NovelToon NovelToon
Bisikan Hati

Bisikan Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Matabatin / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:745
Nilai: 5
Nama Author: DessertChocoRi

Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab- 22 Saat Hutan Menjadi Neraka

Malam itu terlalu panjang. Angin berbisik di antara dahan, membawa suara samar yang membuat jantung berdegup cepat. Mauryn duduk di mulut gua, memeluk lututnya, matanya terpejam mendengarkan.

Bisikan-bisikan hati asing semakin jelas. Semakin banyak.

“Revan…” suaranya gemetar.

“Mereka datang lagi. Lebih banyak dari sebelumnya. Aku… aku dengar tujuh… mungkin delapan.”

Revan, yang sibuk mengasah pisaunya dengan batu, berhenti sejenak.

“Tepat seperti yang kuduga.”

Ardan menegang, wajahnya langsung pucat.

“Tujuh?! Atau delapan?! Itu terlalu banyak!”

Revan menatapnya dingin.

“Kalau kamu ingin hidup, berhenti hitung jumlah mereka. Fokus saja pada yang bisa kamu lakukan.”

Ardan hampir membalas, tapi Mauryn menatapnya dengan mata memohon. Itu cukup membuatnya diam, meski wajahnya tetap panik.

Kabut tipis bergulir di bawah cahaya rembulan.

Mereka bertiga berjongkok di balik semak, beberapa meter dari jalur utama yang sudah dipasangi jebakan.

Obor-obor kecil mulai terlihat, berkedip di kejauhan. Suara langkah berat bercampur dengan teriakan samar.

“Mereka semakin dekat,” bisik Mauryn, suaranya tercekat.

Revan menunduk, suaranya tenang meski matanya tajam.

“Ingat apa yang kukatakan. Takut itu normal. Tapi jangan biarkan takut memimpin langkahmu.”

Ardan bergumam, “Kamu bicara seolah aku punya pilihan lain…”

Revan menoleh, wajahnya keras.

“Kamu selalu punya pilihan. Bertahan atau mati. Pilih sekarang.”

Ardan menelan ludah, lalu akhirnya mengangguk meski tubuhnya gemetar.

Rombongan itu tiba. Ada delapan orang, masing-masing membawa senjata pedang, tombak, dan beberapa busur. Wajah mereka keras, suaranya lantang.

“Cari mereka! Hancurkan setiap semak, setiap lubang!”

Mauryn menutup telinganya, menahan derasnya bisikan hati mereka. Ketakutan bercampur dengan ambisi, haus darah bercampur keraguan.

“Mereka yakin… kita di sini,” bisiknya pelan.

“Sekarang.” Revan memberi isyarat.

Ia menarik tali akar dengan cepat.

Brak!

Batang pohon besar jatuh, menimpa dua orang sekaligus. Jeritan keras pecah. Tubuh mereka terhantam keras ke tanah.

“Itu berhasil!” Ardan melompat kaget.

Tapi belum sempat ia tersenyum lega, panah melesat, menancap di batang pohon dekat kepalanya.

“Astaga! Mereka balas!” Ardan berteriak panik, merunduk.

Pertempuran pecah. Dua orang yang tertimpa pohon masih bergerak lemah, sementara enam lainnya langsung menyerbu dengan teriakan marah.

Revan melompat keluar dari semak, pedangnya berkilat.

“Sekarang waktunya!”

Mauryn menahan napas, tubuhnya bergetar. Ia ingin berlari, tapi suara hati musuh menghantamnya rasa benci, amarah, dan… keraguan.

Revan menangkis serangan pertama, lalu menebas cepat. Darah memercik di tanah.

“Ardan! Ke kiri!” teriaknya.

Ardan, dengan wajah panik, berlari ke arah yang dimaksud. Kakinya hampir terpeleset, tapi secara tak sengaja ia menendang batang kecil yang membuat salah satu musuh jatuh ke lubang jebakan.

“Aku..aku menjatuhkan dia?! Aku berhasil?!” Ardan membeku.

“Jangan bengong! Bergerak!” Revan membentak.

Mauryn akhirnya berdiri, tangannya gemetar. Ia tidak punya senjata selain batu yang digenggam erat.

Salah satu musuh berlari ke arahnya, mata liar menatapnya.

“Kamu gadis itu!”

