dan ciye-ciyean dalam hati.
Aigooo....
“Wah.. Wah... Wah...” Ustad Hamzah mulai menggoda, “Biasanya yang bikin pria sejernih kamu pulang buru-buru dari luar negeri itu ya... urusan hati.”
Ustad Izzan tersenyum miring, “Jangan bilang ini soal... dia?”
Kaisar hanya menatap mereka tanpa menjawab, tapi senyumnya... cukup menjelaskan segalanya.
“MasyaAllah!” seru Ustad Jiyad. “Cinta lama belum selesai, ya mas bro? Mau dilanjut nih ini ceritanya?”
“Bukan cinta lama,” Kaisar mengoreksi, “Tapi cinta yang masih belum dimulai. Dan... mungkin, masih bisa disembuhkan.” Dia menghela napas panjang. “Dulu gue pergi dengan marah, tanpa penjelasan, tanpa pamit. Dan gue tau itu salah.”
Ustad Izzan menepuk bahu sepupunya, “Setidaknya kamu sadar dan berani memperbaiki. Nggak semua orang bisa lakukan itu.”
Ustad Azzam mengangguk pelan, walau kemudian nyengir usil. “Cuma... kamu yakin dia masih menunggu? Atau... masih mau menerima?”
Kaisar diam sejenak, lalu mengangguk mantap. “Aku nggak tau. Tapi kalau aku menyerah tanpa mencoba, aku nggak akan pernah tau jawabannya.”
Seketika suasana hening sejenak... lalu pecah oleh teriakan Ustad Jiyad.
“Aduuuhh!! Ini tuh kayak drama Ramadan tapi versi pesantren! Judulnya ‘Kembalinya Sang Kaisar, Mencari Cinta yang Hilang!”
Mereka semua tertawa. Tapi di tengah canda itu, hanya satu nama yang terlintas di benak Kaisar.
Arabella Thraiya Dominic. Gadis Absurd, ceria dan penuh kejutan...
Dan mungkin, satu-satunya alasan Kaisar Ar-Rayyan kembali ke Jakarta, dia tidak pernah tau seseorang yang akan dia temui ternyata berada di pondok pesantren.
*****
Suasana di n’dalem Kiyai Hasyim pagi itu seperti biasa tenang, sejuk dan penuh aroma kopi dan bacaan Al-Qur’an. Uma Salma sedang duduk di ruang tamu sambil mengatur daftar kebutuhan dapur minggu ini. Ning Najwa, si gadis 12 tahun yang ceria dan ceriwis, tengah bermain boneka di karpet ruang tengah.
Kiyai Hasyim sendiri duduk di serambi depan, menikmati kopi hangatnya dengan tatapan teduh ke arah taman kecil di halaman. Tiba-tiba...
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...”
Suara bariton yang dalam, hangat dan... asing, namun terasa familiar, terdengar dari ambang pintu utama n’dalem. Uma Salma spontan menoleh dan matanya membelalak.
“Allahuakbar...” gumamnya tertegun sejenak.
Sementara itu, Ning Najwa langsung bangkit dari duduknya, melempar boneka begitu saja, lalu berlari seperti kilat ke arah suara itu.
“KAK KAISAAARRR!!!”
Dengan lompatan khas anak kecil, Ning Najwa langsung memeluk pria tinggi berkulit terang yang berdiri di depan pintu sambil tersenyum manis. Rambutnya sedikit berantakan karena perjalanan, tapi sorot matanya tetap hangat seperti dulu.
“Aku kangen banget! Lama banget Kak Kaisar nggak pulang! Aku sampe mikir Kakak lupa rumah ini!” omel Najwa sambil memeluk erat.
Kaisar tertawa kecil, mengelus rambut adik sepupunya dengan sayang. “Maaf ya, Ning Najwa. Kakak sibuk nyari oleh-oleh buat kamu di tiga negara. Tapi liat, Kakak balik juga kan?”
Uma Salma berdiri perlahan, menatap tak percaya.
“Masya Allah... ini beneran kamu, Sayang? Kaisar?”
Kaisar langsung masuk dan mencium tangan Uma dengan takjim.
“Iya, Uma. Maaf baru bisa pulang sekarang. Banyak hal yang harus dibereskan di Yaman... dan di dalam hati juga.”
