Dijebak oleh sahabat dan atasannya sendiri, Adelia harus rela kehilangan mahkotanya dan terpaksa menerima dinikahi oleh seorang pria pengganti saat ia hamil. Hidup yang ia pikir akan suram dengan masa depan kacau, nyatanya berubah. Sepakat untuk membalas pengkhianatan yang dia terima. Ternyata sang suami adalah ….
===========
“Menikah denganku, kuberikan dunia dan bungkam orang yang sudah merendahkan kita."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22 ~ Belum Ada Judul
Bab 22
“Mas Abi, kita harus bicara.”
Adel menghampiri saat suaminya memasuki kamar.
“Oke,” sahut Abi.
Kondisi kamar Adel standar ukuran kamar biasa. Hanya ada ranjang, lemari pakaian, meja rias dan toilet. Abi ikut duduk di pinggir ranjang bersisian dengan Adel.
“Kita bukan di kantor, jadi tidak usah bicara resmi ya,” usul Abi
“Seharusnya mas Abi tidak lakukan ini. ”Adel bicara sambil menunduk, dengan kedua tangan berada di atas pangkuan.
Abi menoleh dan menghela nafas. “Kenapa tidak boleh?”
“Karena bukan Mas Abi yang harus melakukannya. Kalaupun Pak Zahir menolak, saya sudah ada rencana sendiri.”
“Dengan rekaman itu sebagai senjata? Percuma, kamu tidak akan berhasil membuatnya malu apalagi menyesal. Lawanmu Zahir Renaldi, sudah bawaan lahir otaknya licik.”
“Tapi saya malu. Rasanya ingin sembunyi atau kabur kalau tidak ingat ada Papa,” seru Adel dan kali ini berani menatap Abi. “Orang pikir saya murahan, mungkin mas Abi juga begitu. Mau saja ditiduri, padahal belum menikah. Jangankan pacaran, hubungan saya dan Pak Zahir bahkan tidak sedekat Itu.”
“Tapi aku tidak berpikir begitu.” Abi sudah menyelidiki kejadian di mana Zahir menjebak Adel, bahkan rekaman cctv di resto, karaoke dan hotel pun sudah dia dapatkan. Hanya saja perlu waktu yang tepat untuk menyampaikan pada Adel kalau ada orang lain yang ikut terlibat. Tidak malam ini.
“Sudah terjadi, tidak mungkin kita batalkan. Mas Abi boleh ceraikan saya kalau bayi ini sudah lahir.”
Abi mendessah kesal mendengar ide istrinya. Istri, iya Adel memang sudah sah menjadi istrinya. Ingin sekali ia meraih tubuh ringkih wanita ini ke dalam pelukan dan meyakinkan kalau keputusannya bukan karena paksaan apalagi kasihan.
“Tapi, aku tidak mau cerai.”
Adel kembali menoleh, Abi sedang menatapnya.
“Pernikahan ini bukan permainan dan jangan terinspirasi dari drama atau novel mengenai pernikahan kontrak apalagi pengantin pengganti. Aku bukan pengganti,” tutur Abi. “Di depan Papamu aku berjanji akan menjaga dan melindungi kamu. Jadi, kita jalani saja pernikahan ini. Ya … meski belum ada perasaan. Pelan-pelan, seiring waktu mungkin rasa itu akan ada,” tutur Abi dan Adel masih menatapnya.
“Kata orang, wajahku ganteng, Masa iya nggak tertarik.” Abi membuang pandangannya lalu melirik Ade di sampingnya.
Adel tersenyum dan kembali menunduk. Tidak mungkin tidak tertarik dengan Abi, hanya saja untuk membuka hati rasanya tidak mudah. Dengan kondisinya sekarang, rasanya tidak elok dengan mudah menjatuhkan hati pada Abi.
“Ah iya,” cetus Adel. “Maharnya, apa tidak memberatkan mas Abi? Rasanya itu terlalu banyak."
Kotak perhiasan dan amplop berisi uang, diletakan di atas meja rias. Tangan Adel menunjuk ke sana dan Abi pun ikut menoleh.