Mauryn terhuyung mundur. Bisikan hatinya mendengar niat pria itu niat untuk menangkap hidup-hidup.

Dengan panik, ia melempar batu ke wajah pria itu. Batu itu menghantam pelipisnya, cukup membuatnya terhuyung.

Revan langsung menyambar, menebas musuh itu sebelum sempat bangkit lagi.

Mauryn menatap tubuh yang jatuh di hadapannya, napasnya memburu.

“Aku… aku baru saja…”

Revan menggenggam bahunya, menatap matanya.

“Kau bertahan. Itu yang terpenting.”

Panah lain melesat. Ardan menjerit, merunduk tepat waktu. Panah itu nyaris menembus telinganya.

“Aku benci hidupku! Aku benci semua ini!”

Namun kali ini ia tidak lari. Dengan berani, ia meraih ranting tajam yang dipasang sebagai jebakan, lalu menancapkannya ke kaki salah satu musuh yang menyerbu.

Musuh itu jatuh berteriak kesakitan. Ardan terengah, wajahnya pucat tapi matanya melebar.

“Aku benar-benar melukainya…”

Revan menangkis serangan lain sambil berteriak.

“Kamu lebih kuat daripada yang kau pikirkan!”

Hutan menjadi neraka. Suara benturan logam, jeritan, dan napas tersengal memenuhi udara. Kabut malam berubah merah oleh darah.

Satu demi satu jebakan mengenai sasaran, tapi jumlah musuh masih banyak.

Mauryn berlari kecil, mencoba menjauh, tapi bisikan hati para musuh menempel erat.

Tangkap dia. Bunuh mereka semua. Jangan biarkan dia kabur.

“Mereka ingin aku hidup-hidup! Mereka butuh aku!” Ia menggigil, lalu berteriak.

“Itu artinya kamu lebih penting dari yang kita tahu. Dan itu alasan mereka harus dihentikan sekarang!” Revan menoleh, matanya tajam.

Pertempuran semakin brutal. Revan terluka di lengan, darah menetes. Namun ia tetap berdiri tegak, matanya menyala penuh tekad.

Mauryn berlari ke arahnya, cemas.

“Kamu terluka!”

“Bukan waktunya! Fokus, Mauryn!” Revan menepis.

Ardan, yang kini berlumuran lumpur dan darah musuh di tangannya, berteriak putus asa

“Mereka tidak ada habisnya!”

Tapi tiba-tiba, salah satu musuh yang masih hidup berteriak.

“Mundur! Kita tidak siap hadapi mereka malam ini!”

Suara itu membuat sisa rombongan goyah. Dua orang yang masih utuh akhirnya menarik rekan mereka yang terluka, mundur perlahan.

Kabut menelan langkah mereka.

Keheningan menyisakan hanya napas tersengal dan darah di tanah.

Mauryn jatuh berlutut, tubuhnya gemetar.

“Aku… aku tidak sanggup lagi…”

Revan mendekat, meski wajahnya pucat karena luka. Ia berlutut di sampingnya, menatapnya dalam.

“Kamu sanggup. Kamu baru saja buktikan itu.”

“Aku takut, Revan… aku takut mereka akan selalu datang.” Mauryn menatap matanya, air mata menetes.

“Biarkan mereka datang. Selama kita bersama, kita akan selalu melawan.” Revan mengusap pipinya perlahan.

“Kalau ini baru permulaan, aku tidak tahu apakah aku akan hidup sampai akhir…” Ardan jatuh terduduk, terengah.

Revan menoleh ke arahnya, suaranya keras tapi hangat.

“Kamu akan hidup, Ardan. Karena sekarang kamu sudah memilih bertarung.”

Ardan terdiam, matanya berkaca-kaca.

Malam itu, mereka bertiga duduk dalam hening di balik pohon besar. Luka, letih, dan ketakutan masih terasa.

Tapi ada sesuatu yang berbeda: untuk pertama kalinya, mereka bertiga tidak hanya merasa dikejar. Mereka merasa… berjuang bersama.

Bersambung…

Jangan lupa tinggalkan Like, komen dan Votenya yang banyak yah 🥰

1
Anonymous
Semangat thor
Syalala💋 ig: @DessertChocoRi: Hai hai.. terimakasih sudah mampir, tunggu update selanjutnya ya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!