Uma langsung memeluknya erat. Pelukan yang penuh rindu seorang ibu pada anak yang lama merantau. Sementara itu, di luar... Kiyai Hasyim masih duduk santai, senyum tipis menghiasi wajah tuanya yang penuh wibawa. Begitu Kaisar keluar menghampiri, Kiyai Hasyim menatapnya dalam, lalu menyambutnya dengan tangan terbuka.
“Akhirnya... Sang musafir kembali.”
“Sudah cukup merantau, Rayyan?” tanyanya lembut.
Kaisar menunduk, mencium tangan dan lutut Kiyai Hasyim dengan penuh hormat.
“Sudah, Yai... Kini aku ingin menata yang dulu tertinggal.”
Kiyai Hasyim mengangguk pelan. “Selamat datang kembali, anakku. Rumah ini... dan takdirmu, telah menunggu.”
Kiyai Hasyim dan Uma Salma tidak pernah menganggap Kaisar sebagai ponakan, mereka selalu menganggap Kaisar adalah putra kedua mereka, saat orang tua Kaisar meninggal karena kecelakaan, Kaisar terpaksa meneruskan kuliah dan membenahi usaha keluarganya di Yaman.
Dan begitulah... pagi itu, n’dalem Kiyai Hasyim bukan hanya kedatangan seorang santri yang telah selesai menuntut ilmu. Tapi juga seorang lelaki yang kembali dengan harapan, cinta dan masa lalu yang ingin ditebus.
*****
Di tengah riuhnya suasana kampus pagi itu, Arabella duduk di bangku taman kampus sambil menatap kosong ke arah lapangan yang biasanya jadi tempat favoritnya mengusili mahasiswa baru. Biasanya , gadis absurd itu sudah sibuk dengan tawa khasnya, entah mengerjai siapa atau membuat drama ala sinetron dadakan bersama Gita dan Nisa.
Tapi pagi ini... Arabella hanya diam. Tangannya mencoret-coret buku catatan tanpa arah, matanya kosong, dan wajahnya seolah menyimpan tanya yang tak kunjung usai.
Gita yang duduk di sebelahnya mengernyit, meletakkan donat yang tadi dibelinya dan menepuk pundak sahabatnya itu.
“Bell... Lu napa sih? Dari tadi gue perhatiin lu bengong mulu!”
Nisa pun ikut menggeser duduknya, menyandarkan dagu ke bahu Arabella, “Iya, biasanya lu udah ngakak-ngakak nyari target buat iseng. Ini malah anteng kek... daun kelor disiram embun subuh.”
Arabella terkekeh kecil, tapi tak mampu memalsukan senyumnya dengan sempurna.
“Gue juga gak ngerti guys! Kok hati gue mendadak gelisah gitu, kayak... mau ada sesuatu apaaa... gitu. Tapi gue juga nggak tau apa?”
Gita dan Nisa saling pandang.
“Gelisah? Tugas kuliah lu aman. Jadwal ngaji juga aman. Cupi sehat. Lah terus gelisah gara-gara apa?” tanya Gita mencoba logis seperti biasa.
Arabella menarik napas panjang, menatap langit biru yang cerah.
“Kadang, gue ngerasa... masa lalu tuh nggak pernah selesai. Walau gue pura-pura nggak peduli, tapi... hati ini tuh... kayak diseret ke belakang lagi.”
Nisa menatap lekat wajah sahabatnya itu, lalu berkata pelan.
“Ini... soal dia ya?”
Arabella terdiam maranta menunduk.
“Dulu... dia yang ngejar gue. Dia yang bilang jangan pergi. Tapi pas gue buka hati dan mulai cinta, dia... hilang. Tanpa kabar, tanpa pesan.”
Suara Arabella mulai lirih, seolah mengulang luka lama yang tak benar-benar sembuh.
“Dan sekarang, entah kenapa... gue ngerasa dia deket. Tapi gue nggak tau, apa itu Cuma perasaan, atau kenyataan.”
Gita menggenggam tangan Arabella erat. “Kalo emang takdirnya ketemu lagi, semoga dia dateng bukan Cuma buat buka luka. Tapi buat sembuhin dan ngelengkapin hidup lu.”
Arabella hanya tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangan ke arah pohon besar dekat parkiran motor, tempat Cupi biasanya di titipkan.
“Tapi kalo dia dateng pas hati gue hampir bisa ikhlas... apa itu ujian atau jawaban?”