“Tidak banyak, kamu berhak mendapatkan lebih dari itu. Seorang Ayah merelakan putrinya pada pria yang baru dia kenal, tentu saja harganya tidak ternilai. Simpanlah, itu sudah menjadi hakmu. Semoga kamu tidak malu punya suami Cuma OB, malah jabatan kamu lebih tinggi. Penghasilan juga lebih besar kamu.”
“Saya nggak mikir gitu, loh.”
“Sabar ya, mana tahu takdir kita berubah. Aku naik jabatan jadi direktur,” seru Abi sambil cengengesan dan kembali melirik Adel. “Nanti kamu jadi nyonya besar.”
Adel ikut tersenyum. “Aamiin,” ucapnya.
“Mulai sekarang kita tinggal satu kamar dan tidur satu ranjang,” ujar Abi menepuk ranjang.
“Hm, iya,” sahut Adel menatap sekeliling kamar. “Kamarnya kecil, semoga Mas Abi nyaman.”
“Nyaman, pasti nyaman. ‘Kan ada kamu.” Abi mengulum senyum. “Kamar kosan saya lebih sempit dari ini.”
“Mau langsung tidur atau mandi dulu?” tanya Adel menunjuk pintu toilet.
“Aku sudah mandi, tapi kayaknya perlu bersih-bersih.” Abi berdiri dan melepas kancing lengan baju batik yang dipakainya.
Adel sigap dan mengambil pakaian ganti yang sudah disiapkan oleh Santi. Kaos putih dan kain sarung.
“Ini punya Mas Ari, sepertinya ukuran kalian hampir sama.”
“Sarung ya.”
“Mau saya pinjamkan yang lain?” tanya Adel menduga Abi tidak suka atau tidak nyaman menggunakan kain sarung.
“Ini saja, tidak masalah. Pakai sarung biar gampang.”
“Biar gampang?” tanya Adel heran.
“Iya, gampang pakainya.” Abi meninggalkan Adel menuju toilet.
Sedangkan di tempat berbeda, Zahir menemui Murni Sari kembali membahas rencana dia untuk naik jabatan.
“Temui dia lagi, Indra Daswira,” ucap Zahir.
“Tapi, dia sudah berubah. Tidak mungkin Bunda merayu Pak Indra, kamu harus cari cara lain.”
“Kenapa tidak mungkin. Dulu tanpa diminta, Bunda dengan senang hati terlibat dengannya. Kenapa sekarang menolak?"
“Zahir, itu masa lalu dan bunda menyesal. Jangan memojokkan bunda begini. Sebentar lagi kamu menikah, fokus saja dengan pernikahanmu. Mertuamu pemegang saham, dia bisa merekomendasikan kamu untuk naik jabatan.”
Zahir berdecak pelan, merasa semua tidak berjalan seperti yang dia harapkan.
“Bersiap saja, besok aku akan lihat jadwal Indra. Temui beliau dimanapun dan bagaimanapun caranya. Kalau perlu tidur atau menikah dengannya,” tutur Zahir.
“Kamu ….” Murni merasa direndahkan oleh putranya.
Fokus Zahir teralih pada ponsel yang bergetar di sakunya. Saat ini ia pun sedang gamang menunggu kabar dari Abi. Berharap idenya membuat Abi bertanggung jawab pada Adel bisa berjalan mulus.
Dahinya mengernyit mendapati foto Adel dan Abi, pasangan itu bukan hanya sedang proses lamaran. Namun, sudah menikah. Bukan hanya berjalan mulus, tapi melewati ekspektasinya. Zahir terkekeh karena masalah Adel sudah beres.
“Dasar bod0h. Baru disodorkan ikan asin langsung dilahap. Baguslah, rencanaku berhasil.”
“Rencana apa?” tanya Murni.
Zahir memasukkan kembali ponselnya ke saku dan berdiri.
“Bukan urusan Bunda. Kerjakan saja apa yang harus Bunda lakukan. Dekati dan pastikan Indra percaya dan memilih aku.”
siap siap aja kalian berdua di tendang dari kantor ini...
hebat kamu Mona, totally teman lucknut
gak punya harga diri dan kehormatan kamu di depan anak mu
kalo perlu zahir nya ngk punya apa " dan tinggal di kontrakan biar kapok
sedia payung sebelum hujan