Nisa dan Gita tak menjawab. Hanya diam, menemani Arabella yang untuk pertama kalinya... benar-benar terlihat rapuh. Karena dibalik semua kekonyolannya... ada luka yang dalam, dan cinta yang belum selesai.
*****
Pagi yang hangat menyelimuti n’dalem Kiyai Hasyim. Setelah sarapan sederhana bersama, suasana rumah kembali tenang. Uma Salma sedang merapihkan sajadah di ruang tengah, sementara Kiyai Hasyim duduk santai dengan kitab di pangkuannya, sesekali membalik halaman sambil menyeruput teh hangat.
Tiba-tiba, Kaisar muncul dengan langkah ringan, senyumnya khas—tenang, tulus dan seperti menyimpan sesuatu.
“Uma, Yai...” sapanya sambil mencium tangan keduanya.
“Mau ke mana pagi-pagi begini, Kaisar?” tanya Kiyai Hasyim tanpa mengalihkan pandang dari kitabnya.
“Keluar sebentar, Yai. Ada yang mau Kaisar temui.” Jawabnya santai, memasukkan kunci mobil ke saku jacketnya.
Uma yang baru saja selesai melipat sajadah menatap putranya itu sambil menyipitkan mata. “Jangan bilang mau jalan sama seseorang yang bukan mahram ya, Nak.”
“Iya loh, Kaisar...” sahut Kiyai Hasyim sambil menaikan satu alis, “Kalau mau jalan sama seseorang, ajak Ning Najwa sekalian, biar jadi satpam kecil. Minimal jadi saksi.”
Uma terkikik, menambahkan, “Atau ajak Uma aja sekalian, nanti kita bisa sekalian belanja pasar.”
Kaisar tertawa pelan, tidak menyangkal namun tidak juga membenarkan. Dia hanya menggeleng pelan, lalu menjawab dengan senyum teduhnya.
“Kaisar hanya ingin memastikan... seseorang yang dulu pernah ada di hati, apakah dia baik-baik saja. Hanya ingin menyapa, tak lebih.”
Uma Salma dan Kiyai Hasyim saling pandang sejenak.
“Hmm,,,” gumam Kiyai Hasyim, “Kadang sapaan kecil itu bisa jadi pembuka takdir besar, Nak.”
“Asal niat kamu lurus, InsyaAllah perjalanan kamu juga akan lurus.” Sahut Uma Salma lembut sambil tersenyum, walau dari sorot matanya jelas dia penasaran siapa yang dimaksud Kaisar.
“Doakan saja, Uma, Yai...” jawab Kaisar, kemudian berpamitan dan berjalan keluar rumah.
Langkahnya tegap namun hatinya sedikit bergetar. Karena pagi ini... dia akan kembali ke tempat yang diam-diam menjadi saksi bagaimana dirinya pernah jatuh cinta dan belum pernah benar-benar bisa melupakan.
*****
Mobil hitam elegan berhenti tepat di depan gerbang besar Mansion Wijaya Dominic. Di balik kaca jendela yang terbuka, tampak wajah yang sudah lama tak terlihat di lingkungan mewah itu Kaisar. Dengan senyum hangat, dia melangkah dari mobil, disambut semilir angin pagi dan kenangan yang seketika berdesakan dalam ingatannya.
“Mang Dadang!” sapa Kaisar dengan riang.
Satpam paruh baya yang sedang bersandar santai di pos penjagaan itu sontak berdiri tegak, nyaris menjatuhkan termos kopinya.
“Masya Allah, Den Kaisar?! Astaga, kageet Mamang!: ujar Mang Dadang sambil terkekeh dan menepuk dada sendiri. “Udah lama banget nggak main ke sini. Mang pikir Aden gak akan balik lagi...”
Kaisar tertawa kecil dan menjabat tangan Mang Dadang dengan hangat.
“Baru balik, Mang. Rindu suasana sini. Arabela... ada di dalam?”
Mang Dadang tersenyum, tapi lalu menggeleng pelan.
Pak Ardan sama Bu Nilam sedang perjalanan bisnis ke Jerman. Sudah tiga bulan nggak di rumah. Nona cantik Arabella lagi di pondok pesantren.”
“Pondok pesantren?” Kaisar mengangkat alis, matanya langsung berbinar dengan harapan.
“Iya, Den. Tapi... eh, nama pondoknya apa y...” Mang Dadang menggaruk kepalanya, mencoba mengingat. “Kemarin Bu Nilam sempet nyebut, tapi Mamang lupa. Ada sinyal jelek juga waktu itu sempet mati lampu.”
Wajah Kaisar menegang sejenak. Harapan yang tadi sempat menyala perlahan meredup.
“Oh... gitu ya.” Gumamnya pelan, menatap rumah besar itu dengan pandangan yang jauh. Namun tak lama, bibirnya tersenyum lagi. “Kalau gitu baiklah mang, saya coba ke markas moge nya dulu. Siapa tau anak-anaknya tau pesantren Arabella.”
Baru saja Kaisar hendak masuk mobil lagi, telpon dari ponselnya berdering keras. Sebuah panggilan dari luar negeri kantor pusat perusahaannya di Yaman.
Kaisar menatap layar ponselnya, lalu langit, lalu menatap gerbang mansion. Dia tau, saat ini pilihan bukan tentang ego, tapi tanggung jawab.
Dengan berat hati, dia mengangkat panggilan itu, dan perlahan masuk kembali ke mobil.
“Lain kali, Raiya ... tunggu saya, ya.” Bisiknya pada dirinya sendiri sebelum menutup pintu dan melajukan mobilnya pergi.
Tanpa dia tau... di tempat lain, seseorang baru saja merasakan gelisah yang tak beralasan. Seolah ada bagian dirinya yang disentuh... meski dari kejauhan.
*****
Langit mulai berwarna jingga saat Arabella pulang dari kampus, mengenakkan gamis casual dengan sneakers putih dan tas selempang yang selalu miring di bahu. Wajahnya tampak lelah tapi ceria, senyumnya mengembang karena satu hal sederhana.
“Yes.. hari ini gue bakalan tidur lebih cepet!” bisiknya penuh semangat, membayangkan bantal dan guling tercintanya.
Saat melewati gerbang pesantren, seperti biasa, dia langsung melambatkan laju si Cupi, lalu...
“DOR!” teriaknya sambil menepuk pundak Pak Aming, penjaga gerbang yang sedang khusyuk membaca koran.
“ASTAGA!” Pak Aming melonjak kaget sampai kacamatanya hampir jatuh. “Ya Allah , Neng Bella! Mau pensiunin Mamang ya?!”
Arabella cekikikan, “Biar semangat, Pak Aming. Supaya jantungnya tetep aktip.
Pak Aming Cuma bisa geleng-geleng kepala sambil mengelus dada, sementara beberapa santri putri yang barru pulang mengaji ikut tertawa melihat kelakuan Arabella yang tidak pernah kehilangan energi absurdnya. Tapi sebelum Arabella sempat memarkirkan si Cupi, tiba-tiba...
“Wuih, wuih... siapa itu? Si gadis kuliah ilmu dunia?”
Tiga sosok muncul dari arah belakang masjid— Devan, Balwa dan Balwi, si trio cowok pondok yang terkenal julid tapi kocak. Devan menyender ke tiang masjid sambil nyengir, Balwa melipat tangan di dada dan Balwi entah kenapa sudah bawa bendera putih kecil bertuliskan “Team Julid”
“Arabella... Arabella...” kata Balwa, “Tadi pas Ustadzah Rahmah absen, lo dicari loh. Kita bilang aja lo kuliah—mendahulukan duniawi dibanding ukhrawi.”
“Iya,” sambung Devan dengan ekspresi sok Ustad, “Yang penting kan gelar dulu, bukan akhirat. Iya nggak?”
Arabella menghentikan langkah, menatap mereka dengan tatapan datar, lalu... senyum tengilnya muncul.
“Iya sih. Soalnya kalo nggak kuliah, takutnya tar hidup bareng orang kayak kalian.”
“Ooohhh!” Santri yang lewat kompak berteriak heboh mendengar roasting lembut itu.
Balwi pura-pura kesakitan sambil menutup dada. “Kena mental gue..”
Tapi Devan tak tinggal diam, dia malah berkata sambil nyengir, “Gitu doang? Makanya jangan kuliah terus, belajar ngaji juga... biar bisa jawab pake dalil!”
Arabella mendecak, lalu mengambil sepotong ranting kecil dan melambaikannya seperti pedang.
“Kalian udah resmi! TIGA ORANG PERTAMA YANG MASUK DAFTAR HATAM AKHIRAT GUE!”
Langsung saja trio cowok itu lari terbirit-birit, tertawa-tawa sambil dikejar Arabella yang sudah lepas satu sepatu, bersiap menghajarnya dengan sepatu saktinya.
“SINIII KALIAANN, HINA BARENGAN MATI BARENGAN!!!”
Suasana sore itu mendadak hidup dengan kejar-kejaran absurd, suara teriakan, tawa dan langkah kaki yang memantul di lorong pondok. Para santri hanya bisa geleng-geleng kepala, Ustad muda yang melihat dari kejauhan pun hanya tersenyum pasrah.
Suasana pesantren sore itu semarak oleh suara tawa dan langkah kaki yang berlarian. Kejar-kejaran antara Arabella dan trio julid Devan, Balwa dan Balwi menjadi hiburan dadakan bagi para santri dan Ustadzah yang baru keluar dari masjid.
Namun, dari arah gerbang asrama utama, seseorang tengah berdiri membeku.
Kaisar.
Baru saja dia kembali dari menyelesaikan panggilan bisnis yang sempat menggagalkan niatnya menyusul jejak Arabella. Tubuhnya tegap, wajahnya bersih meski tampak sedikit lelah. Tapi sorot matanya memantul... hidup kembali.
Langkahnya terhenti. Telinganya menangkap suara... tawa... teriakan... keabsurdan.
“SINIII KALIAANN, HINA BARENG MATI BARENG!!!”
Suara itu... Nada itu... Semangat barbar itu...
Itu Raiyanya.
Matanya mengikuti gerakan seorang gadis yang tengah berlari dengan gamis panjang, sepatu hanya satu dan tangan mengayun sandal jepit dengan ancaman maut. Hijabnya berkibar, wajahnya penuh ekspresi kesal tapi lucu. Tapi di balik semua itu, jiwa yang sama... yang dia rindukan.
“RAIYA!!!”
Suara Kaisar menggelegar. Mendadak suasana hening. Seluruh aktivitas di halaman pesantren terhenti. Para santri berhenti bercanda. Ustad dan Ustadzah yang baru hendak masuk ke aula, terdiam.
Semua menoleh... ke arah Kaisar, yang kini melangkah cepat, tatapannya penuh harap, senyumannya penuh rindu.
Arabella yang tadinya masih mengejar Devan langsung berhenti. Sepatu di tangannya jatuh. Dia berdiri diam, tubuhnya membeku. Jantungnya berdetak tak karuan.
Suara itu... suara itu tidak asing. Dan panggilan itu hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan nama itu.
“Rayyan...” bisik Arabella dalam hati.
Lidahnya kelu. Tubuhnya gemetar halus. Dia belum berbalik, tapi hatinya sudah tau siapa yang berdiri di belakangnya. Lelaki itu... lelaki yang dulu mengejarnya. Yang mencintainya. Yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Lelaki yang dia benci karena pergi, tapi dia rindukan diam-diam setiap malam.
Para santri mulai berbisik-bisik. Beberapa langsung membuka ponsel mengirim pesan ke grup. Ustad Izzan dan Ustad Azzam yang berdiri di sisi aula hanya bisa menatap Kaisar dengan raut campur aduk.
“Apa yang terjadi...? Siapa Raiya...?”
Sementara Kaisar kini hanya beberapa langkah dari Arabella. Napasnya berat. Matanya tak lepas dari punggung gadis itu.
“Raiya... Lu Raiya kan?” tanyanya lirih, tapi cukup terdengar oleh semua yang ada di sana.
Dan perlahan... Arabella pun memutar tubuhnya. Air matanya menggenang dengan senyum penuh kekecewaan.
“Lo... masih berani manggil gue Raiya? Setelah ninggalin gue gitu aja, Hah?” lirih Arabella menatap Kaisar.
Suasana pesantren makin hening, bahkan daun pun seolah berhenti jatuh. Para santri dan Ustad serta Ustadzah makin penasaran, apa Kaisar pria tampan yang baru datang ke pesantren itu memiliki hubungan dengan Arabella.
Pertemuan yang tak terduga itu akhirnya terjadi. Tapi apakah luka dan rindu bisa berdamai di antara dua hati yang pernah saling memilih... lalu saling kehilangan?